Selasa, Maret 08, 2022

542 ㅡ Satu-satu, pasti keburu.

Ini rekam jejak langit kala itu yang ditangkap langsung oleh mata besarku. Aku sandingkan beriringan dengan rangkaian aksara dari kepala kecilku. Harapanku agar hati mungilku mampu merayu telinga cantikmu untuk mendengar segala sesuatu dari kalbuku hingga ke akar. Bagus betul jika hatimu turut mengikuti pergolakan emosi jiwaku yang mengakar.

Aku masih manusia biasa; yang adakalanya termenung akibat tanpa sengaja mempersilakan huru-hara semesta mengurungku di dasar samudra. Oleh sebab itu, aku lahirkan catatan harian ini dari sekat-sekat jemariku demi menyuarakan pahit yang melekat di lidahku. Selembar kertas ini aku tujukan untuk diriku sebagai pengingat bahwa pahit itu valid. Tidak apa-apa sekali-sekali terpuruk karena merasa buruk. Tidak apa-apa berulang kali harus berusaha menjadi baik supaya mendapatkan yang terbaik.

Hari ini aku memang patah, tetapi aku tidak akan menyerah untuk tetap hidup sehidup-hidupnya. Selamat membaca kata dan merayakan rasa yang singgah hari ini. Semoga kamu tetap bersibuk jejaki bahagia hingga lupa semesta sedang tidak baik-baik saja, sama sepertiku.

Langit cemberut, laut kusut.

Akhir-akhir ini semesta berhenti berpihak padaku. Lihatlah, langit cemberut, laut kusut, matahari pamrih, dan bulan berantakan. Rumah paling hangat dengan fondasi berupa asa-asa tak kasatmata yang aku susun dengan cinta, seketika tersambar angin puting beliung dalam sekejap mata hingga seluruh harapan hancur berkeping-keping tanpa sisa. Katakan, semesta, untuk apa ikut murka pada aku yang larinya memang lebih lambat dari mereka?

Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti.

Aku sudah berusaha menjadi manusia yang sering tabah dan pantang menyerah. Aku bahkan kerap berhasil memberikan suntikan energi untuk puluhan bahkan ratusan jiwa yang butuh perlindungan hati. Aku sisipkan doa-doa baik di dalamnya; dengan harapan mereka mampu terus berjuang menjelajahi dunia bersamaku sebagai cahaya yang menerangi setiap langkah. Aku siapkan pundak untuk bersandar dan telinga untuk mendengar, tetapi ketika kepayahan menyerbu jiwa dan ragaku sampai-sampai benteng pertahanan yang aku bangun satu per satu dengan kesungguhan berakhir runtuh menyeluruh, tiada satu pun dari tambahan isi semesta yang berniat melebarkan sepasang sayap lengan untuk mendekapku erat-erat. Tidak ada siapa-siapa yang bisa aku panggil ke rumah sederhanaku untuk berbagi cerita, sebab tidak ada yang berani menyamakan langkah denganku yang dianggap terlalu lambat. Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti. Aku selalu sendirian di tengah terpaan badai, seolah-olah aku memang tercipta untuk dilupakan dunia.

Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh.

Aku acapkali berandai-andai. Jika aku dilahirkan dengan cinta yang membalut tulang-tulang keriput, akankah luka enggan menemani perjalananku dengan kaki yang tak pernah beralaskan kasut? Jika aku dianugerahkan hampir segalanya di dunia saat aku beranjak dewasa, akankah bahagia membuat mataku mampu melihat semesta dengan lebih berwarna? Saban hari aku hanya bisa berimajinasi setiap kali persoalan pelik mengambil ruang besar di dalam kepala kecilku. Iya, kenyataannya aku terbiasa terlupakan karena sebenar-benarnya aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak punya apa-apa dan paling tidak pernah dielu-elukan namanya. Aku bertahan dengan bersembunyi di balik keinginanku untuk hidup sendiri, mandiri, dan menyendiri. Hidupku hanya seputar aku dan semua hal yang bisa aku kendalikan dengan pasti. Aku terlalu khawatir terluka dan paling takut kecewa. Aku berhenti menaruh harapan pada dunia, sebab sejak aku mulai bisa bernapas lega, hatiku telah dirusak ekspektasi yang merajalela kobaran api di dalam dada. Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh. Tidak mampu aku mengeratkan lagi kepingan hati yang berserakan di atas lantai dingin itu. Tidak bisa aku merajut kembali asa yang sudah binasa bahkan sebelum aku mulai merangkak maju.

Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.

Selambat-lambatnya aku, setidaknya aku punya ketulusan untuk merengkuh tiap-tiap individu yang datang menemuiku. Meskipun aku butuh lebih banyak waktu untuk menyenangkan sekelilingku, setidaknya aku berani mempertaruhkan hidupku demi menyelesaikan tugas-tugasku sebagai personifikasi pijar semu. Aku melangkahkan kaki sambil merunduk ke bumi agar tahu ke arah mana tubuh ini akan aku bawa ke masa depan. Aku tidak hanya mendongak ke langit untuk meminta diselamatkan kala memanjatkan doa dengan kesepuluh jemari bertautan.

Aku pasrah, tetapi aku tidak akan pernah menyerah. pada hidupku, juga pada kepercayaan bahwa dunia ini masih punya banyak orang baik yang belum aku ajak berkenalan. Aku masih perlu belajar dari mereka tentang cara menaklukkan dunia. Aku pula ingin berbagi cerita; tentang caraku bertahan hidup, tentang caraku menikmati hidup. hanya saja, terkadang aku gusar pada mereka yang terlihat paling sibuk menjalani hidup. Apa yang hendak mereka cari? Apa ada yang mengajak berkompetisi? Mengapa buru-buru sekali? Mengapa tidak bisa sabar sedikit lagi? Aku sontak bertanya-tanya kepada rumput-rumput yang berdendang riang di tengah gelora angin hampa. Apa orang-orang yang sibuk itu sedang berusaha menaklukkan dunia? Apa orang-orang yang paling sibuk itu sudah menaklukkan dunia? Atau sebenarnya dunialah yang menaklukkan orang-orang yang berpura-pura paling sibuk itu? Entahlah.

Mereka ingin lari dan semesta beri izin, sementara aku berjalan di tempat seraya berpegang erat pada keyakinan bahwa aku lebih kuat. Tidak, bagian mana dari diriku yang lebih tangguh dari mereka? Bagian mana dari diriku yang lebih baik dari mereka? Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.

Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu.

Ikhlas. Aku berusaha naik kelas dengan lapang dada melewati segala ujian. Barangkali tugas mereka saat ini bukan menjadi tugas utamaku. Barangkali tugas kami di kehidupan kali ini memang berbeda, sehingga mereka diperbolehkan pergi ke mana pun sesuka hati, sedang aku dipaksa mencoba berulang kali sampai kehabisan akal untuk mencari bagaimana cara memulai segalanya kembali.

Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu. Aku dan kecewaku, mungkin harus lebih sering berjumpa agar jalan menuju bahagia bisa terbentang di depan mata. Aku dan takutku, mungkin sudah direncanakan untuk menjadi awal mula kisah supaya aku mampu lebih memahami bahwa hatiku lebih hebat dari pikirku. Aku dan ikhlasku, mungkin harus terus berusaha bergandengan tangan agar dijauhkan dari balada perih, sebab barangkali itulah kepelikan yang harus aku bayar jika meminta dijadikan pemeran utama di dalam ceritaku sendiri.

Sesungguhnya jelas betul butuh lebih banyak waktu untuk menjadi yang terbaik, sebab tidak semua manusia di muka bumi boleh punya kehidupan teramat apik. Ujian demi ujian perlu dilalui supaya bahagia yang diramu bisa benar-benar menjadi kenyataan. Sebentar lagi aku akan menempatkan bahagiaku di antara sekat-sekat jemari yang bertautan. Sambil merapalkan doa penuh rasa syukur, aku akan bersorak dengan nyaring demi merayakan aku dan semestaku yang berakhir akur.

Satu-satu, pasti keburu.

Memahami jalan pikir semesta adalah perkara seumur hidup. Dinamis, perubahan bisa terjadi kapan saja selama hasrat untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana senantiasa mengalir di dalam darah. Aku, kamu, kita; pasti pernah terpuruk karena merasa buruk. Kita hanyalah manusia biasa, wajar jika tak sempurna. Satu waktu bisa merasa paling bahagia di dunia, waktu lainnya bisa merasa paling terluka seantero semesta. Begitulah cara kerja pikiran yang sejatinya tidak perlu berlebihan dihiraukan. Tidak perlu juga mengindahkan seluruh kata yang dirangkai kepala. Adakalanya semua hanya basa-basi belaka dari nestapa yang singgah untuk membakar sumbu sabar kita.

Percayalah pada hati dan berpeganglah pada kasih. Semua akan baik-baik saja. Lelah hari ini akan tergantikan gembira esok hari. Biarkan saja dunia berputar sekencang-kencangnya. Biarkan saja semesta berlari sekuat-kuatnya. Kita tidak akan pernah tertinggal, sebab kehidupan bukanlah sebuah pertandingan. Tidak ada kompetisi yang harus dimenangkan. Tidak ada hadiah yang harus diperebutkan. Namun, selalu ada trofi bagi mereka yang berhasil memahami diri sendiri hingga ke dalam jiwa tersembunyi. Maka, berhenti menyalahkan diri sendiri karena hanya bisa berjalan kaki di saat kebanyakan insan memiliki kuda untuk ditunggangi. Tetaplah ikhlas menerima diri apa adanya, meski dunia membuatmu merasa tidak baik-baik saja. Mungkin dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, jadi maklumkanlah semua dengan tangan terbuka.

Aku, kamu, kita; berharga lebih dari kata sempurna. Tenang, dunia masih punya miliaran orang baik. Hiduplah sehidup-hidupnya, dan temukan lebih banyak orang baik yang tersebar di seluruh dunia. Jika kamu belum bisa menemukan mereka, maka jadilah orang baik itu dan beri peluk untuk mereka yang butuh. Jangan lupa selamatkan dirimu sendiri terlebih dahulu. Rangkul burukmu, sayangi baikmu, dan cintai hatimu sebagaimana kamu ingin dicintai semesta.

Harapan besarku untuk kita semua hanya satu. Apa pun yang sedang kamu kerjakan, apa pun yang ingin kamu raih, dan apa pun yang menjadi cita-citamu, lakukan dan wujudkan perlahan-lahan. Jangan terburu-buru, tidak ada yang mengejarmu. Taruh serpihan hatimu di setiap langkah kecilmu. Jangan hiraukan cuitan-cuitan insan omong kosong yang tidak berkontribusi untuk misimu menaklukkan dunia. Kita tidak akan pernah kalah bertaruh, sekalipun tersungkur jauh akibat tersandung kegagalan di tengah jalan. Kegagalan adalah pertanda kasih dari semesta agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Keinginan untuk bangkit lagi setelah berulang kali terpuruk karena merasa buruk adalah kunci dari keberhasilan.

Semesta selalu mencintai kita, anak-anak semesta. Semakin duniamu susah ditaklukkan, semakin kuat kamu menghadapi cobaan, dan semakin besar pula bahagiamu kelak di akhir cerita kehidupan. Jadi, apa pun itu ... satu-satu, pasti keburu.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Maret 07, 2022

541 ㅡ Deeper than my feet could ever wander.

Aku berhenti berharap pada titik hilang. Pada serangkaian takdir semrawut, aku tersungkur kala mendengar kabar bahwa pelayar terbaik, yang telah berjanji akan membawaku ke ujung semesta dengan melampaui segala keterbatasan, dikabarkan tidak akan pernah kembali pulang. 

Tiada lagi asa dan rasa.
Tiada lagi kita dalam cerita.
Tiada lagi cinta yang sempurna.

Ternyata Tenggara lebih mencintai pelayaran daripada aku. Ternyata Tenggara lebih memilih berenang bersama ikan-ikan bercorak warna-warni, berwujud besar-kecil, dan bergerak lambat-lekas di laut lepas. Aku tetap menolak menggantikan kenangan bahagia dengan larutan luka. Aku masih menantikan sinyal-sinyal datang dari debur ombak yang berkejar-kejaran.

Berhari-hari aku berkunjung ke pelabuhan demi menyambut kepulangan Tenggara ke rumah. Aku mengelilingi setiap sudut pelabuhan untuk mencari jejak-jejak kaki yang ditinggalkan Tenggara. Enggan terbuai ekspektasi, aku melempar tanya kepada semesta dalam hati. Apabila Tenggara boleh menyampaikan pesan terakhir untuk aku yang dengan penuh kasih akrab dia panggil peri cinta, kira-kira bunyinya seperti apa?

Seketika segerombolan awan menampilkan presensi, menorehkan warna abu-abu pada permadani angkasa yang semula cerah. Gemuruh ikut menggelegar, meminta perhatian siapa saja yang mendengar.

Langit berseteru dengan laut; saling menyahut seolah-olah mereka sedang merundingkan sesuatu tanpa takut. Hati kecilku yang berselimut harapan lantas seperti dijadikan badut, sebab aku disuruh diam-diam berdiri di tengah-tengah mereka. Gemuruh gaduh di langit luas itu hendak memanggil siapa? Debur ombak di laut lepas itu hendak mengutarakan apa?

"Senjakala, rayakanlah duka dengan tawa. Meski senyumanmu hilang arti tanpa aku di sisi, percayalah kita pasti akan dipertemukan kembali suatu hari nanti. Sebab kamu membawa serpihan hatiku di setiap langkah, maka hiduplah terus bersama setengah jiwaku, Senja. Sejatinya aku sudah pulang, maka kini kamu pun tak perlu lagi melewati penantian panjang. Aku sudah berkawan dekat dengan banyak ikan, ombak-ombak, angin kencang, dan burung-burung. Kelak bukalah telingamu lebar-lebar ya? Setiap kali kamu dengar dersik angin berbisik, burung-burung berkicau, dan debur ombak berkejaran; ingatlah, dari dasar laut, aku sedang merindukanmu."

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Maret 06, 2022

540 ㅡ You tricked me badly / I treated you properly.

Perdebatan menjadi satu-satunya bahasa cinta Senjakala dan Tenggara. Perbedaan pendapat dalam menyikapi sejumlah perkara mengakibatkan perang dingin kerap terjadi. 

Seperti hari-hari kemarin, Senjakala kembali angkat bicara guna meluruskan alur cerita berbeda yang semalam suntuk sempat membuat keduanya pening bukan kepalang. Seperti perdebatan lalu-lalu, lagi-lagi Senjakala yang menginisiasi pertemuan untuk memperbaiki hubungan yang kian renggang.

Tenggara memang terkenal kikir pikir, sedang Senjakala selalu saja murah aksara. Oleh karena itu, Senjakala sering kali merasa bagai berbicara sendiri kala sedang berkonversasi dengan Tenggara. Seakan-akan hanya Senjakala seorang yang ingin menyelamatkan hubungan mereka. Seakan-akan Tenggara tidak pernah berkontribusi dalam hubungan mereka dengan memberikan penjelasan untuk mengurangi kekhawatiran yang melekat di hati Senjakala. 

Barangkali Tenggara sukar merangkai kata dan berharap Senjakala bisa mengerti. Barangkali Senjakala sulit memahami keheningan yang dibutuhkan Tenggara untuk menenangkan karma yang melilit jiwa hingga cinta susah digaungkan dengan sempuna.

"Tenggara, kita tidak pernah memandang langit yang sama."
"Masih banyak entitas angkasa yang bisa kita lihat bersama."
"Berhenti membuat aku terlihat seperti orang bodoh!"
"Caraku memandang dunia memang berbeda, Senja."
"Ya, aku tahu, karena memang itu yang dahulu membuat aku jatuh cinta kepadamu."
"Dahulu?"
"I don't want to do this anymore, Tenggara."
"What did I do, Senja?"
"I'm tired of jumping up and down asking for your attention."
"Senjakala, listen. Let me explain."
"I won't ask you to stay. If you want to leave, then go."
"Can we fix this?"
"I wish I wasn't unlovable, Tenggara."
"Senja, how did we end up this way?"
"Have you ever loved me?"
"I love you, always. I'm not asking you to trust me. I just want you to have faith that you're deserving of love, Senja."
"You tricked me badly all this time!"
"What?"
"You never said you love me."
"I always treated you properly."
"I love you so much, Tenggara."
"If you encounter a difficult situation, just call my name and I'll be there for you."

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Maret 05, 2022

539 ㅡ Tell me honestly, what are we?

Senjakala,
I want to give you all the best of me
and it takes time.

Tenggara pernah bertanya kepadaku; seperti apa bentuk cinta yang aku inginkan, bagaimana cara dia harus memperlakukan aku di hadapan kawan-kawan sepermainan, dan kapan waktu yang tepat untuk mulai mengganti status hubungan kami dari sekadar teman menjadi pacaran.

Tenggara selalu saja bertanya terlebih dahulu seolah-olah apa yang akan dia katakan atau lakukan mampu melukai hatiku. Sampai tibalah suatu hari aku naik darah hingga meninggikan suara.

"Adakalanya aku tidak mengenalmu, Tenggara."
"Apa aku sudah melakukan kesalahan?"
"Berhenti. Kamu ini terlalu berhati-hati."
"Senja, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu."
"Memang aku siapa?"
"Senjakala."
"Bukan, maksudku ... aku ini siapanya kamu?"

Tenggara termenung untuk waktu yang lama. Dia yang terbiasa berceloteh ria, kala itu memilih tenggelam dalam hening. Aku tidak menginterupsi, sebab pertanyaan yang aku lemparkan benar membutuhkan jawaban.

Life is full of surprises and miracles, but life is also full of pains and problems. I just want to believe; my hope isn't in vain, Tenggara.

"Hey, Tenggara. How do you describe love?"
"You."

Tenggara membuatku kehabisan napas bagai usai berlari padahal tidak sama sekali. Aku mengejapkan mata berkali-kali dalam satu waktu; berusaha mencerna jawaban singkat namun padat yang tertangkap rungu. Apa ini pernyataan cinta? Atau perasaanku saja?

"Namaku Senjakala, bukan Love."
"Love is you. You're loved."
"And?"
"You’re too full of life to be half loved by someone, Senja."
"Tenggara, don't ever in your life half love me."
"I know, that's why I'm still figuring things out."
"What are you looking for?"
"I want to give you the best version of me."
"But you already are, Tenggara."
"Senjakala, I want to give you all the best of me and it takes time."

Tenggara berbicara dengan kesungguhan hati. Ternyata masih ada sesuatu yang hendak dia cari. Namun, sejak saat itu Tenggara tidak pernah sekali pun bertanya lagi.

Tenggara, you know I'll always love you, right? I'll wait for you until you're ready, no matter how long it takes. You're the best.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Maret 04, 2022

538 ㅡ Are we going to meet again?

Katanya hidup harus terus berjalan karena waktu selalu bergulir ke depan. Jam rusak pun enggan berlari ke belakang hanya demi melewati angka yang sama dua kali. Suka atau tidak, percaya atau tidak, semua pergerakan jarum jam dilakukan dari depan dan untuk masa depan. Senantiasa melewati angka yang sama berkali-kali bukan berarti gemar sekali mengulang hari. Jam waktu mengajarkan Senjakala untuk berhenti mengharapkan cinta yang sebenarnya tidak pernah ada.

Perpisahan yang terjadi lebih dari lima tahun lalu masih menyisakan luka. Entah apalah isi kepala Tenggara kala itu yang menjadikan seluruh entitas sepenjuru semesta seolah-olah adalah musuh bebuyutannya. Senjakala termasuk salah satu insan yang ditinggalkan Tenggara tanpa tahu apa-apa.

Kotak memori seketika terbuka dan rasanya sangat sesak. Senjakala bungkam seribu bahasa, sebab ia kehabisan kata-kata soal bagaimana menanggapi fakta yang barusan tertangkap rungu. Tenggara dan Purnama akan bertunangan.

Senjakala hanya berusaha menyelesaikan misi. Bagaimanapun caranya Tenggara harus lekas mengakhiri pertemuan ini. Apa gunanya berjumpa jika akhirnya harus kembali berpisah?

Adalah kesalahan besar jika Senjakala menghampiri Tenggara dengan harapan ingin bisa bersama. Kini tembok di antara Senjakala dan Tenggara akan jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Setelah ini, Tenggara akan pergi lebih jauh lagi. Tenggara akan bahagia sendiri, tanpa Senjakala di sisi. 

"Are we going to meet again, Senja?"
"Tenggara, I'd never want to meet you again."
"Why?"
"You're going to be someone's husband."
"Senja, we can still be friends."
"... and that someone is my best friend, Tenggara."
"I just want to be there for you, Senja."
"No, you can't."
"Yes, I can."
"Then tell me, Tenggara. How?"
"..."
"See, Tenggara. You've already lost me, and I'm not sorry."

Detik itu juga Tenggara menolehkan kepala dalam usaha melihat corak warna yang dilukiskan Senjakala di wajah. Sepasang netra merekam lekuk-lekuk rupa jelita milik Senjakala. Senjakala, putri seindah panorama senja yang sedari dahulu tak henti-hentinya ia puja. Bagi Tenggara, Senjakala adalah personifikasi cinta murni dan semesta abadi.

Senjakala bertahan. Pandangan tak berminat dibawa bersirobok dengan manik kembar Tenggara. Air muka khawatir lantas menghiasi paras kala ekor mata mendapati Tenggara menatapnya dari samping.

"Kamu bahkan belum memberikan aku penjelasan apa pun," kata Senjakala membuka suara setelah hening dibiarkan menginterupsi barang sejenak. "Setidaknya sebelum kamu bertunangan, aku ingin mencoba memahami alasan kamu pergi meninggalkan aku.  Lebih dari lima tahun sudah, dan rasanya cukup bagi aku untuk menunggu kepulangan kamu. Sekarang sudah saatnya aku merelakan kamu pergi. Tenggara, I'm letting you go."

"I'll tell you everything. I won't leave anything out, Senja."

Tenggara, in my next life, I'd like to be me, and I'd like to meet you again. Maybe everything will be different. Maybe I'll finally understand. Finding you was really hard, but loving you is so easy. Thank you for holding my hand, and thank you for letting me go.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Maret 03, 2022

537 ㅡ What are you sorry for?

Baskara menemani langkah Senjakala menuju di mana Tenggara berada. Angin sepoi-sepoi menyapu surai halus kepunyaan sang hawa hingga berkibarlah mahkota kebanggaan itu mengekori arus pawana yang turut prihatin akan pertemuan tak terduga ini.

Jantung yang berdebar tak keruan membuat Senjakala terpaksa harus memperlambat langkah hingga akhirnya membutuhkan lebih dari lima menit untuk dapat benar-benar tiba di hadapan Tenggara. 

"Tenggara."

Sopran mendayu kepunyaan Senjakala menembus ruang dengar siapa saja di dalam jangkauan, terutama sosok anak adam yang dipanggil namanya. Senyuman kecil terukir kentara di wajah ayu sang ratna.

"Senja," dan bariton khas sarat ketenangan pun berhenti mengalun untuk beberapa saat, sebab Tenggara memberi jeda singkat sebelum lantas melanjutkan dengan, "... kala."

Terkejut bukan main. Iya, sudah pasti. Mana mungkin bisa berkedip kala Senjakala, yang sedari masih duduk di bangku sekolah selalu saja dihindari Tenggara, kini berada di depan mata. Seolah-olah melupakan cara berkedip, adam itu menatap lekat-lekat rupa jelita Senjakala sembari merapalkan doa dan puji-pujian tentang banyak hal. Rindu yang tebal menjadikan lidah teramat kelu. Anggukan sekilas dan senyuman kecil kemudian diberikan Tenggara sebagai respons.

Tenggara tak sama sekali melempar tanya. Padahal jelas-jelas Senjakala datang sebagai pengganti Purnama. Kencan buta ini pun diketahui bukan sembarang pertemuan karena Tenggara adalah laki-laki pilihan kedua orang tua Purnama.

Usai mengambil kopi pemberian Senjakala, Purnama menginisiasi untuk lekas masuk ke dalam museum. Tiada satu insan pun yang berani membuka suara duluan. Senjakala mengedarkan pandang demi memantau lukisan-lukisan yang ada. Di sisi lain, Tenggara terlihat merenung guna menyortir rasa dan kata yang hadir di relung hati.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu," kata Tenggara yang berdiri di samping Senjakala dengan netra terpaku pada salah satu lukisan bunga yang didominasi warna jingga.

"Iya, aku rasa sudah lebih dari lima tahun," balas Senjakala dengan posisi tubuh masih menghadap ke depan agar ia tak perlu bersemuka dengan persona di sampingnya.

"Pantas saja tadi kamu menawarkan aku caramel macchiato."
"..."
"You still remember my favorite coffee, Senja."
"Tenggara, I can explain."
"No, you don't have to."
"..."
"Jadi, kamu dan Purnama berteman?"
"We're best friends."
"So, you know aku dan Purnama akan bertunangan?"
"... No, I haven't heard anything about it."
"Now you know, and I'm sorry."
"What are you sorry for?"
"For giving up on us, Senja."
"Don't apologize if you can't change what you're sorry for."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Maret 02, 2022

536 ㅡ Ada apa dengan semesta?

Malam ini terasa sungguh sepi dan langkahku terpaksa terhenti.
Entah semua salahku sendiri atau semesta mempermainkanku lagi.

Malam ini rembulan turut bersinar teramat terang,
seolah-olah mengajak pikiranku terbang melayang.

Akankah suatu hari nanti aku benar-benar bisa menjalin kasih?
Akankah suatu hari nanti perjalanan ini menemukan tambatan hati?

Ada apa dengan semesta?
Jawab aku, bisa?

Semesta, namaku Tenggara.

Aku ingin bercerita, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin berbicara terang-terangan, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana merangkai kata yang aman. Sejatinya menumpahkan isi kepala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sesungguhnya menyuarakan setiap rasa tidak semudah menjawab pertanyaan. 

Sekarang aku sedang berlayar jauh. Sudah lewat sepekan aku berlindung di atas perahu kayu yang tidak henti-hentinya berkejar-kejaran dengan gulungan ombak di tengah laut. Harus aku sampaikan bahwa perahu ini menampung terlalu banyak insan yang dengan pongah menginvasi bilik pribadiku hingga aku merasa sangat kelabakan.

Awalnya aku pikir hanya aku saja yang akan mendiami perahu ini sebagai satu-satunya awak kapal tangguh. Ternyata di belakangku muncul ratusan perwira yang datang tanpa satu pun undangan dalam genggaman tangan. Mereka kerap menciptakan bising sampai saban hari aku dibuat pusing.

Mereka berdendang, tidak sama sekali peduli pada kapal yang kian terombang-ambing. Terlebih, tiap-tiap persona tidak pernah absen memanggil namaku, merangkul bahuku, dan mengajakku bergabung dengan mereka untuk menggaungkan tembang-tembang sukacita yang meriah. Aku harus apa? Ikut bernyanyi atau balik menyendiri?

Keramaian membangkitkan kekhawatiran di dalam diriku yang lebih gemar menyendiri. Terngiang di dalam benak tentang segudang tuntutan masa lalu yang ditempatkan pada kedua bahuku. Berat, rasanya sesak. Aku diminta melanjutkan kehidupan penuh ribuan susah dengan memangku nama kehormatan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk paham artinya. Aku disuruh berlayar ke sana kemari seorang diri.

Lagi-lagi di kala sunyi aku kembali teringat akan kewajibanku memenuhi segenap janji. Entah janji kali ini demi kebaikan siapa. Entah pelayaran kali ini menuju pelabuhan mana. Aku melayangkan sejumlah tanya kepada dersik angin yang sering sekali melantunkan nada-nada rindu tepat di telingaku, dan kepada debur ombak yang menyapaku dengan kencang seakan-akan siap menerjang badai bersamaku, juga tidak lupa kepada burung-burung hebat yang dengan asyik mengawal laju perahuku. Namun, meski aku telah berusaha menghadap semesta demi meminta pencerahan soal kelanjutan misi jiwa, sampai detik ini tidak kunjung aku temukan peringatan apa-apa. Aku belum mendapatkan jawaban yang aku damba.

Tentu ada sejumlah aksara semrawut yang belum benar mampu aku rangkai sedemikian rupa hingga nyaring di telinga. Masih ada secercah cahaya abu-abu di ujung sana yang belum benar sanggup aku gapai walau bantuan dari alam usai aku terima secara cuma-cuma. Terbiasa berlari tanpa siapa-siapa di sisi menjadikan aku fasih mendengar bahasa kalbuku sendiri.

Ada apa dengan semesta?

Tidak berkesudahan mempermainkan aku yang telah berjuang sekuat tenaga untuk bertahan hidup di tengah lautan kebimbangan. Tidak berbelas kasihan pada aku yang hanya ingin kebebasan sebagai hadiah atas semua penderitaan.

Di mana seharusnya aku berada?

Tidak tentu arah, tetapi aku tetap melangkah. Tidak pernah khawatir akan tenggelam, sebab aku sudah biasa bungkam. Apabila aku boleh berkata jujur, aku hanya ingin setiap perjalananku menjadi lebih berarti. Apabila semesta berkenan mendengar keluh kesahku, aku hanya ingin memiliki setidaknya satu hati yang menanti kepulanganku.

Untuk apa aku mengarungi samudra dan menjejaki benua?

Untuk mencarimu.
Untuk menemukanmu.

Kini jangan tutup telingamu. Kelak duduklah di sampingku. Jikalau kali ini terlewatkan, maka temani aku di perjalanan berikutnya. Aku selalu kuat dan jarang sekali takut, tetapi bolehkah nanti aku bersandar di pundakmu untuk sementara waktu? Semesta memang senang bercanda, tetapi aku percaya kita pasti akan berjumpa meski membutuhkan waktu lama.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Maret 01, 2022

535 ㅡ Jemari.

Izinkan jemari-jemari ini bertautan
tidak hanya untuk berdoa;
melainkan juga untuk bersentuhan
dengan satu belahan jiwa.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 28, 2022

534 ㅡ Aku tetap ingin jadi aku tanpa ragu.

Jika kamu boleh pilih ingin jadi siapa,
kamu ingin jadi siapa dan mengapa?

Jika kebanyakan orang ingin jadi kaya raya, aku hanya ingin jadi orang perasa yang paling bahagia. Jika kebanyakan orang ingin jadi terkenal, aku hanya ingin jadi sebagian kecil jiwa dengan welas asih yang kental. Jika kebanyakan orang ingin punya segalanya, aku hanya ingin punya seluruh cinta yang ada di dunia. Menurutmu, apakah bisa? Aku hanya ingin punya taman hati yang luar biasa asri. Aku hanya ingin kedua kaki ringkih bergerak tanpa pamrih. Aku hanya ingin bahu ini bisa bantu siapa saja bersandar untuk sekadar isi energi. Aku hanya ingin jadi orang kuat yang mampu mempertahankan kejernihan jati diri di hadapan banyaknya hati, janji, dalih, dan kasih yang menyelimuti cinta sejati.

Inginku bisa menikmati dunia melalui perjalanan hidup yang kelabu walau tujuan aku lahir sebagai tambahan isi semesta masihlah abu-abu. Jadi, jika aku diperbolehkan memilih ingin jadi siapa, aku tetap ingin jadi aku tanpa ragu. 

Aku sudah merasa cukup bahagia dengan pergulatan batin yang selalu aku labuhkan pada kata amin. Aku sudah merasa cukup bersyukur dengan perjalanan hidup yang adakalanya memang ngawur. Aku sudah merasa cukup kuat dengan memikul semua beban berat hingga terkadang berakhir bodo amat. Aku sudah merasa cukup berjuang dengan seluruh jerih payah yang matang demi menemukan rumah untuk pulang.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 27, 2022

533 ㅡ Hatiku hanya satu.

Hatiku hanya satu.
Bagiannya saja yang berbeda.

Ada yang pernah sepenuh hati cinta. Ada yang pernah separah itu luka. Ada yang pernah sabar pun lelah. Ada yang pernah terguyur hujan hingga putuskan berteduh sendirian. Ada yang pernah terbakar matahari hingga mencak-mencak ke sana kemari. Ada yang pernah terbawa angin hingga kelabakan bukan main. Ada yang pernah tenggelam hingga cerita berakhir khatam. Ada yang pernah hancur hingga merasa pantas melebur. Ada yang pernah kabur bahkan sebelum bertempur. Ada yang pernah kecewa karena terlupakan begitu saja. Ada yang pernah putus asa karena ujung-ujungnya berbeda rasa. Ada yang pernah terbuka hanya untuk ditutup kembali dengan paksa. Ada yang pernah bangun benteng pertahanan dengan lecet yang belum sembuh sendirinya. Ada yang pernah pertahankan setia meski lawannya insan buta rasa. Ada yang pernah cari bahagia meski tak dapat kasih yang didamba.

Rasanya terlalu banyak jika harus dituliskan semua di sini, sebab terlalu abstrak untuk dikatakan bijak. Walau begitu, setidaknya bagian-bagian hati yang penting sudah aku sebut dan rangkai satu per satu tanpa ada satu helai pun benang kusut.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 26, 2022

532 ㅡ Sudahkah tanya hati, bahagia hari ini?

Kata mereka, cinta lahir dan tumbuh dengan sendirinya.
Kata mereka, kalau jodoh pasti bisa bersama selamanya.
Kata mereka, segenap cerita pasti indah pada waktunya.
Kata mereka, sepayah apa pun kita, pasti akan bahagia.

Hari Kasih Sayang. Satu hari yang dinantikan oleh kebanyakan insan untuk berbagi kebahagiaan. Tidak, aku tak merayakan. Jikalau kamu kemari hendak cari tahu rasa yang menyala dalam sanubariku perihal hari ini, silakan angkat kaki. Kehadiranmu tidak sama sekali aku persila, sebab yang terbit adalah karsa kuat untuk berselindung di balik kelamnya nestapa yang menjelma derai air mata.

Ini aku, yang pada tiap-tiap jengkal untai aksaranya rumpang sehingga prosa romansa tak pernah rampung. Ini aku, yang pada tiap-tiap langkah tanpa alas kaki acapkali tak henti-hentinya diselimuti sunyi. Ini aku, yang sekali pun belum pernah berkenalan dengan bahasa cinta kekal, sebab mereka yang singgah hanya berencana lalu-lalang, kemudian paling-paling melupa dan seketika hilang. Ini aku, yang terbiasa merayakan kesedihan dengan wajah gembira, sebab seutuhnya aku dilahirkan dengan garis-garis nadi penuh lara yang pada sekat-sekat jemarinya disuruh sekuat-kuatnya rengkuh asa kepunyaan insan-insan buta rasa.

Kata aku, tak mengapa sendiri dahulu, sebab aku sudahlah utuh.
Kelak akan bagaimana? Sudahkah tanya hati, bahagia hari ini?

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 25, 2022

531 ㅡ Bermainlah sepuas-puasnya di bumi.

Sebuah pencapaian menandakan keberhasilan;
yang bermuara pada kebahagiaan.

Sebuah perjuangan menandakan kekuatan;
yang berkuasa atas kesedihan.

Sebuah perjalanan menandakan kesendirian;
yang berlabuh di kesepian.

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka mencintai masa kecil mereka sampai mereka dewasa?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa keluarga itu sangat berharga sebelum mereka kehilangan salah satu sanak saudara?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka sungguh bahagia dan diberkati sampai mereka mampu mencintai diri mereka sendiri?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa jarum jam bergerak sangat cepat sampai mereka sadar setiap kehidupan punya waktunya masing-masing?

Tidak tahu.

Awalnya aku tak tahu-menahu soal apa pun terkait semua itu. Namun, seiring dedaunan berguguran di tepi jalanan yang biasa aku lewati, pun setiap senja angin bertiup dari ufuk utara menuju selatan, tanpa ba-bi-bu aku tersadar bahwa hidup ini hanya bisa aku jalani satu kali saja.

Meski begitu, lagi-lagi aku berpikir. Jika memang demikian, mengapa pula beban terberat justru diberikan pada bahu seseorang yang terlahir teramat ringkih? Mengapa harus aku yang memikul dosa orang-orang tidak tahu diri hingga aku juga yang harus meminta ampun atas semua perbuatan keji mereka?

Aku terlahir di titik terjauh dari sebuah kesempurnaan. Aku bersyukur tiada keanehan di badan ini. Aku lengkap selengkap-lengkapnya. Namun, keluargaku tidak, kehidupanku tidak. 

Banyak batu menerobos masuk ke dalam lapisan bening yang aku bangun untuk berlindung. Benteng pertahananku bukanlah rumah, melainkan jati diriku sebagai manusia. Walau aku dikelilingi ratusan atau miliaran orang yang berusaha mengajak aku gugur bersama mereka, aku tidak akan bersedia mengamini hal yang sama.

Kali ini aku sampaikan bulat-bulat keputusan itu usai aku pikirkan matang-matang. Oleh sebab dahulu selalu dijadikan kambing hitam dan diperlakukan bagai setiap hari adalah malam kelam, maka embusan napas terakhir membuat aku terbang ke singgasana tertinggi.

Terlahir tanpa ibunda di sisi tidak membuat aku pandai membenci, meski ayahanda sering menghujani aku dengan caki maki sepanjang hari. Terberkati dengan seorang kakak laki-laki yang paling berani tidak membuat aku percaya pada kesungguhan hati, meski selama ini aku diselimuti cinta kasih.

Mereka berdusta, dan aku terluka. Apalah arti sebuah keluarga ketika yang mampu mereka kerjakan dengan benar hanyalah mengelabui aku dan menjual aku ke komplotan insan biadab? Tidak. Tak akan lagi aku percaya pada kehadiran cinta dan keluarga.

Kemudian, kehidupan sebagai seorang manusia yang ahli melukai diri sendiri dan orang lain pun dimulai. Lembaran baru kertas putih kembali ternodai tinta berwarna merah serupa buah apel yang matang dan siap dimakan. 

Saban hari aku hanya tahu cara menghancurkan rumah-rumah tiap-tiap kepala yang aku temui. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya, berseru sekencang-kencangnya, dan berjanji sesungguh-sungguhnya. Aku tidak akan bersedia kembali ke jalan yang salah untuk kesekian kalinya.

Walakin, semesta berkata lain. Aku dipertemukan dengan keluarga baru yang menjadikan aku tangan kanan untuk merusuh. Aku tidak punya pelindung selain diriku sendiri, tetapi aku malah ditugaskan untuk terus-menerus menjadi tameng untuk jiwa orang lain. 

Dari situ aku sadar betul-betul bahwa aku tidak menjalani kehidupanku dengan baik, atau sebenarnya sedari awal pun kehidupan ini memang tidak pernah baik. Maka dari itu, aku selalu menanggung beban dan tak pernah berada di tempat paling aman.

Tenang, aku tetap berusaha bertahan. Setidaknya bertahan hidup sebelum ajal menjemput. Dengan hati gembira, aku akan ikut ke mana pun malaikat menyambut ketika hari kepergianku ke akhirat tiba di depan mata.

Benar, tidak lama setelah aku membasahi kedua tanganku dengan air sewarna buah apel yang sering aku makan tanpa ragu, kecelakaan membuat aku harus kehilangan nyawaku. Tanpa aba-aba, tanpa pertanda, tanpa kecewa, aku terluka hingga tak mampu lagi membuka mata.

Terbanglah aku ke atas sana. Aku melewati sungai abadi dengan penuh perjuangan. Aku menjelajahi hutan gelap dengan rumah seadanya yang aku ciptakan tanpa atap. Alih-alih berakhir di neraka, aku diajak bermain ke surga. 

Pemandangan nirwana sungguh sangat teramat luar biasa. Suara alam begitu nyaring terdengar bagai menyelimuti diriku yang barangkali akan masuk angin jika tidak segera menyentuh setitik kehangatan. Para malaikat berlalu-lalang dengan senyuman cerah menghiasi paras mereka bagai tiada kesusahan pernah dilalui setiap dari mereka.

Aneh. Aku tidak merasa mereka aneh. Justru aku merasa diriku yang berada di surga adalah sebuah keanehan. Aku tidak sepatutnya singgah ataupun tinggal di surga. Aku penuh dosa dan tidak pantas dianggap sempurna.

"Tiada satu orang pun yang tidak pantas diampuni," dan sopran lembut sekonyong-konyong membelai ruang dengarku. "Asalkan orang itu bersedia meminta pengampunan dengan penuh ketulusan hati."

Sepasang manik kepunyaanku berpendar dalam usaha mencari pemilik suara tersebut. Sepersekian detik kemudian, seorang malaikat bersayap menampilkan wujud di hadapanku. Seorang perempuan cantik dengan rambut berwarna hitam yang mana membuat aku terpesona bukan main.

"Kamu sudah menjalani kehidupan yang berat. Kamu sudah melakukan perbuatan dosa yang teramat banyak. Kamu sudah memperlakukan orang-orang di sekitarmu dengan tidak baik," kata malaikat itu lugas. "Kamu sudah seharusnya tinggal di neraka selamanya. Namun, ingatkah kamu di detik-detik terakhirmu kamu memuliakan nama Tuhan? Kamu menyembah dan memohon ampun dengan setulus hati. Maka dari itu, kamu akan diampuni."

Aku bungkam seribu bahasa. Bukan karena aku mendadak lupa bagaimana cara bicara, melainkan karena aku khawatir ini hanyalah mimpi semata yang bertugas untuk memberiku pelajaran. Astaga, apa-apaan? Bisa-bisanya aku memikirkan hal-hal semacam itu di saat aku sudah menyadari sepenuhnya bahwa aku sudah berpindah alam.

"Kendati demikian, dosa tetaplah dosa, dan kamu harus membayar dendam kesumat yang pernah bersarang di dalam hatimu," lalu malaikat itu menutup kedua mataku dengan salah satu telapak tangannya. Seketika saja aku menjadi buta dan tidak dapat melihat dunia.

Terperanjat. Aku benar-benar kehabisan akal mengenai keputusan yang dibuat oleh malaikat anonim di hadapanku. Lidahku terlalu kelu untuk berkomentar. Sepasang tungkai pun ikut lemas secara tiba-tiba. Entah apa yang terjadi pada badan yang sempat aku bilang lengkap ini.

"Purnama," sebut malaikat itu. Kali ini dengan tenang sang malaikat yang tidak mampu lagi aku tatap wajahnya menepuk bahuku pelan-pelan. "Atas nama Purnama, kamu sudah terlahir kembali. Kami hadiahkan kamu nama yang paling berharga. Selamat atas kelahiranmu, Purnama."

Kedua bilah bibirku menjauhi satu sama lain seakan bermusuhan. Mulutku terbuka, tetapi aku tetap tidak bisa berkata-kata. Abjad yang biasa terukir apik di sudut kepalaku tiba-tiba hilang tanpa bekas. Ingatanku kosong melompong bagai cangkang tak bertuan.

"Bermainlah sepuas-puasnya di bumi, Purnama. Kamu akan diberkati dengan sepasang sayap yang bisa mendukung eksistensimu sebagai manusia penolong. Bayarlah semua dosamu dengan mengumpulkan karma baik. Hiduplah bebas sekali lagi, ciptakanlah lebih banyak memori, dan janganlah kembali bersusah hati."

Kalimat demi kalimat yang mendarat di telinga berubah menjadi serupa dongeng bagiku. Aku seperti sedang diceritakan kisah hidup yang baru. Perlahan-lahan aku mulai melupakan kehidupanku yang lalu, siapa namaku dahulu, dan bagaimana parasku semasa aku hidup di masa lampau. Aku melupa, dan pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasa sangat bahagia bisa bebas dari segala derita yang merajalela.

"Purnama, PurnamaPurnama," dan tanpa diduga-duga lantunan nada merdu menyanyikan namaku. Aku rasa para malaikat sedang merayakan kelahiranku. "Bersoraklah, bersenandunglah, dan berbahagialah, sebab kamu sudah diampuni dosanya. Purnama, nikmatilah cahaya cinta meski kamu tidak bisa lagi melihat dunia."

BRUK!!!

Gelap gulita. Aku kehilangan kesadaran. Namun, genaplah sudah semua yang disampaikan. Kini aku terlahir dengan nama Purnama. Aku adalah seorang malaikat buta yang punya pekerjaan untuk menolong manusia. Aku harus membayar semua dosaku dengan mengumpulkan karma baik. Aku akan menjadi malaikat terdekat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.

Memanggilku tak pernah sulit. Kamu hanya perlu niat yang baik. Jika kamu sudah berdoa dan berharap dengan sungguh-sungguh, maka aku pasti akan datang untuk membantumu mewujudkan harapan itu. Tenang, selalu ada aku di sampingmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 24, 2022

530 ㅡ Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh.

Berapa banyak luka yang dihasilkan
ribuan sesal dari hanya satu kesalahan?

Berapa jauh asa dilambungkan
untuk berulang kali sebut;
andai saja waktu bisa diputar kembali?

Entah, memang hanya manusia biasa
yang sering kali berandai-andai.

Terlampau besar apa-apa yang tidak mampu diungkapkan, pula terlampau jelas mana-mana yang bisa diwujudkan. Maka, jiwa kerap jadi guyonan semesta; di mana luka hadir sebagai jawaban dari hampir yang hanya mampir.

Walau demikian, terluka tak boleh jadi konklusi hingga hasilkan langkah harus terhenti akibat perih yang menjalar ke sekujur tubuh. Menjadi kuat sejatinya bukan dari enggan jatuhkan air dari pelupuk mata, tapi bagaimana hati mampu terima segala rasa, namun putuskan untuk tetap berdiri meski tinggal seorang diri.

Tahu 'kan, kebanyakan orang kerap bilang, "Andai aku tahu waktu itu apa yang kuketahui sekarang."

Kemudian, pernahkah kamu berada di posisi punya keinginan yang besar untuk katakan, "Iya, lalu apa? Coba teruskan."

Inilah terusannya. Mungkin aku bisa bagikan sedikit asa dan rasa yang aku rangkai dalam beberapa paragraf.

Semoga catatan kecilku ini bisa beri secuil pelita dalam kehidupanmu. Bersama-sama denganku, mari coba berandai-andai, tapi ingatlah untuk akhiri dengan bahagia, ya.

Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh, ketimbang omongan orang lain yang bisa saja hanya hendak buat aku jatuh.

Aku akan menikmati lebih sedikit khawatir, ketimbang lingkupi diri dengan sejuta pikiran buruk yang pada akhirnya tak berarti.

Aku akan tahu bahwa sekolah akan segera selesai, dan pekerjaan tak akan seberat itu untuk dijalankan.

Aku tidak akan khawatirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan akan lebih prioritaskan perasaanku sendiri.

Aku akan lebih menghargai kesehatan, ketimbang apa pun yang mampu dibeli dengan uang.

Aku akan lebih banyak bermain, lebih sedikit mengeluh, dan lebih berani untuk ambil segala kesempatan.

Aku akan tahu bahwa kecantikan dan ketampanan tercermin dari kecintaan seseorang pada hidup.

Aku akan tahu betapa orang-orang terdekatku begitu mengasihiku, dan aku akan percaya mereka mengasuhku dengan sebaik mungkin.

Aku akan menikmati perasaan "jatuh cinta" dan tidak terlalu mengkhawatirkan apakah suatu hubungan akan berlangsung baik.

Aku akan tahu bahwa mungkin saja ada hubungan yang tidak berjalan baik, tapi akan ada orang lain yang lebih baik datang setelahnya.

Aku tidak akan takut bertingkah bagai anak kecil, dan aku akan enggan jadi dewasa sebelum waktunya.

Aku akan lebih berani hadapi segala situasi dengan melepas belenggu "takut" yang sebenarnya tak perlu.

Aku akan cari kualitas terbaik dalam diri tiap-tiap orang yang aku temui, dan menikmati persahabatan yang bisa aku ciptakan dengan mereka.

Aku tidak akan bergaul dengan segerombolan orang hanya karena mereka "populer" saja. 

Aku akan ikuti kursus vokal dan dansa agar aku punya talenta yang luar biasa.

Aku akan menerima tubuhku dan semua yang Tuhan ciptakan tanpa loloskan sedikit pun keluh.

Aku tidak akan mudah berprasangka buruk, dan lebih memercayai orang-orang yang aku kasihi.

Aku akan jadi sahabat yang setia untuk keluargaku, saudara-saudaraku, juga kawan-kawanku.

Aku akan menikmati ciuman. Maksudku, aku akan sangat teramat menikmati ciuman.

Aku akan lebih menghargai orang-orang di sekelilingku, dan lebih banyak bersyukur atas kehidupanku kemarin, hari ini, maupun nanti.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 23, 2022

529 ㅡ Hidup ini tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti.

Berbaik hatilah,
karena semua insan yang kau temui
tengah berjuang memenangkan jutaan pertempuran;

terlepas dari mudah terlewati,
sulit yang setengah mati,
hingga hati berbuah benci.

Jangan pamerkan menang,
bila hanya niat lalu-lalang.

Semasa kelas dua SMP, aku kerap dambakan Junior Stellis Night. Suatu acara retret yang diadakan untuk murid-murid perempuan di sekolahku. Tujuannya adalah untuk bicarakan kehidupan kami; terutama bahas masalah soal kekhawatiran dan kecemasan kami yang ada sangkut-pautnya dengan sekolah, teman, laki-laki, orang tua, keluarga, atau apa saja. Diskusi kami sangat teramat menarik hingga rasanya aku enggan beranjak pulang dari sana.

Jujur saja, aku tiba di rumah dari acara retret itu dengan perasaan gembira yang sungguh besar. Iya, oleh sebab aku telah belajar banyak tentang manusia dan semesta yang akan sangat berguna bagiku.

Aku putuskan untuk simpan pelajaran hidup yang aku terima pada acara retret itu dalam buku harianku; yang merupakan tempatku berkeluh-kesah kala tak ada teman bicara.

Tanpa terlampau banyak buang waktu untuk berpikir, aku biarkan sepasang kuasa bergerak ke arah lemari kecil di samping kasurku. Aku tarik salah satu laci di sana, dan kusimpan harta paling berhargaku di dalamnya. Kemudian, aku bereskan kembali barang-barang bawaanku.

Perasaanku begitu gembira dan puas usai retret itu, sehingga aku lambungkan harapan kala memasuki pekan berikutnya. Namun, ternyata segala yang aku harapkan berujung sia-sia. Pekan itu jadi satu dari sekian banyak pekan yang bawa petaka.

Ini adalah petaka emosional yang tak mampu aku bendung. Seorang kawan benar-benar buahkan luka di hati, aku teringat segala hal yang jatuhkan kepercayaan diriku, dan aku cemaskan nilai-nilaiku yang kian menurun akibat stres.

Bisa dikatakan aku benar-benar tenggelam dalam tangis sampai tertidur, setiap malam. Tadinya aku sempat taruh harap, bahwa apa-apa saja yang aku terima di Junior Stellis Night akan berdampak besar untuk tenangkan diriku, dan bantu aku agar tak rasa tertekan lagi. 

Bagai manusia hanya boleh berharap; yang terjadi malah sebaliknya. Aku mulai berpendapat, bahwa retret yang aku lalui tempo hari hanyalah pereda stres sementara. Rasa kalut begitu lembut tarik aku ke dasar laut, hingga sesak hasilkan sepasang tungkai tak berani berpijak ke mana-mana.

Kala itu, Minggu pagi. Hari yang seharusnya bawa keceriaan pada hati. Aku ingat betul, aku bangun dengan hati berat dan perangai yang buat sebal. Lebih-lebih, aku terlambat ke Sekolah Minggu. Maka dari itu, lekaslah aku kenakan baju apa saja yang tertangkap pandang, kusambar kaus kaki dari dalam laci, kemudian usai sejemang mematut diri di depan cermin, barulah aku beranjak dari ruangan kamar.

Tak pernah aku sangka, aku bisa berani-beraninya tutup pintu dengan keras di rumah ini. Namun, mungkin memang dari sananya aku perlu kuatkan tangan untuk lempar gagang pintu sekeras-kerasnya, sebab karena itu pula entah mengapa buku harianku keluar dari lokasi penyimpanan.

Heran betul, sungguh. Padahal yang aku lempar sekuat tenaga adalah gagang pintu, tapi mengapa laci nakaslah yang berakhir hamburkan isi. Khawatir ada yang pungut lalu baca, refleks aku kembali ke dalam kamar untuk pastikan tanganku yang angkat benda itu.

Kala aku berlutut untuk ambil buku harian itu, tiba-tiba angin yang tidak tahu bertiup dari belahan mana buat aku mampu baca rentetan tulisan di dalam catatan yang aku bubuhkan di sana selama Junior Stellis Night.

Ada serangkaian kalimat yang buat aku tertegun. Salah satu pemimpin retret pernah sampaikan sesuatu yang membekas dalam hatiku; sejumput pelajaran hidup yang patut aku ingat selalu. Oleh karena itu, aku berniat untuk bagikan juga kepadamu. Semoga kamu tidak perlakukan dirimu sendiri dengan terlampau keras.

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu, dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau pemuda mana atau gadis mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, rambutmu, warna kulitmu, tempat tinggalmu, atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kamu memiliki banyak teman, atau apakah kamu seorang diri, dan bukan tentang apakah kamu diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup bukanlah tentang semua itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih. Hidup ini adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan.

Tentang apa yang kamu katakan dan yang kamu maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Lebih-lebih yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk bagaimana kamu gunakan hidupmu. Tentang bagaimana kamu menyentuh hidup orang lain dengan cara yang luar biasa dan tak tergantikan.

Hidup ini adalah tentang serangkaian kalimat menguatkan, sederet bahu untuk bersandar, dan segala memori yang kamu berikan kepada orang lain. Hidup ini adalah tentang bagaimana kamu hadiahkan setidaknya sepercik cahaya pada hidup orang lain, dan hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Usai ambil dan simpan pencerahan dari untaian kata ini, aku berhasil kerjakan ujian sastra dengan baik keesokan harinya. Aku mampu umbar tawa gembira bersama beberapa kawan pada akhir pekan, dan aku berani menyapa pemuda yang aku taksir sejak lama, meski berujung luka karena aku tak dianggap apa-apa, sebab aku bukanlah siapa-siapa. 

Selain itu, aku bisa habiskan waktu luangku bersama saudara-saudari di Sekolah Minggu. Aku juga tak perlu bersikeras untuk dengarkan nasihat dari Suster dan Frater di gereja, malah dengan senang hati aku dengar tanpa keluhan. Bahkan, aku berhasil temukan gaun indah selutut yang bisa aku kenakan ke pesta sekolah, dan kamu tahu, ada yang ajak aku berdansa.

Semua ini bukanlah kebetulan dan keajaiban. Ini adalah perwujudan dari perubahan dalam hati dan sikapku. Aku sadar, bahwa kadang-kadang aku perlu diam sejenak dan ingat-ingat kembali segala hal yang benar-benar penting dalam kehidupan ini. Misalnya, semua yang aku dapatkan dari Junior Stellis Night kala itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan ketika aku telah duduk di kelas terakhir bangku SMA, batin yang tenang dan penuh harap kembali ke permukaan. Oleh sebab aku akan hadiri Senior Stellis Night, maka segala cerita yang terjadi saat dan seusai Junior Stellis Night muncul dalam benak bagai sinema.

Namun, tenang, buku harianku masih aku simpan dengan baik tanpa cacat sedikit pun. Seluruh memori akan hari itu, aku biarkan selalu ambil tempat dalam relung hati. Bilamana aku butuh pencerahan lagi, maka lewat buku harian berhargaku, aku mampu lihat kembali setiap kali aku perlu mengingat apa sebenarnya hakikat hidup ini.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 22, 2022

528 ㅡ Orang menyukai orang yang menyukai mereka.

Kamu tidak akan tahu kebahagiaan
yang ditimbulkan oleh kebaikan hati,
sebab yang terpenting dalam hidup ini adalah
cara kita saling memperlakukan satu sama lain.

Makin banyak yang kita ketahui,
maka makin baik pula kita memaafkan.

Purnama, seorang sahabat karib rangkap kawan mainku, bawa energi dan kehidupan ke dalam tiap-tiap ruangan yang dia sambangi. Juita ini akan pusatkan seluruh atensi kala kamu tengah tuturkan sesuatu, dan dia mampu buat dirimu merasa sangat penting. Banyak insan acungi jempol dan sampaikan; mereka jatuh hati pada sosok Purnama.

Pada suatu hari di musim gugur yang cerah, aku dan Purnama tengah duduk di area belajar kami. Aku arahkan kepala untuk pandang ke luar jendela kala aku lihat salah satu guruku lintasi tempat parkir.

"Aku tak mau bertemu dengannya," kataku.

"Mengapa?" tanya Purnama.

Aku jelaskan sedikit tentang alasan aku enggan tatap muka dengan guru yang satu ini. Di kelas sebelumnya, aku dan si guru berpisah dengan tidak baik. Aku tersinggung oleh saran yang diajukannya, kemudian dia tersinggung karena jawabanku.

"Lagi pula," tambahku, "dia tidak suka padaku."

"Mengapa?" tanya Purnama.

Juita itu tatap sosok guru yang baru saja lewat. "Mungkin kamu salah," balasnya. "Bisa saja kamu yang berpaling, dan kamu melakukannya karena kamu takut. Dia juga mungkin berpikir kamu tak menyukainya, jadi dia tidak ramah. Orang menyukai orang yang menyukai mereka. Kalau kamu menaruh minat padanya, dia pasti juga akan tertarik padamu. Berbicaralah dengannya."

Untaian kata dari Purnama menyengatku. Lantas, ragu-ragu aku turuni tangga ke tempat parkir. Pada akhirnya, aku putuskan untuk sapa guruku dengan hangat dan tak lupa aku tanyakan juga kabarnya.

Sepasang iris hazel pria tua itu bersirobok dengan milikku; dia tampak terkejut. Kami berjalan bersama sambil mengobrol, dan aku mampu bayangkan Purnama awasi pergerakanku dari jendela dengan senyuman lebar.

Jujur saja, aku bisa lakukan ini usai Purnama jelaskan kepadaku sebuah konsep sederhana. Saking sederhananya, aku sampai-sampai tidak percaya kalau aku tak sama sekali ketahui soal itu.

Seperti kebanyakan anak muda, aku tidak merasa yakin akan diriku dan terbiasa hadapi semua pertemuan dengan perasaan takut, bahwa orang lain akan menilaiku; padahal sebenarnya, mereka yang khawatir tentang bagaimana aku menilai mereka.

Sejak hari itu, sebagai ganti lihat penilaian di mata orang lain, aku kenali kebutuhan orang lain terlebih dahulu sebelum berhubungan, dan biarkan mereka berbagi sesuatu tentang diri mereka kepadaku setelah itu. Aku mulai temukan dunia orang-orang yang tak aku kenal. Seandainya aku tidak ubah sikap, aku tak akan tahu sejauh mana dan seberat apa kaki mereka membawa mereka berlari menjemput bahagia walau kadang-kadang malah berjumpa dengan air mata.

Pernah, misalnya, di dalam kereta bawah tanah yang lintasi perbatasan suka dan duka, aku buka obrolan dengan laki-laki yang dihindari semua orang karena dia berjalan goyah dan bicaranya seperti orang mabuk. Ternyata dia sedang memulihkan diri dari serangan jantung. Dia dahulu adalah seorang insinyur pada jalur kereta bawah tanah yang kami tempuh saat ini, dan kala itu dia ungkapkan untukku sejarah-sejarah yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Masinis pemangku marga Langit yang bawa seekor kelinci untuk temani beliau dalam perjalanan; jadi salah satu sejarah paling menarik di antara serangkaian bab dalam buku sejarah itu.

Saat baskara mulai warnai cakrawala, dia genggam tanganku dan pandangi kedua mataku. "Terima kasih, karena sudah mendengarkan ceritaku. Orang lain tak ada yang mau repot." Dia tidak perlu berterima kasih padaku, sejujurnya. Aku yang beruntung.

Ada pula saat-saat lain; di sudut jalan bising area suka terdapat sebuah keluarga yang tanyakan jalan padaku, ternyata mereka berkunjung dari area duka dan kini tengah lakukan petualangan ke kota. Aku tanyakan hari-hari mereka di rumah, lalu sambil minum kopi, mereka kisahkan kepadaku tentang serentetan serial melodrama kehidupan yang menimpa mereka.

Setiap alur pertemuan selalu jadi petualangan, setiap orang beri pelajaran hidup yang tak bisa dibayangkan. Mereka yang berkelimpahan, yang kekurangan, yang berkuasa, dan yang kesepian; semuanya dipenuhi impian dan keraguan sepertiku. Namun, tiap-tiap dari mereka punya kisah yang unik, kalau saja aku bersedia dengarkan dengan baik.

Aku pernah temui seorang gelandangan tua berjanggut yang ceritakan kepadaku; bagaimana dia beri makan keluarganya saat masa depresi hebat dialami seluruh insan di kota kami. Dia perjuangkan hidup sampai pertaruhkan nyawa dengan setiap hari tembakkan senapan ke danau demi kumpulkan ikan-ikan yang terkejut hingga melayang ke permukaan.

Selain itu, kisah petugas lalu lintas yang bagikan pengalamannya tentang bagaimana dia belajar gerakan tangan dari menonton matador dan konduktor orkes, juga beri kehangatan tersendiri dalam batinku. Pegawai salon pula pernah ungkapkan seberapa senang dirinya kala cuma lihat penghuni panti jompo tersenyum usai dapatkan potongan rambut baru.

Sadarkah kita, betapa sering kita biarkan kesempatan untuk bahagia seperti itu lewat begitu saja. Juita yang menurut kebanyakan orang biasa-biasa saja, taruna yang dianggap tak punya apa-apa; orang-orang itu punya cerita, sama seperti aku dan kamu. Sepertimu, mereka memimpikan akan ada orang yang mau mendengarkan kisah mereka.

Inilah sejumput kunci kehidupan yang diketahui Purnama. Katanya, sukai orang terlebih dulu, bertanya-tanya kemudian. Lihatlah dulu, apakah cahaya yang kamu pancarkan kepada orang lain tidak dipantulkan kembali kepadamu seratus kali lipat.

Pada dasarnya, kita semua hanya ingin didengarkan. Terlepas dari idamkan hasrat untuk dicintai, adakalanya kita perlu lebih dahulu ulurkan tangan lalu tanyakan kepada mereka; apakah semua baik-baik saja di sana. Semua dari kita sama-sama butuh pengertian dan perhatian. Maka dari itu, akan lebih baik bila ungkapan cinta banyak dikata, ketimbang lisankan benci yang tidak sepatutnya.

Bersamaku yang coba berubah menjadi lebih baik setiap harinya, maukah kamu genggam tangan ini dan berjalan sedikit lebih jauh lagi untuk jadikan jiwamu versi terbaik dari yang terbaik? Aku berjanji tidak akan tinggalkan sisimu, sebab tiap-tiap dari kita pantas diperlakukan sama. Aku, kamu, dia, kita, dan mereka; semuanya pantas rengkuh bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 21, 2022

527 ㅡ Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.

Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.
Cuma berjaga kalau-kalau aku perlu tutupi diri;
agar tak ada yang lihat aku yang asli.

Alasan klasik;
takut pamerkan rupaku yang sungguhan.
Namun, bolehkah aku cerita soal obsesi sederhana?

Aku tidak pernah tahu apa alasannya, tapi aku pikir tiap-tiap insan pasti punya obsesi terhadap satu hal kecil. Iya, aku sendiri punya segudang hal yang kerap buat aku terobsesi.

Bila boleh cerita sedikit, aku punya obsesi untuk kupas jeruk tanpa terputus, pula terbiasa kosongkan halaman pertama buku catatan baru, gigit kuku jemari kala dilanda panik, dan paling-paling; aku suka amati sapaan tangan para pengemudi bus.

Nah, sekarang aku akan kupas sedikit demi sedikit tentang obsesiku yang terakhir. Obsesi yang mungkin terasa aneh dan asing bagi beberapa insan, tapi aku harap kamu tidak pandang aku sebelah mata.

Bila tengah naik bus, adakalanya bus yang aku naiki berpapasan dengan bus bernomor lain dari perusahaan yang sama—datang dari arah berlawanan. Di momen itu, para pengemudi bus saling beri sapa berupa gerakan tangan sederhana.

Aku sangat teramat suka amati sapaan tangan yang mereka beri, sampai-sampai kalau ada bus dengan nomor lain muncul dari kejauhan—jantungku berpacu begitu cepat, dan aku mulai tatap pengemudi bus dengan saksama. Lucu, ya? Aneh, 'kah?

Meski sapaan tangan itu cuma gestur sederhana, jujur saja terkandung kepribadian masing-masing pengemudi di sana. Lagi-lagi, walau gerakan yang mereka ciptakan berujung sama; sudut tangan, ekspresi, serta atmosfer yang diciptakan oleh tiap-tiap pengemudi terasa berbeda.

Ada salam yang seolah-olah katakan, "Oi, hari ini kamu sudah bekerja keras!" dengan sekencang-kencangnya. Ada pula salam yang rasa-rasanya bagai tuturkan, "Hai, aku tahu kamu sudah bekerja sangat keras hari ini!" tanpa segan. Kemudian, ada resah hati yang disampaikan lewat kalimat, "Ah, hari ini aku sangat tidak bersemangat!"

Adakalanya aku lihat ada pengemudi beri salam dengan pose yang keren. Sapaan tangan itu lurus dan tegap, kemudian aku pun berpikir, 'Ah, semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja,' lalu seketika aku merasa tenang.

Tatkala ada penumpang tanyakan rute bus, atau bila pengemudi lewatkan waktu yang tepat untuk saling beri sapa, terkadang malah aku yang kecewa. Aneh, memang.

Sejujurnya aku sendiri merasa bahwa obsesiku ini sungguh aneh. Namun, berkat obsesi ini, aku bisa dapatkan kebahagiaan yang sederhana hampir setiap saat.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 20, 2022

526 ㅡ Ingatlah, kamu sangat dicintai semesta.

Ingatlah, setiap hujan akan kembali reda pada akhirnya. Ingatlah, setiap malam akan selalu bertemu pagi yang berbeda. Ingatlah, berusaha secukupnya dan berjuang semampunya. Ingatlah, kamu sangat dicintai semesta. Ingatlah, kamu selamanya diberkati dan pantas bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 19, 2022

525 ㅡ Terima kasih sudah berjuang sejauh ini.

Terima kasih sudah berjuang sejauh ini. Tetaplah menjadi dirimu yang murah hati. Tetaplah menjadi dirimu yang pengasih. Tetaplah menjadi dirimu yang setulus hati memancarkan cahaya kasih. Jangan takut untuk berekspresi. Jangan khawatir untuk mencoba lagi.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 18, 2022

524 ㅡ Sebisamu saja, ya?

Senjakala mengangguk mantap dengan senyuman sumringah menghiasi wajahnya. Kedua tangan yang terkepal pun diangkat. Sang pemeran utama kisah sudah siap berjuang melawan pahitnya semesta monokrom demi mencari satu per satu warna pelangi yang tersembunyi.

O, Senjakala.
Sebisamu saja, ya?

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 17, 2022

523 ㅡ Jadilah seniman yang serupa dengan gambaranmu sekarang.

Aku terdiam sejenak. Mencerna impian Senjakala tidaklah mudah, sebab kini aku perlu memutar otak untuk memberi semangat hati mungilnya.

"Jadilah seniman yang serupa dengan gambaranmu sekarang," kataku pelan. "Tidak akan ada yang sia-sia, karena kebahagiaan pasti menjadi hadiah."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 16, 2022

522 ㅡ Aku ingin bercerita menggunakan hati dan untuk menyentuh hati.

"Kenapa?"

"Aku ingin bercerita menggunakan hati dan untuk menyentuh hati," ujar Senjakala lirih. "Aku berbeda dengan mereka yang memilih tunduk pada angka. Aku ingin mencintai setiap karya yang tercipta dari jiwa bersahaja. Aku ingin menjadi seniman yang punya hati luar biasa."

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 15, 2022

521 ㅡ Mereka sama sekali tidak jelek.

Aku berdeham. Bukan, bukan karena aku terkejut, melainkan karena udara dingin mulai merambat masuk melalui mulut hingga tenggorokanku sakit.

"Mereka sama sekali tidak jelek," lalu Senjakala mengibaskan sebelah tangannya ke arahku. "Hanya saja aku tidak ingin menjadi seperti mereka."

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 14, 2022

520 ㅡ Mereka hidup dalam seni, dan itu yang aku cari.

Aku mendengarkan tiap-tiap kata yang terangkai menjadi kalimat-kalimat utuh dari Senjakala dengan penuh perhatian.

"Mereka hidup dalam seni, dan itu yang aku cari," lanjut Senjakala. "Aku pernah menemukan ada orang di puncak gunung yang gemar melontarkan kata-kata palsu dan ambigu."

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 13, 2022

519 ㅡ Hati mereka yang ingin aku sentuh, sebisaku, dan dengan caraku.

"Sasaranku bukan mereka yang ada di puncak gunung atau di dalam gawang, melainkan mereka yang hidup di langit luas, batu keras, dan laut lepas. Hati mereka yang ingin aku sentuh, sebisaku, dan dengan caraku," cerita Senjakala, "sebab aku tahu, orang-orang seperti itu mengenal seni."

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 12, 2022

518 ㅡ Udara dingin kian menusuk tulang.

"Oh," dan hanya itu yang lolos dari bibirku. Aku tersenyum, sebab tahu betul dalam beberapa detik saja Senjakala akan mulai menjelaskan jawaban yang aku minta.

Senjakala tertawa sebelum mendongak. Udara dingin kian menusuk tulang, tetapi kami masih setia berteman dengan padang gelagah.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 11, 2022

517 ㅡ Memang apa yang ingin kamu dapatkan?

"Memang apa yang ingin kamu dapatkan?" tanyaku penasaran.

Senjakala berbalik dan menatapku dengan sepasang mata yang tegas. "Aku ingin bebas," katanya dengan lugas.

"Bebas yang seperti apa?"
"Bebas bercerita dengan caraku."
"Seperti apa caramu itu?"
"Seperti—masih rahasia, hehe."

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 10, 2022

516 ㅡ Semestaku terlalu monokrom, kurasa.

Namun, kali ini wajah Senjakala berubah abu-abu. Murung, bibir Senjakala ikut maju tanpa ba-bi-bu.

"Haha, tapi lucu. Meski aku sudah menepati kata-kataku sendiri, tidak ada yang aku dapatkan sebagai hadiah. Semua sia-sia," celoteh Senjakala putus asa. "Semestaku terlalu monokrom, kurasa."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 09, 2022

515 ㅡ Dengar-dengar seniman selalu menepati kata-katanya.

"Terdengar hebat," sahutku sambil mengangguk.

"Dengar-dengar seniman selalu menepati kata-katanya. Jadi, kalau aku menjadi seniman, maka aku akan dikenal sebagai seseorang yang selalu menepati kata-kataku," jelas Senjakala dengan antusias.

Aku tersenyum, "Terdengar semakin hebat."

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 08, 2022

514 ㅡ Aku ingin menjadi seniman yang mampu menyentuh hati banyak orang.

"Aku ingin menjadi seniman yang mampu menyentuh hati banyak orang," begitu kata Senjakala tanpa ada sedikit pun keraguan di dalamnya.

Apa yang dipikirkan Senjakala dalam waktu yang sesingkat ini? Aku bertanya-tanya. Mungkin Senjakala ingin menjadi seperti kebanyakan insan yang punya impian.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 07, 2022

513 ㅡ Kami memiliki selera yang sama.

Aku tidak ingin mengusik Senjakala yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kami berdiri diam di sana selama beberapa menit.

Setidaknya aku tahu bahwa aku dan Senjakala memiliki selera yang sama. Kami sama-sama menyukai ketenangan, musim salju, dan barangkali padang gelagah.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 06, 2022

512 ㅡ Menggemaskan, sekaligus membuat cemas.

Menggemaskan, sekaligus membuat cemas.

Kebebasan dan kedamaian beterbangan dan jatuh ke dalam pelukannya. Senjakala mendekap erat semua itu sesaat sambil menggigil.

Khawatir Senjakala kedinginan, aku menyampirkan mantel ke bahunya dan memeluknya dari belakang.

Akulah, sang penjaga Senjakala.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 05, 2022

511 ㅡ Aku memutuskan untuk menemui Senjakala.

Aku memutuskan untuk menemui Senjakala di padang gelagah yang ada di tengah pulau.

Senjakala langsung keluar dari mobil bahkan sebelum mobil yang aku kendarai benar-benar berhenti. Juita itu tampak terburu-buru menghirup udara dingin dengan sekujur tubuhnya yang ringkih.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 04, 2022

510 ㅡ Selamat berpetualang; dengan kaki telanjang.

Bersama debur ombak dan laut biru,
juga angkasa abu-abu yang sendu.

O, Senjakala.

Selamat berpetualang;
dengan kaki telanjang.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 03, 2022

509 ㅡ Orang-orang lupa apa-apa saja yang harus ditakuti di dunia ini.

Senjakala Merindu, namanya.

Ramah, tutur katanya.
Nila, corak semestanya.
Jingga, helai rambutnya.
Sempurna, cinta kasihnya.

Senjakala, juita jelita laksana panorama senja yang menjadi pengingat bahwa terkadang orang-orang lupa apa-apa saja yang harus ditakuti di dunia ini hingga hati terlalu takut mencintai.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 02, 2022

508 ㅡ Aku biarkan mereka merampas jiwaku.

Aku biarkan mereka merampas jiwaku dan menelan semua kenangan yang ambigu.

Nada dan melodi dari nyanyian mereka membuat aku terlena. Di saat mabuk kepayang, aku ambil pena dari saku celana, lalu aku lahirkan juita tanpa nama kenamaan semesta yang seharusnya tidak hidup di sana.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 01, 2022

507 ㅡ Aku hanyalah manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.

Nyanyian ombak dan laut terus berlanjut. Begitu juga dengan aku yang berdendang di antara mereka, meski aku hanyalah manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.

Tiba-tiba mereka melebarkan sayap, maka dengan cepat aku merentangkan tangan. Kami melampaui segala batas hubungan.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Januari 31, 2022

506 ㅡ Aku merasa seperti pendosa ulung.

Laut mencuri pandang.
Tatapannya penuh penilaian.

Entah kenapa, nyaliku langsung ciut.
Aku merasa seperti pendosa ulung.

Ombak bergulung tinggi dan menunduk menatapku. Tangan dan kakiku gemetar. Aku merasa dikucilkan, seolah-olah aku tidak seharusnya menyaksikan pertunjukan ini.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Januari 30, 2022

505 ㅡ Aku merasa kecil hingga tidak berani berkaca di hadapan laut.

Nyanyian yang tadinya lirih itu terdengar semakin kuat, memenuhi udara sampai-sampai aku nyaris kehabisan napas. Bulan yang bersembunyi di balik segerombolan awan hitam pun mengintip keluar dan bertatapan denganku.

Aku merasa kecil hingga tidak berani berkaca di hadapan laut.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Januari 29, 2022

504 ㅡ Ternyata laut sedang bernyanyi.

Aku berhenti.

Suara lirih itu perlahan berubah menjadi suara yang bisa kudengar lebih jelas. Aku langsung menyadari bahwa suara itu adalah nyanyian. Aku nyaris tidak percaya pada telingaku sendiri. Bulu kudukku meremang tanda ketakutan.

Astaga, ternyata laut sedang bernyanyi.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Januari 28, 2022

503 ㅡ Benar-benar hari yang sial.

Benar-benar hari yang sial.

Setibanya aku di pulau nanti, aku akan langsung ke penginapan dan tidur dengan layak. Maka, kini aku memutuskan untuk melewati lorong gelap, sebab telingaku baru saja menangkap suara lirih. Aku menatap dan menghampiri suara asing itu dengan perasaan takut.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Januari 27, 2022

502 ㅡ Aku ingin keluar dari tempat yang penuh orang ini.

Aku butuh udara segar. Aku ingin keluar dari tempat yang penuh orang, menyesakkan, dan membuatku sangat mual ini. Namun, ada larangan yang ditempel di pintu menuju dek.

“Sialan!”

Aku memukul pintu dengan frustasi, lalu berbalik sebelum pintu itu reyot akibat tendangan mautku.

Salam hangat,
Senjakala.