Rabu, September 30, 2020

018 ㅡ Berharap kamu mampu merasakan kerinduanku yang tersirat.

Aku rindu dia;
yang selalu membuatku penuh tanya,
yang bahagia tanpa aku di sisinya,
yang tak menjadikanku kesayangannya.

Bintang di langit;
sampaikan salamku padanya,
bisakah kamu menjaganya,
karena aku akan berhenti untuk selamanya.

Di sebuah kedai, dengan secangkir kopi, sang puan ditemani sunyi. Puluhan persona berjalan ke sana kemari demi mencari sebuah tempat yang nyaman ditinggali. Berbeda dari mereka, aku menatap keluar jendela, menghela napas berat, mengusap kembali hati yang teramat rapat, memanggilmu dengan bahasa isyarat; berharap kamu mampu merasakan kerinduanku yang tersirat.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, September 29, 2020

017 ㅡ Aku akan menjadi harapan untuk masa depan.

Aku akan melepaskan, membiarkan semuanya yang bukan menjadi milikku pergi dari hidupku, dan mengatakan kepada diriku sendiri, bahwa aku tak akan kembali mencintai dan dicintai.

Biar aku hanya hidup untuk diriku sendiri, karena meski berdiri seorang diri, aku tak perlu mengulang perih. Hanya ingin mengurangi kepedihan, aku tak butuh pujian dan harapan. Aku hanya membutuhkan sebuah kehidupan dengan diriku sebagai pemeran utama.

Aku akan mulai menghitung mundur. Sebentar lagi, hari-hari berat yang kualami akan berakhir, menyisakan diriku dan mimpi yang akan aku buat nyata di tahun yang baru. Tak lagi berharap, aku tak akan berani lagi, karena kali ini, aku akan menjadi seseorang yang diharapkan. Aku akan menjadi harapan untuk masa depan. Sulit memang, terasa pahit di hati, tetapi pada kenyataannya, bahkan hingga jatuh ke parit pun, aku lagi-lagi masih sanggup berdiri.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, September 28, 2020

016 ㅡ Aku tak akan lagi berbagi, karena semua hanya berujung perih.

Aku akan mencari, dan terus berdiri walau hati ingin berhenti.
Aku bisa, karena aku mampu.
Aku sanggup, karena aku berjuang.
Aku tulus, karena aku tak mengeluh.
Aku yakin, karena aku percaya.
Semuanya akan baik-baik saja.

Berulang kali aku terjatuh, lama-lama aku menjadi rapuh. Meski begitu, rasanya aku tak akan berniat lagi untuk memberikan hatiku yang utuh kepada siapa pun, karena seluruhnya hanya milikku seorang. Aku tak akan lagi berbagi, karena semua hanya berujung perih. Maka dari itu, aku akan menutup buku, menyimpannya sebagai cerita pilu, dan tak kubiarkan diriku menerima hati siapa pun yang ingin berkunjung.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, September 27, 2020

015 ㅡ Akulah yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku.

Aku harus;
memuji diriku,
menyayangi diriku,
sebab akulah yang,
bertanggung jawab atas;
kehidupanku,
kebahagiaanku.

Malam ini, aku memutuskan untuk berdiri, dan memilih untuk tak lagi tersenyum lirih. Detik ini, aku akan menyatakan kepada dunia bahwa aku berhak untuk bahagia. Meski tak mengerti apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya, tetapi aku akan mencoba memperjuangkan.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, September 26, 2020

014 ㅡ Kapan aku diperbolehkan menulis kisah bahagia?

Aku ingin bahagia, bukan lagi rahasia.
Berulang kali terluka, anggap aku tak pernah ada.
Sudah letih, bahkan tak pernah terpikirkan untuk memilih.
Kapan aku diperbolehkan menulis kisah bahagia?

Mungkin, harus kumatikan lilin, dan membuang rasa ingin.
Untuk direngkuh, untuk digenggam, untuk dipandang.
Kupastikan, aku tak lagi menantikan hari di mana kamu memiliki kepastian.
Jika boleh kuberpinta, hanya satu yang kuminta; untukmu jangan pernah berubah.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, September 25, 2020

013 ㅡ Aku berhenti menjadikanmu perih yang tak berarti.

Aku berhenti menjadikanmu perih yang tak berarti.
Menangis lirih, menarik diri, tak ingin mencintai lagi.
Aku kira dengannya tak berakhir sama.
Ternyata, aku terlalu cepat jatuh, terlalu mudah patah.

Menemukanmu di tengah keramaian, tidak semudah yang kamu bayangkan.
Biar langit yang mengingat seberapa dalam aku tenggelam.
Kala mencari titik terang, aku berperang.
Melukai hati, memutuskan pergi.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, September 24, 2020

012 ㅡ Aku putuskan, tak perlu kamu kembalikan hati yang kuberikan.

Aku tidak bisa lagi melangkah, bisakah kamu berhenti menjelajah?
Aku tidak menyukai kata mampir, karena itu sama saja dengan hampir.
Aku tidak bisa lagi percaya, maukah kamu yang lebih dulu membuka?
Aku tidak berani sudahi saja, karena itu sama saja seperti aku tak pernah berusaha.

Malam ini, aku kembali berpikir, jikalau aku berhenti, apakah kamu akan bersenang hati?
Sejak pagi, aku sudah termenung, menjadikan hariku mendung, apakah kamu tetap berlindung?
Senja tiba, aku tidak memiliki apa-apa, hanya sapa dan tawa, apakah kau akan setia?
Tengah malam, aku putuskan tak perlu kamu kembalikan hati yang kuberikan, sebab aku yang memanggilmu di tengah keramaian.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, September 23, 2020

011 ㅡ Ternyata, lagi-lagi aku sendiri.

Rinai hujan menyadarkanku akan arti dari sebuah pengharapan, di mana aku menjadikanmu tujuan tanpa adanya persetujuan.
Terik mentari mengajarkanku bahwa aku membutuhkanmu, meski tak bertemu, kamu menghantuiku.
Lembayung senja memberiku kesan tentang indahnya merah jingga yang bangga menjaga setiap rasa.
Kelamnya malam membuatku tahu akan gelap gulita yang membuatku berpinta; jadikan aku selamanya.

Ternyata, selama ini semua begitu nyata; hanya aku yang terlalu percaya langkah membawamu menuju di mana aku berada.
Ternyata, hanya aku yang meminta untuk dijadikan yang pertama, meski nyatanya aku bukan siapa-siapa.
Ternyata, aku tidak berhak mencinta, karena aku tak diperbolehkan berpinta; semua yang kuduga, berakhir sia-sia.
Ternyata, lagi-lagi aku sendiri, seperti tak pernah ditemani, dilingkupi sunyi, menyembunyikan diri.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, September 22, 2020

010 ㅡ Maukah kamu simpan hati yang berdetak pelan untukmu, Angan?

Berteman sepi, bersama puisi, tanpa kau di sisi.
Dirundung pilu, menangis tersedu, merindu melalui lagu.
Dihujani air mata, mengingat hari bercengkrama, saat kamu membuatku tertawa.
Berharap kamu datang, membawa bintang, mengajakku terbang.

Mungkin bukan saatnya, belum waktunya, tak untuk selamanya.
Perasaan semu, bersamamu, benarkah itu?
Terasa begitu nyata, walau tak kasat mata, hati ini bertanya;
Maukah kamu simpan hati yang berdetak pelan untukmu, Angan?

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, September 21, 2020

009 ㅡ Untuk pertama kalinya, patah, jatuh, hingga titik terendah.

Biar aku yang tenggelam, berteman kelam, dipeluk malam.
Biar aku yang merindu, menyisakan candu, melepas bayangmu.
Biar aku yang merasa, hingga putus asa, dihempas masa.
Biar aku yang jatuh, meski tak lagi utuh, setidaknya ... hatiku untukmu, menyeluruh.

Untuk pertama kalinya, aku kembali merasa; berlindung di balik asa, membuatku terbang ke angkasa.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, aku lagi-lagi berpikir sama; kamu dan aku satu irama.
Untuk pertama kalinya, perasaan ini berbeda; terasa begitu nyata, membuatku terlena.

Tetapi ... untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, aku ...

Untuk pertama kalinya, patah, jatuh, hingga titik terendah.
Untuk pertama kalinya, hancur, melebur, tak ingin dihibur.
Untuk pertama kalinya, ingin sendiri, menyendiri, seorang diri.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, September 20, 2020

008 ㅡ Lagian, aku tak pernah benar-benar menjadi bagian dalam kehidupanmu yang nyaman, bukan?

Aku tidak bisa menentukan akhir.
Bisa jadi, aku dan kamu tak memiliki akhir.
Berjalan berdampingan walau tak menentu di akhir.
Alangkah indahnya, aku dan kamu bersama menentukan akhir.

Mempertanyakan kebahagiaanku, mereka tertawa bagai aku tidak berarti, karena tak ada siapa pun di sisi yang ingin berbagi kasih. Suatu hari nanti, kamu akan bertemu dengan pemuja yang sesungguhnya, kata mereka. Menjadikanmu putri, tak peduli bagaimana, siapa, apa, dan di mana. Nanti, suatu hari nanti, bukan sekarang, gadis malang. Untuk kali ini, bersabar menunggu yang terkasih datang, hingga nanti mendapatkan dia yang menyuarakan isi hati dengan lantang: hanya kau satu-satunya penguasa hati.

Aku menantikan kehadiranmu di dalam kediamanku yang terasa semu. Sudah lama aku berhenti merasa. Kuputuskan untuk berhenti menciptakan mimpi yang kuanggap nyata demi membahagiakan hati. Saat kamu datang, aku tertantang; membuatku mulai ingin dan berani melihat masa depan yang terbentang memanggilku terbang untuk bertemu dengan titik terang. Sungguh, aku tidak pernah ingin menyelipkan harapan, tetapi entah mengapa, aku selalu menjadikanmu angan.

Bukan salahmu, pun juga bukan masalahmu. Aku yang kalah, mengalah karena lelah sudah terlalu mudah memberi. Maka dari itu, aku akan menjaga hati ini seorang diri. Tidak perlu takut, aku tak akan menyikut, dan membuatmu ikut tenggelam dalam laut kelam nan dalam yang kuciptakan untuk bersembunyi.

Kubiarkan kamu pergi, membawa hati yang tak sepenuhnya pernah kumiliki.

Kubiarkan engkau berjalan, lagian, aku tak pernah benar-benar menjadi bagian dalam kehidupanmu yang nyaman, bukan?

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, September 19, 2020

007 ㅡ Hati tak pernah memaksa, aku dan kamu, berakhir sama.

Aku, yang berusaha menerima.
Aku, yang berharap kamu menoleh.
Aku, yang berjuang agar kamu tak sendiri.
Aku dan kamu, yang tak pernah nyata.

Tak tahu arah, mengalah, demi kepala yang diharapkan tertoleh ke belakang.
Tak tentu arah, mencoba marah ketika hati lelah, karena kamu jauh di sana, tak tahu apa-apa.
Tak ingin mencari, namun kamu seolah menari; membuat diri tak berhenti berpikir indahnya sanubari yang terisi akan semua tentangku.

Tahu betul, mana mungkin dari sebuah kebetulan menjadi harapan?
Tahu pasti, mana mampu menggerakkan hati yang telah lama mati?
Atau, nyatanya tak pernah sepenuh hati melihat diri ini tersenyum penuh arti.

Semua sama, pikirmu demikian, bukan?
Boleh, pikirmu bisa melelehkan hatiku.
Sudah, usai kamu lakukan, pun aku tak butuh pertanggungjawaban.

Hati tak pernah menyangka, kamu akan menjadi penjaga.
Hati tak pernah memaksa, aku dan kamu, berakhir sama.
Hati ini berdetak untukmu walau tak paham di mana letak milikmu,
dan yakin, mana mungkin kamu menghentakkan kaki berjalan ke arah di mana aku berada.

Perlahan, aku paham.

Permainan yang melibatkan hati, selalu mengundang perih.
Aku mengangkat tangan, tak mau ikut ambil bagian. 

Sejak dulu sudah aku sampaikan, aku tidak akan memulai semuanya lagi, sebab luka yang diberikan tak pandang buluh. Menyerangku seakan aku mudah untuk ditaklukkan. Aku sempat ketakutan, membayangkan perasaan yang tak pernah berakhir sesuai harapan kembali ke permukaan.

Lantas, untuk apa engkau berkunjung, membiarkan balon harapan yang namamu kusematkan di dalamnya terbang ke angkasa, jika kamu tak berujung ingin tinggal, membuatku mempertanyakan akal yang selama ini kupergunakan untuk membuatmu terpingkal-pingkal?

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, September 18, 2020

006 ㅡ Demi siapa perasaan ini mekar bak bunga mawar?

Aku ingin menjadi pagi yang membangunkanmu dari mimpi.
Aku ingin menjadi senja yang selalu kamu rindukan kehadirannya.
Aku ingin menjadi malam yang membuatmu tenggelam dalam kelam.
Aku ingin menjadi dunia yang kamu perjuangkan seutuhnya.

Kembali menorehkan tinta berwarna di atas kertas putih, memberanikan diri untuk menulis isi hati. Pertanda baik, keadaan hati mulai membaik, meski bukan yang terbaik. Walau nyeri masih terasa, kehancuran berkeping-keping tak lagi menjadi masalah. Sudah menerima, lebih tepatnya, sejak awal semua memang fana. Tercekat, karena tak mampu memikat untuk mengingat. Sudah lupa, anggap saja sudah pergi jauh entah ke mana.

Bukan apa, demi siapa perasaan ini mekar bak bunga mawar?
Bukan siapa-siapa, memang engkau sendiri siapa?

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, September 17, 2020

005 ㅡ Aku, untuk kesekian kalinya, tidak akan lagi mencoba berharap.

Aku bingung,
seharian termenung.
Katakan padaku yang sesungguhnya,
bisakah kamu duduk dan mulai bicara?

Sebenarnya, kamu ingin berpulang atau hanya mengulang?
Aku bukan jalan pintas; pun bukan sosok yang bisa membawamu terbang,
tetapi aku bisa menjadi seorang gadis yang mencintaimu tanpa batas.

Kali ini, aku kembali mengingatkan hatiku, bahwa aku tidak akan mencoba berharap. Aku akan membiarkan semua berjalan sesuai dengan waktunya. Tak akan ada yang memaksa untuk bersama. Tak akan ada yang mempercepat yang seharusnya. Tak akan ada yang berusaha menuju akhir, dan hanya akan membiarkan waktu bergulir; apa adanya.

Aku, untuk kesekian kalinya, tidak akan lagi mencoba berharap.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, September 16, 2020

004 ㅡ Aku tak berduri seperti mawar, tetapi mengapa rasanya hambar?

Terkadang, aku merasa bagaikan sekuntum mawar yang hanya bisa memberikan keindahan, tetapi tak seorang pun berniat memiliki. "Aku tak berduri seperti mawar, tetapi mengapa rasanya hambar ketika tak seorang pun berani menyambar?"

Dihempas sekali, bukan masalah, cukup hanya menangis lirih.
Dua kali merasa terbuang, rasanya tak sanggup lagi mengulang.
Tak perlu menunggu hingga ketiga kali datang, sebab sudah berniat menghilang.

Bukan apa, aku pantas bahagia.
Aku juga pantas bahagia, bukan?

Tidak mendapatkan kasih yang sesuai porsi, terkadang memang membuat hati perih, tetapi aku katakan sekali lagi ... aku juga pantas dicintai.

Bukankah semua orang pantas dicintai?
Aku termasuk, ‘kan?

Berulang kali aku berusaha menghipnotis diri, mengatakan kepada hati, bahwa aku ingin berhenti dan mencoba mencintai siapa pun yang berminat tinggal dalam sanubari.
Namun, berulang kali pula rasanya hampa; mereka sama, hanya ingin singgah dan mencoba.

Apakah aku yang termakan perasaan sendiri yang ingin merasakan bagaimana dicintai?
Apakah aku yang tak berani melihat kenyataan bahwa sesungguhnya mereka tak ingin bergandengan tangan denganku?
Apakah aku yang selama ini bermimpi; seorang diri?

Mungkinyang pertamaberniat tinggal, tetapi kamu tahu, tak ada yang kekal, aku kehilangan akal hingga merasa dia berusaha mengenal.
Nyatanya, dia hanya mengulur waktu dan mencariku hanya ketika butuh.
Tak ingin berjalan, pun tak hendak berlari.

Jadi, maunya apa?

Di sini, aku yang bingung menempatkan diri; harus berdiri di sampingmu, atau berlari mengejarmu?
Di sana, kamu bahkan tidak peduli, hanya bermain sesuka hati.
Jika kukatakan hati ini terluka, akankah kamu berubah?

Permainanmu itu hanya membuat hati beku, sehingga lebih baik kamu biarkah berlalu.
Kamu tahu, sejak bertemu denganmu, aku mulai mengenal rindu.
Sejak kamu hadir dalam hidupku, pintu yang dulu sempat tertutup rapat, terbuka lagi dengan sendirinya.

Canda dan tawa menemani hari-hariku yang abu-abu, sebab aku tahu, kamu ada untukku berbagi rindu.
Titik air mata sedikit demi sedikit berkurang, membiarkan hati membuat ruang untukmu bertandang.
Terkadang, aku bahkan memimpikanmu dalam diam.

Hanya ini pertanyaanku;
Jika semua rindu yang kamu katakan palsu, untuk apa kamu berpura-pura ingin bertemu?
Jika semua cinta yang kamu jadikan kata hanya sebatas fana, untuk apa kamu katakan semudah kamu membalikkan telapak tangan?

Aku bukan mainan yang bisa kamu permainkan tanpa menjaga perasaan.
Aku bukan tempat berkeluh kesah yang kamu cari saat kamu ingin berlari tanpa berniat menjaga hati.
Adalah aku, mungkin, hanya aku, yang selama ini menganggapmu nomor satu.

Menarik dan mengulurkamu buat aku luluh, lalu tinggal aku sendiri berperang melawan ego yang aku miliki.
Aku sudah tidak ingin lagi, bisakah kamu berhenti?

Ini bukan cinta, melainkan derita.
Aku sudah lelah, ingin marah saja.

Aku tidak bisa memaksa untukmu menemukanku di tengah keramaian.
Aku tidak berani memintamu datang menemuiku di saat kamu benar ingin bertemu, bukan ada maksud tertentu.
Aku hanya ingin kamu tahu; aku bukan tempat persinggahan.

Bunda pernah memberi nasihat.
Kata beliau, jangan percaya kata-kata anak adam.
Bukan pendendam, hanya jangan membendung rasa yang mungkin akan dipendam.
Manis di bibir, harus tahu bagaimana cara air mengalir.
Jangan terbuai.

Oleh karena itu, aku menutup pintu, tak membiarkan siapa pun membuat luluh, sebab sejauh ini, mereka hanya berlalu.
Bukan karena aku enggan, hanya saja pengalaman mengajarkan diri harus mencari aman.
Pernah terluka, takut kembali luka.

Sudah lama aku tak menjalin cerita, mengatasnamakan romansa sebagai judul kisah.
Di saat aku ingin mulai membenahi diri dan keluar dari sini, aku dipertemukan dengannya, yang hanya ingin berjumpa tanpa ada rasa di setiap kata.
Sudah, aku lelah.

Untuk kamu, yang aku sebutkan di sini sebagai Yang Pertama;
Bagaimana jika kita sudahi saja karena aku sudah cukup lelah mempertanyakan perasaan yang kamu berikan secara terpaksa?
Jangan memaksa, aku hanya ingin kamu merasakan hal yang sama.

Jangan buat aku berhenti percaya cinta.
Jangan pegang aku hanya karena kamu ingin dikelilingi kaum hawa.
Jangan katakan sayang saat kamu hanya ingin terbang melayang bersama dayang-dayang.

Aku hanya gadis biasa; seseorang yang sangat perasa.

Aku lebih daripada itu.

Aku pantas untuk diperjuangkan seutuhnya.
Aku tidak akan berdiri di sampingmu lagi, untuk kesekian kalinya aku katakan.
Aku pun tak akan berlari mengejarmu lagi, untuk hari ini, terakhir kali aku katakan.

Berakhir sudah, kisah antara aku dan diayang tak pernah nyata, sebab hanya aku yang meminta dia ada untuk menjadi rumah.
Niatku akan menutup hati setelah mempersilakan dia pergi, tetapi lagi-lagi ada yang mendekati meski belum ingin memiliki.

Sekali lagi, kucoba membuka hati, melihat masa depan walaupun samar.
Namun, entah apa yang membuat hati belum siap menanti, pun tak terlalu ada rasa seperti sebelumnya.

Aku sudah membuka, tetapi belum ada.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, September 15, 2020

003 ㅡ Bagaimana, jika kita ubah sudut pandang kamu menjadi aku?

Di saat aku tak mengharapkan kehadiranmu, kamu datang dengan wajah sendu seolah mengungkapkan rindu; mengisyaratkan tak ingin melepasku. Apa-apaan kamu ini? Berulang kali jadikan aku Yang Tersisih; tak pernah malu membuat aku ragu.

Biasanya, aku yang bertanya kepada diriku sendiri;
Apakah aku, yang harus selalu memperjuangkan dirinya?
Apakah aku, yang harus selalu menjadikannya nomor satu?
Apakah aku, yang harus selalu menghujaninya dengan kasih sayang?

Apakah aku, yang harus selalu memberikannya perhatian?
Apakah aku, yang harus selalu mewujudkan impiannya?
Apakah aku, yang harus selalu memanjakannya dengan cinta?
Apakah aku, yang harus selalu merindu dan jatuh sakit?

Apakah aku, yang harus selalu ...
... dan segala pertanyaan lainnya masih kusimpan dalam hati.
Kita sudahi sampai di sini, karena sebentar lagi tangis tak mampu berhenti.
Kita akhiri sampai di sini, sebab aku tak ingin kamu lagi.

Aku bertahan dengan senyuman.

Kubiarkan dia bepergian, tanpa tahu arah pulang.
Kubiarkan dia terjaga, tanpa tahu aku menunggunya pulang.
Kubiarkan dia berkelana, tanpa tahu aku menahan kerinduan.

Kubiarkan dia pergi.

Di saat aku sudah berhenti; menutup hati, berjuang pergi, dan berjanji tak akan kembali, kamu datang tanpa permisi, membuat hatiku lagi-lagi perih; pertanda aku masih di sini, setia menanti.

Jangan tertawa, aku tak sedang bercanda.

Bagaimana, jika kita ubah sudut pandang kamu menjadi aku?
Bagaimana, jika kamu berada di posisi aku?
Bagaimana, jika kamu menjadi aku, yang senantiasa menjaga rindu, menantikan kehadiranmu, tanpa tahu, di mana kamu?

Bagaimana?

Di saat kamu membutuhkanku, maka cari aku, meski kamu harus tahu, aku mungkin saja tak sedang menantikan kehadiranmu.
Di saat kamu menginginkanku, maka kejar aku, meski kamu harus tahu, aku bisa saja sudah tak lagi menginginkanmu.

Jangan mengira, aku akan selamanya setia menunggumu berubah rasa di setiap langkah.
Jangan menduga, aku akan selalu ada setiap kamu membutuhkan aku di sisimu selamanya.
Jangan membual, karena aku tak lagi kenal dirimu dalam khayal.
Jangan minta hal muluk, sebab hatiku sudah terlanjur remuk.

Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menanyakan kabarmu, meski kamu menjawab hanya di saat kamu membutuhkan aku.
Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menjadi pendengar setiamu, meski kamu tak sadar, aku memperlihatkan tatapan nanar saat melihatmu liar.

Ingatlah satu hal, aku tak akan mencarimu dan berdiri di sampingmu lagi, sebab aku tahu kamu hanya berlari menemuiku saat kamu butuh.
Ingatlah lagi, aku tak akan menjadikanmu pemilih, sebab aku yang akan memilih.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, September 14, 2020

002 ㅡ Hanya aku yang suka.

Memandangmu dari kejauhan; aku memang menjadikanmu harapan, tetapi detik ini kukatakan, "Aku akan menyimpan, membuang seluruh kenangan, dan melepasmu dari jangkauan."

Aku tergoda, karena kamu ada di saat aku merasa hidupku hanyalah kesialan semata.
Aku terjatuh, karena kamu menemaniku menyusun kembali hati yang sempat patah hingga utuh.
Aku terbuai, karena kamu memberiku seringaian yang menggugah hati.

Aku merasa; menjadikanmu asa, tetapi kusadari kamu terpaksa.
Aku suka; anganku kamu tidak memberi luka, tetapi kamu hanya menganggapku sebagai salah satu rentetan angka.
Aku di sini; menantimu kembali, meskipun sejak awal kamu tidak pernah di sisi.

Kamu tidak pernah satu kali pun mencariku di tengah keramaian.
Kamu tidak pernah satu kali pun berbalik dan memeluk diriku dalam diam.
Kamu tidak pernah satu kali pun menyuarakan kata suka yang teramat sangat kunantikan sebagai bentuk kejujuran.

Kamu tidak pernah suka, tetapi mengapa kamu buat aku terlena?
Kamu tidak pernah cinta, tetapi mengapa kamu perlakukan aku bagai punya rasa?
Kamu tidak pernah menoleh, tetapi mengapa kamu buat aku meleleh?
Kamu tidak pernah; hanya aku yang suka.

Kesalahanku, menyayangimu sepenuh hatiku tanpa tahu kamu mungkin saja membawa luka yang tidak mampu kusembuhkan lagi.
Ketidakberuntunganku, memilihmu di tengah keramaian kotaku; membuat hatiku risau, padahal sudah pasti sekarang kamu sedang tertidur pulas.

Kubiarkan kamu hanya angan yang kini menjadi kenangan.
Akan aku tenggelamkan di dasar samudra terdalam, dalam diam, dan berjanji tidak akan kembali menyelam.
Inginku melupakanmu, mengganti presensimu dengan yang baru, meski sulit bagiku.

Aku menjadikanmu yang pertama, tetapi kamu tidak melakukan hal yang sama.
Jika suatu hari nanti kamu menoleh ke belakang dan mendapati aku tidak lagi berdiri di sana, jangan kamu berusaha mengajakku kembali, sebab aku tidak akan memilihmu untuk yang kedua kali.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, September 13, 2020

001 ㅡ Aku terlahir rumpang.

Aku, Senjakala Merindu, di sini akan bagikan kepada kamu; tentang perih yang tak kunjung sembuh, air mata yang selalu basahi sisi wajah, amarah yang membuncah setiap kali merindu, tetapi tidak lupa akan ada bahagia yang membuat senyuman tidak akan hilang selamanya.

Aku terlahir rumpang. Meski begitu, aku tidak akan pernah berhenti untuk selalu berusaha menjadi seseorang yang memiliki dada lapang untuk melepas semua yang mengekang.

Jadi, bersama dengan aku, bersediakah kamu ikuti perjalanan hidupku yang sebenarnya sendu? Bersediakah kamu bersama denganku berjalan untuk menemukan secercah harapan dalam kenestapaan? Aku yakin ada kebahagiaan di ujung sana. 

Semoga kita tidak hanya hidup untuk memuaskan hasrat orang lain, tetapi juga tanamkan janji pada diri, supaya kelak kuat berdiri sendiri.

Salam hangat,
Senjakala.