Tampilkan postingan dengan label naskah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label naskah. Tampilkan semua postingan

Kamis, Maret 10, 2022

544 ㅡ Pesawat kawat.

Ibu bilang, "Nak, ayo kita jelajahi dunia. Tapi sebelum keliling dunia, kita singgah dulu di rumah nenek ya?"

Aku mengangguk saja. Pertanyaanku hanya satu, "Naik apa ke sana?"

Senyuman selebar kebun bunga terpatri apik di kanvas roman ibu. Namun, tak ada jawaban yang selaras dengan ekspresi ibu.

"Kalau mau bisa baca pikiran, aku harus sekolah di mana ya?" Bergurau saja. Iya, dasar aku.

Ibu menarik aku ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa lepas. "Tak ada kendaraan udara lain selain pesawat capung," dan ibu beri jawaban di sela tawa yang masih menggelegar.

Jika kau bertanya kenapa ibu tertawa, jawaban dariku hanya satu. Ibu tahu aku takut jatuh.

"Lewat daratan saja ke rumah nenek," tegasku sambil merengut. "Tak bisa, 'kah?"

Ibu melepas dekapan lalu menatap kedua bola mataku lekat-lekat. "Anak ibu bukannya mau jadi pilot? mana ada pilot yang takut terbang?"

"Aku bukan takut terbang. Aku cuma tak mau jatuh."
"Kalau siap terbang, harus siap jatuh."
"Terbang dan jatuh selalu berjalan beriringan. Aku tak suka."
"Sejak kapan terbang sama dengan jatuh, Nak? Setelah terbang bisa saja mendarat."
"Bisa saja mendarat, Bu. Bisa saja. Berarti kemungkinan jatuh selalu ada."

"Nak, kenapa kamu setakut itu jatuh?"
"Pokoknya kalau jatuh, bagaimana?"
"Tak selamanya jatuh itu sakit dan pahit."
"Ah, ibu senang bercanda. Mana ada jatuh yang manis?"
"Jatuh cinta; menyenangkan dan membahagiakan."

"Ibu ke mana-mana deh. Takut naik pesawat tak sama seperti takut jatuh cinta."
"Lho, Nak? akhirnya mengaku juga takut naik pesawat."
"Siapa bilang aku takut naik pesawat? Aku cuma tak suka terbang dan takut jatuh."
"Kenapa takut? Ada ibu duduk di sampingmu. Kalau kau takut jatuh, maka jadilah pilot paling lihai mengendarai pesawat."
"Tak segampang itu, Bu."

"Belum dicoba, lho. Masa iya sudah loyo?"
"Ibu jangan goda aku!"
"Makanya coba dulu naik pesawat capung supaya kau bisa kritik segala-galanya yang kau lihat, dengar, dan rasakan selama penerbangan. Setelah itu ibu yakin kau akan punya banyak pandangan soal masa depan."
"Masa depanku sebagai pilot?"
"Orang-orang yang fokus pada masa depan adalah orang-orang yang usai berdamai dengan masa lalu. Kau dan ketakutanmu pada langit menjadikan nyalimu selalu saja ciut setiap ibu mengajakmu naik pesawat."

"Aku cuma takut tak bisa pulang lagi melihat ibu di dapur. Nanti tak ada lagi yang mengingatkan ibu untuk tak usah sibuk-sibuk masak ini-itu saat aku ulang tahunku."
"Ketakutanmu terlalu besar, Nak. Jangan beri terlalu banyak ruang untuk takutmu."
"Aku tak mau jadi seperti bapak."
"Memang bapak kenapa?"
"Bapak terbang sampai lupa pulang."

"Bapakmu naik pesawat kawat."
"Pesawat kawat itu memang pesawat seperti apa, Bu?"
"Pesawat rusak. Pesawat yang berbunyi ngik ngik."
"Kalau aku jadi pilot, aku tak akan mengendari pesawat kawat agar penumpangku semuanya selamat."
"Itulah mengapa ibu mau kau berusaha melawan segala takutmu. Jadilah pilot yang hebat."

"Kalau nanti aku jadi pilot, apa kita bisa bertemu bapak?"
"Jangan ganggu bapak lagi, Nak. Bapak sudah menjelajahi angkasa dengan pesawat kawatnya. Perjalanan kita biarlah menjadi kau dan ibu yang merasakan. Suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi dengan bapak di langit yang berbeda."
"Aku dengan pesawat capungku, sedang bapak mengendarai pesawat kawatnya. Lalu ibu di mana?"
"Ibu bisa saja membeli tiket untuk naik pesawat capungmu, atau menumpang di pesawat kawat bapak."

"Masih lama kan, Bu?"
"Apanya, nak?"
"Berpisahnya."
"Selama-lamanya yang diizinkan semesta. Kita hanya bisa selamanya berusaha."

"Aku akan jadi pilot kebanggaan ibu. Aku akan menjaga keselamatan ibu setiap kali ibu mau naik pesawat."
"Itu baru anak ibu. Jadi, besok kita berangkat?"
"Iya, semoga pesawat yang kita tumpangi bukan pesawat kawat ya, Bu."
"Amin."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Maret 09, 2022

543 ㅡ Anak kecil, semesta mungil.

Hari ini semesta pertemukan aku dengan seorang anak kecil. Anak perempuan dengan wajah bundar dan pipi tebal menghampiriku seakan sudah lama betul kenal aku. Tak pakai kasut, pun gaun selutut berwarna kuning terang dengan motif kembang-kembang yang dikenakan tampak sangat compang-camping.

"Jangan lihat aku seperti itu," tegasnya ketika melirik aku yang dari ekor mataku seolah menghakimi penampilannya. "Bajuku tidak jelek. Hanya kurang disetrika. Ibu malas menyetrika. Katanya, punggung sakit setiap harus duduk di balik meja setrikaan."

"Kenapa kamu tidak setrika bajumu sendiri?" tanyaku menggebu-gebu.

Anak perempuan itu mengibaskan sebelah tangannya dengan santai. "Ibu mau menjadikan aku putri. Putri di kerajaan tidak menyetrika bajunya sendiri."

Aku terbahak. Putri dari mana? Putri raja tak pakai gaun rusak dengan bangga. Namun, enggan aku gubris pernyataan dari si kecil. Aku berakhir memamerkan senyuman saja ketimbang harus manyun tak keruan.

"Kalau begitu, siapa namamu?"

Berjinjit sedikit sebelum mencubit ujung gaun robek dan menunduk sekilas, anak perempuan itu memperkenalkan diri ala putri raja.

"Senjakala," adalah nama yang lolos dari celah bibir bocah itu.

"Nama yang cantik," pujiku tulus. "Jadi apa yang membuatmu datang menemuiku?"

"Boleh aku melihat sesuatu dari bola kristalmu?"

Seperti biasa, semua orang yang datang ke bilik pribadiku hendak meminta sesuatu. Hasrat mereka pasti besar untuk mengetahui gambaran masa lalu atau masa depan yang mampu dilukiskan di bola kristal ajaibku.

"Kau berani bayar berapa?" dan aku tak mau merugi. "Kau mau bayar pakai apa?"

"Aku akan bayar dengan usiaku. Ambil secukupnya," jawab Senjakala seraya merentangkan tangan kanan yang di pergelangannya tercetak rentetan angka. "Kalau kurang, kau beri diskon sedikit lah!"

Memutar kedua bola mata dengan sebal, aku mengiyakan. "Ya sudah," pun anggukan aku beri setelahnya. "Kau mau lihat apa dan siapa?"

"Aku mau melihat masa lalu," tercekat leher Senjakala saat itu, "dan lihatlah masa lalu keluargaku."

"Keluargamu ada berapa orang?"

"Empat."

"Empat puluh tahun akan aku ambil dari usiamu sebagai bayaran."

"Ambil saja semaumu."

"Kau yakin?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan.

Senjakala mengangguk mantap. "Aku tidak pernah seyakin ini selama menjalani hidup."

Aku usap-usap bola kristal yang terletak di atas meja; siap memanggil masa lalu salah satu keluarga Senjakala yang diucapkan terlebih dahulu.

"Aku punya seorang saudari yang cantik jelita. Ke mana pun kaki melangkah, dia selalu membawa sejuta pesona. Belum lagi banyak laki-laki jatuh hati padanya sampai kami semua memanggilnya primadona. Banyak hal baik terjadi di dalam hidupnya seolah-olah benang-benang masa depannya sudah dirajut sedemikian rupa oleh semesta, sampai-sampai tiap-tiap perjalanan yang dia lewati terasa bagai dongeng klasik yang teramat indah dan mampu memanjakan mata. Aku rindu dan ingin tahu; kira-kira seperti apa masa lalunya? Apa di kehidupan sebelumnya dia berhasil menyelamatkan dunia?"

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Maret 07, 2022

541 ㅡ Deeper than my feet could ever wander.

Aku berhenti berharap pada titik hilang. Pada serangkaian takdir semrawut, aku tersungkur kala mendengar kabar bahwa pelayar terbaik, yang telah berjanji akan membawaku ke ujung semesta dengan melampaui segala keterbatasan, dikabarkan tidak akan pernah kembali pulang. 

Tiada lagi asa dan rasa.
Tiada lagi kita dalam cerita.
Tiada lagi cinta yang sempurna.

Ternyata Tenggara lebih mencintai pelayaran daripada aku. Ternyata Tenggara lebih memilih berenang bersama ikan-ikan bercorak warna-warni, berwujud besar-kecil, dan bergerak lambat-lekas di laut lepas. Aku tetap menolak menggantikan kenangan bahagia dengan larutan luka. Aku masih menantikan sinyal-sinyal datang dari debur ombak yang berkejar-kejaran.

Berhari-hari aku berkunjung ke pelabuhan demi menyambut kepulangan Tenggara ke rumah. Aku mengelilingi setiap sudut pelabuhan untuk mencari jejak-jejak kaki yang ditinggalkan Tenggara. Enggan terbuai ekspektasi, aku melempar tanya kepada semesta dalam hati. Apabila Tenggara boleh menyampaikan pesan terakhir untuk aku yang dengan penuh kasih akrab dia panggil peri cinta, kira-kira bunyinya seperti apa?

Seketika segerombolan awan menampilkan presensi, menorehkan warna abu-abu pada permadani angkasa yang semula cerah. Gemuruh ikut menggelegar, meminta perhatian siapa saja yang mendengar.

Langit berseteru dengan laut; saling menyahut seolah-olah mereka sedang merundingkan sesuatu tanpa takut. Hati kecilku yang berselimut harapan lantas seperti dijadikan badut, sebab aku disuruh diam-diam berdiri di tengah-tengah mereka. Gemuruh gaduh di langit luas itu hendak memanggil siapa? Debur ombak di laut lepas itu hendak mengutarakan apa?

"Senjakala, rayakanlah duka dengan tawa. Meski senyumanmu hilang arti tanpa aku di sisi, percayalah kita pasti akan dipertemukan kembali suatu hari nanti. Sebab kamu membawa serpihan hatiku di setiap langkah, maka hiduplah terus bersama setengah jiwaku, Senja. Sejatinya aku sudah pulang, maka kini kamu pun tak perlu lagi melewati penantian panjang. Aku sudah berkawan dekat dengan banyak ikan, ombak-ombak, angin kencang, dan burung-burung. Kelak bukalah telingamu lebar-lebar ya? Setiap kali kamu dengar dersik angin berbisik, burung-burung berkicau, dan debur ombak berkejaran; ingatlah, dari dasar laut, aku sedang merindukanmu."

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Maret 06, 2022

540 ㅡ You tricked me badly / I treated you properly.

Perdebatan menjadi satu-satunya bahasa cinta Senjakala dan Tenggara. Perbedaan pendapat dalam menyikapi sejumlah perkara mengakibatkan perang dingin kerap terjadi. 

Seperti hari-hari kemarin, Senjakala kembali angkat bicara guna meluruskan alur cerita berbeda yang semalam suntuk sempat membuat keduanya pening bukan kepalang. Seperti perdebatan lalu-lalu, lagi-lagi Senjakala yang menginisiasi pertemuan untuk memperbaiki hubungan yang kian renggang.

Tenggara memang terkenal kikir pikir, sedang Senjakala selalu saja murah aksara. Oleh karena itu, Senjakala sering kali merasa bagai berbicara sendiri kala sedang berkonversasi dengan Tenggara. Seakan-akan hanya Senjakala seorang yang ingin menyelamatkan hubungan mereka. Seakan-akan Tenggara tidak pernah berkontribusi dalam hubungan mereka dengan memberikan penjelasan untuk mengurangi kekhawatiran yang melekat di hati Senjakala. 

Barangkali Tenggara sukar merangkai kata dan berharap Senjakala bisa mengerti. Barangkali Senjakala sulit memahami keheningan yang dibutuhkan Tenggara untuk menenangkan karma yang melilit jiwa hingga cinta susah digaungkan dengan sempuna.

"Tenggara, kita tidak pernah memandang langit yang sama."
"Masih banyak entitas angkasa yang bisa kita lihat bersama."
"Berhenti membuat aku terlihat seperti orang bodoh!"
"Caraku memandang dunia memang berbeda, Senja."
"Ya, aku tahu, karena memang itu yang dahulu membuat aku jatuh cinta kepadamu."
"Dahulu?"
"I don't want to do this anymore, Tenggara."
"What did I do, Senja?"
"I'm tired of jumping up and down asking for your attention."
"Senjakala, listen. Let me explain."
"I won't ask you to stay. If you want to leave, then go."
"Can we fix this?"
"I wish I wasn't unlovable, Tenggara."
"Senja, how did we end up this way?"
"Have you ever loved me?"
"I love you, always. I'm not asking you to trust me. I just want you to have faith that you're deserving of love, Senja."
"You tricked me badly all this time!"
"What?"
"You never said you love me."
"I always treated you properly."
"I love you so much, Tenggara."
"If you encounter a difficult situation, just call my name and I'll be there for you."

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Maret 05, 2022

539 ㅡ Tell me honestly, what are we?

Senjakala,
I want to give you all the best of me
and it takes time.

Tenggara pernah bertanya kepadaku; seperti apa bentuk cinta yang aku inginkan, bagaimana cara dia harus memperlakukan aku di hadapan kawan-kawan sepermainan, dan kapan waktu yang tepat untuk mulai mengganti status hubungan kami dari sekadar teman menjadi pacaran.

Tenggara selalu saja bertanya terlebih dahulu seolah-olah apa yang akan dia katakan atau lakukan mampu melukai hatiku. Sampai tibalah suatu hari aku naik darah hingga meninggikan suara.

"Adakalanya aku tidak mengenalmu, Tenggara."
"Apa aku sudah melakukan kesalahan?"
"Berhenti. Kamu ini terlalu berhati-hati."
"Senja, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu."
"Memang aku siapa?"
"Senjakala."
"Bukan, maksudku ... aku ini siapanya kamu?"

Tenggara termenung untuk waktu yang lama. Dia yang terbiasa berceloteh ria, kala itu memilih tenggelam dalam hening. Aku tidak menginterupsi, sebab pertanyaan yang aku lemparkan benar membutuhkan jawaban.

Life is full of surprises and miracles, but life is also full of pains and problems. I just want to believe; my hope isn't in vain, Tenggara.

"Hey, Tenggara. How do you describe love?"
"You."

Tenggara membuatku kehabisan napas bagai usai berlari padahal tidak sama sekali. Aku mengejapkan mata berkali-kali dalam satu waktu; berusaha mencerna jawaban singkat namun padat yang tertangkap rungu. Apa ini pernyataan cinta? Atau perasaanku saja?

"Namaku Senjakala, bukan Love."
"Love is you. You're loved."
"And?"
"You’re too full of life to be half loved by someone, Senja."
"Tenggara, don't ever in your life half love me."
"I know, that's why I'm still figuring things out."
"What are you looking for?"
"I want to give you the best version of me."
"But you already are, Tenggara."
"Senjakala, I want to give you all the best of me and it takes time."

Tenggara berbicara dengan kesungguhan hati. Ternyata masih ada sesuatu yang hendak dia cari. Namun, sejak saat itu Tenggara tidak pernah sekali pun bertanya lagi.

Tenggara, you know I'll always love you, right? I'll wait for you until you're ready, no matter how long it takes. You're the best.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Maret 04, 2022

538 ㅡ Are we going to meet again?

Katanya hidup harus terus berjalan karena waktu selalu bergulir ke depan. Jam rusak pun enggan berlari ke belakang hanya demi melewati angka yang sama dua kali. Suka atau tidak, percaya atau tidak, semua pergerakan jarum jam dilakukan dari depan dan untuk masa depan. Senantiasa melewati angka yang sama berkali-kali bukan berarti gemar sekali mengulang hari. Jam waktu mengajarkan Senjakala untuk berhenti mengharapkan cinta yang sebenarnya tidak pernah ada.

Perpisahan yang terjadi lebih dari lima tahun lalu masih menyisakan luka. Entah apalah isi kepala Tenggara kala itu yang menjadikan seluruh entitas sepenjuru semesta seolah-olah adalah musuh bebuyutannya. Senjakala termasuk salah satu insan yang ditinggalkan Tenggara tanpa tahu apa-apa.

Kotak memori seketika terbuka dan rasanya sangat sesak. Senjakala bungkam seribu bahasa, sebab ia kehabisan kata-kata soal bagaimana menanggapi fakta yang barusan tertangkap rungu. Tenggara dan Purnama akan bertunangan.

Senjakala hanya berusaha menyelesaikan misi. Bagaimanapun caranya Tenggara harus lekas mengakhiri pertemuan ini. Apa gunanya berjumpa jika akhirnya harus kembali berpisah?

Adalah kesalahan besar jika Senjakala menghampiri Tenggara dengan harapan ingin bisa bersama. Kini tembok di antara Senjakala dan Tenggara akan jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Setelah ini, Tenggara akan pergi lebih jauh lagi. Tenggara akan bahagia sendiri, tanpa Senjakala di sisi. 

"Are we going to meet again, Senja?"
"Tenggara, I'd never want to meet you again."
"Why?"
"You're going to be someone's husband."
"Senja, we can still be friends."
"... and that someone is my best friend, Tenggara."
"I just want to be there for you, Senja."
"No, you can't."
"Yes, I can."
"Then tell me, Tenggara. How?"
"..."
"See, Tenggara. You've already lost me, and I'm not sorry."

Detik itu juga Tenggara menolehkan kepala dalam usaha melihat corak warna yang dilukiskan Senjakala di wajah. Sepasang netra merekam lekuk-lekuk rupa jelita milik Senjakala. Senjakala, putri seindah panorama senja yang sedari dahulu tak henti-hentinya ia puja. Bagi Tenggara, Senjakala adalah personifikasi cinta murni dan semesta abadi.

Senjakala bertahan. Pandangan tak berminat dibawa bersirobok dengan manik kembar Tenggara. Air muka khawatir lantas menghiasi paras kala ekor mata mendapati Tenggara menatapnya dari samping.

"Kamu bahkan belum memberikan aku penjelasan apa pun," kata Senjakala membuka suara setelah hening dibiarkan menginterupsi barang sejenak. "Setidaknya sebelum kamu bertunangan, aku ingin mencoba memahami alasan kamu pergi meninggalkan aku.  Lebih dari lima tahun sudah, dan rasanya cukup bagi aku untuk menunggu kepulangan kamu. Sekarang sudah saatnya aku merelakan kamu pergi. Tenggara, I'm letting you go."

"I'll tell you everything. I won't leave anything out, Senja."

Tenggara, in my next life, I'd like to be me, and I'd like to meet you again. Maybe everything will be different. Maybe I'll finally understand. Finding you was really hard, but loving you is so easy. Thank you for holding my hand, and thank you for letting me go.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Maret 03, 2022

537 ㅡ What are you sorry for?

Baskara menemani langkah Senjakala menuju di mana Tenggara berada. Angin sepoi-sepoi menyapu surai halus kepunyaan sang hawa hingga berkibarlah mahkota kebanggaan itu mengekori arus pawana yang turut prihatin akan pertemuan tak terduga ini.

Jantung yang berdebar tak keruan membuat Senjakala terpaksa harus memperlambat langkah hingga akhirnya membutuhkan lebih dari lima menit untuk dapat benar-benar tiba di hadapan Tenggara. 

"Tenggara."

Sopran mendayu kepunyaan Senjakala menembus ruang dengar siapa saja di dalam jangkauan, terutama sosok anak adam yang dipanggil namanya. Senyuman kecil terukir kentara di wajah ayu sang ratna.

"Senja," dan bariton khas sarat ketenangan pun berhenti mengalun untuk beberapa saat, sebab Tenggara memberi jeda singkat sebelum lantas melanjutkan dengan, "... kala."

Terkejut bukan main. Iya, sudah pasti. Mana mungkin bisa berkedip kala Senjakala, yang sedari masih duduk di bangku sekolah selalu saja dihindari Tenggara, kini berada di depan mata. Seolah-olah melupakan cara berkedip, adam itu menatap lekat-lekat rupa jelita Senjakala sembari merapalkan doa dan puji-pujian tentang banyak hal. Rindu yang tebal menjadikan lidah teramat kelu. Anggukan sekilas dan senyuman kecil kemudian diberikan Tenggara sebagai respons.

Tenggara tak sama sekali melempar tanya. Padahal jelas-jelas Senjakala datang sebagai pengganti Purnama. Kencan buta ini pun diketahui bukan sembarang pertemuan karena Tenggara adalah laki-laki pilihan kedua orang tua Purnama.

Usai mengambil kopi pemberian Senjakala, Purnama menginisiasi untuk lekas masuk ke dalam museum. Tiada satu insan pun yang berani membuka suara duluan. Senjakala mengedarkan pandang demi memantau lukisan-lukisan yang ada. Di sisi lain, Tenggara terlihat merenung guna menyortir rasa dan kata yang hadir di relung hati.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu," kata Tenggara yang berdiri di samping Senjakala dengan netra terpaku pada salah satu lukisan bunga yang didominasi warna jingga.

"Iya, aku rasa sudah lebih dari lima tahun," balas Senjakala dengan posisi tubuh masih menghadap ke depan agar ia tak perlu bersemuka dengan persona di sampingnya.

"Pantas saja tadi kamu menawarkan aku caramel macchiato."
"..."
"You still remember my favorite coffee, Senja."
"Tenggara, I can explain."
"No, you don't have to."
"..."
"Jadi, kamu dan Purnama berteman?"
"We're best friends."
"So, you know aku dan Purnama akan bertunangan?"
"... No, I haven't heard anything about it."
"Now you know, and I'm sorry."
"What are you sorry for?"
"For giving up on us, Senja."
"Don't apologize if you can't change what you're sorry for."

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 25, 2022

531 ㅡ Bermainlah sepuas-puasnya di bumi.

Sebuah pencapaian menandakan keberhasilan;
yang bermuara pada kebahagiaan.

Sebuah perjuangan menandakan kekuatan;
yang berkuasa atas kesedihan.

Sebuah perjalanan menandakan kesendirian;
yang berlabuh di kesepian.

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka mencintai masa kecil mereka sampai mereka dewasa?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa keluarga itu sangat berharga sebelum mereka kehilangan salah satu sanak saudara?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka sungguh bahagia dan diberkati sampai mereka mampu mencintai diri mereka sendiri?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa jarum jam bergerak sangat cepat sampai mereka sadar setiap kehidupan punya waktunya masing-masing?

Tidak tahu.

Awalnya aku tak tahu-menahu soal apa pun terkait semua itu. Namun, seiring dedaunan berguguran di tepi jalanan yang biasa aku lewati, pun setiap senja angin bertiup dari ufuk utara menuju selatan, tanpa ba-bi-bu aku tersadar bahwa hidup ini hanya bisa aku jalani satu kali saja.

Meski begitu, lagi-lagi aku berpikir. Jika memang demikian, mengapa pula beban terberat justru diberikan pada bahu seseorang yang terlahir teramat ringkih? Mengapa harus aku yang memikul dosa orang-orang tidak tahu diri hingga aku juga yang harus meminta ampun atas semua perbuatan keji mereka?

Aku terlahir di titik terjauh dari sebuah kesempurnaan. Aku bersyukur tiada keanehan di badan ini. Aku lengkap selengkap-lengkapnya. Namun, keluargaku tidak, kehidupanku tidak. 

Banyak batu menerobos masuk ke dalam lapisan bening yang aku bangun untuk berlindung. Benteng pertahananku bukanlah rumah, melainkan jati diriku sebagai manusia. Walau aku dikelilingi ratusan atau miliaran orang yang berusaha mengajak aku gugur bersama mereka, aku tidak akan bersedia mengamini hal yang sama.

Kali ini aku sampaikan bulat-bulat keputusan itu usai aku pikirkan matang-matang. Oleh sebab dahulu selalu dijadikan kambing hitam dan diperlakukan bagai setiap hari adalah malam kelam, maka embusan napas terakhir membuat aku terbang ke singgasana tertinggi.

Terlahir tanpa ibunda di sisi tidak membuat aku pandai membenci, meski ayahanda sering menghujani aku dengan caki maki sepanjang hari. Terberkati dengan seorang kakak laki-laki yang paling berani tidak membuat aku percaya pada kesungguhan hati, meski selama ini aku diselimuti cinta kasih.

Mereka berdusta, dan aku terluka. Apalah arti sebuah keluarga ketika yang mampu mereka kerjakan dengan benar hanyalah mengelabui aku dan menjual aku ke komplotan insan biadab? Tidak. Tak akan lagi aku percaya pada kehadiran cinta dan keluarga.

Kemudian, kehidupan sebagai seorang manusia yang ahli melukai diri sendiri dan orang lain pun dimulai. Lembaran baru kertas putih kembali ternodai tinta berwarna merah serupa buah apel yang matang dan siap dimakan. 

Saban hari aku hanya tahu cara menghancurkan rumah-rumah tiap-tiap kepala yang aku temui. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya, berseru sekencang-kencangnya, dan berjanji sesungguh-sungguhnya. Aku tidak akan bersedia kembali ke jalan yang salah untuk kesekian kalinya.

Walakin, semesta berkata lain. Aku dipertemukan dengan keluarga baru yang menjadikan aku tangan kanan untuk merusuh. Aku tidak punya pelindung selain diriku sendiri, tetapi aku malah ditugaskan untuk terus-menerus menjadi tameng untuk jiwa orang lain. 

Dari situ aku sadar betul-betul bahwa aku tidak menjalani kehidupanku dengan baik, atau sebenarnya sedari awal pun kehidupan ini memang tidak pernah baik. Maka dari itu, aku selalu menanggung beban dan tak pernah berada di tempat paling aman.

Tenang, aku tetap berusaha bertahan. Setidaknya bertahan hidup sebelum ajal menjemput. Dengan hati gembira, aku akan ikut ke mana pun malaikat menyambut ketika hari kepergianku ke akhirat tiba di depan mata.

Benar, tidak lama setelah aku membasahi kedua tanganku dengan air sewarna buah apel yang sering aku makan tanpa ragu, kecelakaan membuat aku harus kehilangan nyawaku. Tanpa aba-aba, tanpa pertanda, tanpa kecewa, aku terluka hingga tak mampu lagi membuka mata.

Terbanglah aku ke atas sana. Aku melewati sungai abadi dengan penuh perjuangan. Aku menjelajahi hutan gelap dengan rumah seadanya yang aku ciptakan tanpa atap. Alih-alih berakhir di neraka, aku diajak bermain ke surga. 

Pemandangan nirwana sungguh sangat teramat luar biasa. Suara alam begitu nyaring terdengar bagai menyelimuti diriku yang barangkali akan masuk angin jika tidak segera menyentuh setitik kehangatan. Para malaikat berlalu-lalang dengan senyuman cerah menghiasi paras mereka bagai tiada kesusahan pernah dilalui setiap dari mereka.

Aneh. Aku tidak merasa mereka aneh. Justru aku merasa diriku yang berada di surga adalah sebuah keanehan. Aku tidak sepatutnya singgah ataupun tinggal di surga. Aku penuh dosa dan tidak pantas dianggap sempurna.

"Tiada satu orang pun yang tidak pantas diampuni," dan sopran lembut sekonyong-konyong membelai ruang dengarku. "Asalkan orang itu bersedia meminta pengampunan dengan penuh ketulusan hati."

Sepasang manik kepunyaanku berpendar dalam usaha mencari pemilik suara tersebut. Sepersekian detik kemudian, seorang malaikat bersayap menampilkan wujud di hadapanku. Seorang perempuan cantik dengan rambut berwarna hitam yang mana membuat aku terpesona bukan main.

"Kamu sudah menjalani kehidupan yang berat. Kamu sudah melakukan perbuatan dosa yang teramat banyak. Kamu sudah memperlakukan orang-orang di sekitarmu dengan tidak baik," kata malaikat itu lugas. "Kamu sudah seharusnya tinggal di neraka selamanya. Namun, ingatkah kamu di detik-detik terakhirmu kamu memuliakan nama Tuhan? Kamu menyembah dan memohon ampun dengan setulus hati. Maka dari itu, kamu akan diampuni."

Aku bungkam seribu bahasa. Bukan karena aku mendadak lupa bagaimana cara bicara, melainkan karena aku khawatir ini hanyalah mimpi semata yang bertugas untuk memberiku pelajaran. Astaga, apa-apaan? Bisa-bisanya aku memikirkan hal-hal semacam itu di saat aku sudah menyadari sepenuhnya bahwa aku sudah berpindah alam.

"Kendati demikian, dosa tetaplah dosa, dan kamu harus membayar dendam kesumat yang pernah bersarang di dalam hatimu," lalu malaikat itu menutup kedua mataku dengan salah satu telapak tangannya. Seketika saja aku menjadi buta dan tidak dapat melihat dunia.

Terperanjat. Aku benar-benar kehabisan akal mengenai keputusan yang dibuat oleh malaikat anonim di hadapanku. Lidahku terlalu kelu untuk berkomentar. Sepasang tungkai pun ikut lemas secara tiba-tiba. Entah apa yang terjadi pada badan yang sempat aku bilang lengkap ini.

"Purnama," sebut malaikat itu. Kali ini dengan tenang sang malaikat yang tidak mampu lagi aku tatap wajahnya menepuk bahuku pelan-pelan. "Atas nama Purnama, kamu sudah terlahir kembali. Kami hadiahkan kamu nama yang paling berharga. Selamat atas kelahiranmu, Purnama."

Kedua bilah bibirku menjauhi satu sama lain seakan bermusuhan. Mulutku terbuka, tetapi aku tetap tidak bisa berkata-kata. Abjad yang biasa terukir apik di sudut kepalaku tiba-tiba hilang tanpa bekas. Ingatanku kosong melompong bagai cangkang tak bertuan.

"Bermainlah sepuas-puasnya di bumi, Purnama. Kamu akan diberkati dengan sepasang sayap yang bisa mendukung eksistensimu sebagai manusia penolong. Bayarlah semua dosamu dengan mengumpulkan karma baik. Hiduplah bebas sekali lagi, ciptakanlah lebih banyak memori, dan janganlah kembali bersusah hati."

Kalimat demi kalimat yang mendarat di telinga berubah menjadi serupa dongeng bagiku. Aku seperti sedang diceritakan kisah hidup yang baru. Perlahan-lahan aku mulai melupakan kehidupanku yang lalu, siapa namaku dahulu, dan bagaimana parasku semasa aku hidup di masa lampau. Aku melupa, dan pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasa sangat bahagia bisa bebas dari segala derita yang merajalela.

"Purnama, PurnamaPurnama," dan tanpa diduga-duga lantunan nada merdu menyanyikan namaku. Aku rasa para malaikat sedang merayakan kelahiranku. "Bersoraklah, bersenandunglah, dan berbahagialah, sebab kamu sudah diampuni dosanya. Purnama, nikmatilah cahaya cinta meski kamu tidak bisa lagi melihat dunia."

BRUK!!!

Gelap gulita. Aku kehilangan kesadaran. Namun, genaplah sudah semua yang disampaikan. Kini aku terlahir dengan nama Purnama. Aku adalah seorang malaikat buta yang punya pekerjaan untuk menolong manusia. Aku harus membayar semua dosaku dengan mengumpulkan karma baik. Aku akan menjadi malaikat terdekat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.

Memanggilku tak pernah sulit. Kamu hanya perlu niat yang baik. Jika kamu sudah berdoa dan berharap dengan sungguh-sungguh, maka aku pasti akan datang untuk membantumu mewujudkan harapan itu. Tenang, selalu ada aku di sampingmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 24, 2022

530 ㅡ Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh.

Berapa banyak luka yang dihasilkan
ribuan sesal dari hanya satu kesalahan?

Berapa jauh asa dilambungkan
untuk berulang kali sebut;
andai saja waktu bisa diputar kembali?

Entah, memang hanya manusia biasa
yang sering kali berandai-andai.

Terlampau besar apa-apa yang tidak mampu diungkapkan, pula terlampau jelas mana-mana yang bisa diwujudkan. Maka, jiwa kerap jadi guyonan semesta; di mana luka hadir sebagai jawaban dari hampir yang hanya mampir.

Walau demikian, terluka tak boleh jadi konklusi hingga hasilkan langkah harus terhenti akibat perih yang menjalar ke sekujur tubuh. Menjadi kuat sejatinya bukan dari enggan jatuhkan air dari pelupuk mata, tapi bagaimana hati mampu terima segala rasa, namun putuskan untuk tetap berdiri meski tinggal seorang diri.

Tahu 'kan, kebanyakan orang kerap bilang, "Andai aku tahu waktu itu apa yang kuketahui sekarang."

Kemudian, pernahkah kamu berada di posisi punya keinginan yang besar untuk katakan, "Iya, lalu apa? Coba teruskan."

Inilah terusannya. Mungkin aku bisa bagikan sedikit asa dan rasa yang aku rangkai dalam beberapa paragraf.

Semoga catatan kecilku ini bisa beri secuil pelita dalam kehidupanmu. Bersama-sama denganku, mari coba berandai-andai, tapi ingatlah untuk akhiri dengan bahagia, ya.

Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh, ketimbang omongan orang lain yang bisa saja hanya hendak buat aku jatuh.

Aku akan menikmati lebih sedikit khawatir, ketimbang lingkupi diri dengan sejuta pikiran buruk yang pada akhirnya tak berarti.

Aku akan tahu bahwa sekolah akan segera selesai, dan pekerjaan tak akan seberat itu untuk dijalankan.

Aku tidak akan khawatirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan akan lebih prioritaskan perasaanku sendiri.

Aku akan lebih menghargai kesehatan, ketimbang apa pun yang mampu dibeli dengan uang.

Aku akan lebih banyak bermain, lebih sedikit mengeluh, dan lebih berani untuk ambil segala kesempatan.

Aku akan tahu bahwa kecantikan dan ketampanan tercermin dari kecintaan seseorang pada hidup.

Aku akan tahu betapa orang-orang terdekatku begitu mengasihiku, dan aku akan percaya mereka mengasuhku dengan sebaik mungkin.

Aku akan menikmati perasaan "jatuh cinta" dan tidak terlalu mengkhawatirkan apakah suatu hubungan akan berlangsung baik.

Aku akan tahu bahwa mungkin saja ada hubungan yang tidak berjalan baik, tapi akan ada orang lain yang lebih baik datang setelahnya.

Aku tidak akan takut bertingkah bagai anak kecil, dan aku akan enggan jadi dewasa sebelum waktunya.

Aku akan lebih berani hadapi segala situasi dengan melepas belenggu "takut" yang sebenarnya tak perlu.

Aku akan cari kualitas terbaik dalam diri tiap-tiap orang yang aku temui, dan menikmati persahabatan yang bisa aku ciptakan dengan mereka.

Aku tidak akan bergaul dengan segerombolan orang hanya karena mereka "populer" saja. 

Aku akan ikuti kursus vokal dan dansa agar aku punya talenta yang luar biasa.

Aku akan menerima tubuhku dan semua yang Tuhan ciptakan tanpa loloskan sedikit pun keluh.

Aku tidak akan mudah berprasangka buruk, dan lebih memercayai orang-orang yang aku kasihi.

Aku akan jadi sahabat yang setia untuk keluargaku, saudara-saudaraku, juga kawan-kawanku.

Aku akan menikmati ciuman. Maksudku, aku akan sangat teramat menikmati ciuman.

Aku akan lebih menghargai orang-orang di sekelilingku, dan lebih banyak bersyukur atas kehidupanku kemarin, hari ini, maupun nanti.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 23, 2022

529 ㅡ Hidup ini tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti.

Berbaik hatilah,
karena semua insan yang kau temui
tengah berjuang memenangkan jutaan pertempuran;

terlepas dari mudah terlewati,
sulit yang setengah mati,
hingga hati berbuah benci.

Jangan pamerkan menang,
bila hanya niat lalu-lalang.

Semasa kelas dua SMP, aku kerap dambakan Junior Stellis Night. Suatu acara retret yang diadakan untuk murid-murid perempuan di sekolahku. Tujuannya adalah untuk bicarakan kehidupan kami; terutama bahas masalah soal kekhawatiran dan kecemasan kami yang ada sangkut-pautnya dengan sekolah, teman, laki-laki, orang tua, keluarga, atau apa saja. Diskusi kami sangat teramat menarik hingga rasanya aku enggan beranjak pulang dari sana.

Jujur saja, aku tiba di rumah dari acara retret itu dengan perasaan gembira yang sungguh besar. Iya, oleh sebab aku telah belajar banyak tentang manusia dan semesta yang akan sangat berguna bagiku.

Aku putuskan untuk simpan pelajaran hidup yang aku terima pada acara retret itu dalam buku harianku; yang merupakan tempatku berkeluh-kesah kala tak ada teman bicara.

Tanpa terlampau banyak buang waktu untuk berpikir, aku biarkan sepasang kuasa bergerak ke arah lemari kecil di samping kasurku. Aku tarik salah satu laci di sana, dan kusimpan harta paling berhargaku di dalamnya. Kemudian, aku bereskan kembali barang-barang bawaanku.

Perasaanku begitu gembira dan puas usai retret itu, sehingga aku lambungkan harapan kala memasuki pekan berikutnya. Namun, ternyata segala yang aku harapkan berujung sia-sia. Pekan itu jadi satu dari sekian banyak pekan yang bawa petaka.

Ini adalah petaka emosional yang tak mampu aku bendung. Seorang kawan benar-benar buahkan luka di hati, aku teringat segala hal yang jatuhkan kepercayaan diriku, dan aku cemaskan nilai-nilaiku yang kian menurun akibat stres.

Bisa dikatakan aku benar-benar tenggelam dalam tangis sampai tertidur, setiap malam. Tadinya aku sempat taruh harap, bahwa apa-apa saja yang aku terima di Junior Stellis Night akan berdampak besar untuk tenangkan diriku, dan bantu aku agar tak rasa tertekan lagi. 

Bagai manusia hanya boleh berharap; yang terjadi malah sebaliknya. Aku mulai berpendapat, bahwa retret yang aku lalui tempo hari hanyalah pereda stres sementara. Rasa kalut begitu lembut tarik aku ke dasar laut, hingga sesak hasilkan sepasang tungkai tak berani berpijak ke mana-mana.

Kala itu, Minggu pagi. Hari yang seharusnya bawa keceriaan pada hati. Aku ingat betul, aku bangun dengan hati berat dan perangai yang buat sebal. Lebih-lebih, aku terlambat ke Sekolah Minggu. Maka dari itu, lekaslah aku kenakan baju apa saja yang tertangkap pandang, kusambar kaus kaki dari dalam laci, kemudian usai sejemang mematut diri di depan cermin, barulah aku beranjak dari ruangan kamar.

Tak pernah aku sangka, aku bisa berani-beraninya tutup pintu dengan keras di rumah ini. Namun, mungkin memang dari sananya aku perlu kuatkan tangan untuk lempar gagang pintu sekeras-kerasnya, sebab karena itu pula entah mengapa buku harianku keluar dari lokasi penyimpanan.

Heran betul, sungguh. Padahal yang aku lempar sekuat tenaga adalah gagang pintu, tapi mengapa laci nakaslah yang berakhir hamburkan isi. Khawatir ada yang pungut lalu baca, refleks aku kembali ke dalam kamar untuk pastikan tanganku yang angkat benda itu.

Kala aku berlutut untuk ambil buku harian itu, tiba-tiba angin yang tidak tahu bertiup dari belahan mana buat aku mampu baca rentetan tulisan di dalam catatan yang aku bubuhkan di sana selama Junior Stellis Night.

Ada serangkaian kalimat yang buat aku tertegun. Salah satu pemimpin retret pernah sampaikan sesuatu yang membekas dalam hatiku; sejumput pelajaran hidup yang patut aku ingat selalu. Oleh karena itu, aku berniat untuk bagikan juga kepadamu. Semoga kamu tidak perlakukan dirimu sendiri dengan terlampau keras.

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu, dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau pemuda mana atau gadis mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, rambutmu, warna kulitmu, tempat tinggalmu, atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kamu memiliki banyak teman, atau apakah kamu seorang diri, dan bukan tentang apakah kamu diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup bukanlah tentang semua itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih. Hidup ini adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan.

Tentang apa yang kamu katakan dan yang kamu maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Lebih-lebih yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk bagaimana kamu gunakan hidupmu. Tentang bagaimana kamu menyentuh hidup orang lain dengan cara yang luar biasa dan tak tergantikan.

Hidup ini adalah tentang serangkaian kalimat menguatkan, sederet bahu untuk bersandar, dan segala memori yang kamu berikan kepada orang lain. Hidup ini adalah tentang bagaimana kamu hadiahkan setidaknya sepercik cahaya pada hidup orang lain, dan hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Usai ambil dan simpan pencerahan dari untaian kata ini, aku berhasil kerjakan ujian sastra dengan baik keesokan harinya. Aku mampu umbar tawa gembira bersama beberapa kawan pada akhir pekan, dan aku berani menyapa pemuda yang aku taksir sejak lama, meski berujung luka karena aku tak dianggap apa-apa, sebab aku bukanlah siapa-siapa. 

Selain itu, aku bisa habiskan waktu luangku bersama saudara-saudari di Sekolah Minggu. Aku juga tak perlu bersikeras untuk dengarkan nasihat dari Suster dan Frater di gereja, malah dengan senang hati aku dengar tanpa keluhan. Bahkan, aku berhasil temukan gaun indah selutut yang bisa aku kenakan ke pesta sekolah, dan kamu tahu, ada yang ajak aku berdansa.

Semua ini bukanlah kebetulan dan keajaiban. Ini adalah perwujudan dari perubahan dalam hati dan sikapku. Aku sadar, bahwa kadang-kadang aku perlu diam sejenak dan ingat-ingat kembali segala hal yang benar-benar penting dalam kehidupan ini. Misalnya, semua yang aku dapatkan dari Junior Stellis Night kala itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan ketika aku telah duduk di kelas terakhir bangku SMA, batin yang tenang dan penuh harap kembali ke permukaan. Oleh sebab aku akan hadiri Senior Stellis Night, maka segala cerita yang terjadi saat dan seusai Junior Stellis Night muncul dalam benak bagai sinema.

Namun, tenang, buku harianku masih aku simpan dengan baik tanpa cacat sedikit pun. Seluruh memori akan hari itu, aku biarkan selalu ambil tempat dalam relung hati. Bilamana aku butuh pencerahan lagi, maka lewat buku harian berhargaku, aku mampu lihat kembali setiap kali aku perlu mengingat apa sebenarnya hakikat hidup ini.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 22, 2022

528 ㅡ Orang menyukai orang yang menyukai mereka.

Kamu tidak akan tahu kebahagiaan
yang ditimbulkan oleh kebaikan hati,
sebab yang terpenting dalam hidup ini adalah
cara kita saling memperlakukan satu sama lain.

Makin banyak yang kita ketahui,
maka makin baik pula kita memaafkan.

Purnama, seorang sahabat karib rangkap kawan mainku, bawa energi dan kehidupan ke dalam tiap-tiap ruangan yang dia sambangi. Juita ini akan pusatkan seluruh atensi kala kamu tengah tuturkan sesuatu, dan dia mampu buat dirimu merasa sangat penting. Banyak insan acungi jempol dan sampaikan; mereka jatuh hati pada sosok Purnama.

Pada suatu hari di musim gugur yang cerah, aku dan Purnama tengah duduk di area belajar kami. Aku arahkan kepala untuk pandang ke luar jendela kala aku lihat salah satu guruku lintasi tempat parkir.

"Aku tak mau bertemu dengannya," kataku.

"Mengapa?" tanya Purnama.

Aku jelaskan sedikit tentang alasan aku enggan tatap muka dengan guru yang satu ini. Di kelas sebelumnya, aku dan si guru berpisah dengan tidak baik. Aku tersinggung oleh saran yang diajukannya, kemudian dia tersinggung karena jawabanku.

"Lagi pula," tambahku, "dia tidak suka padaku."

"Mengapa?" tanya Purnama.

Juita itu tatap sosok guru yang baru saja lewat. "Mungkin kamu salah," balasnya. "Bisa saja kamu yang berpaling, dan kamu melakukannya karena kamu takut. Dia juga mungkin berpikir kamu tak menyukainya, jadi dia tidak ramah. Orang menyukai orang yang menyukai mereka. Kalau kamu menaruh minat padanya, dia pasti juga akan tertarik padamu. Berbicaralah dengannya."

Untaian kata dari Purnama menyengatku. Lantas, ragu-ragu aku turuni tangga ke tempat parkir. Pada akhirnya, aku putuskan untuk sapa guruku dengan hangat dan tak lupa aku tanyakan juga kabarnya.

Sepasang iris hazel pria tua itu bersirobok dengan milikku; dia tampak terkejut. Kami berjalan bersama sambil mengobrol, dan aku mampu bayangkan Purnama awasi pergerakanku dari jendela dengan senyuman lebar.

Jujur saja, aku bisa lakukan ini usai Purnama jelaskan kepadaku sebuah konsep sederhana. Saking sederhananya, aku sampai-sampai tidak percaya kalau aku tak sama sekali ketahui soal itu.

Seperti kebanyakan anak muda, aku tidak merasa yakin akan diriku dan terbiasa hadapi semua pertemuan dengan perasaan takut, bahwa orang lain akan menilaiku; padahal sebenarnya, mereka yang khawatir tentang bagaimana aku menilai mereka.

Sejak hari itu, sebagai ganti lihat penilaian di mata orang lain, aku kenali kebutuhan orang lain terlebih dahulu sebelum berhubungan, dan biarkan mereka berbagi sesuatu tentang diri mereka kepadaku setelah itu. Aku mulai temukan dunia orang-orang yang tak aku kenal. Seandainya aku tidak ubah sikap, aku tak akan tahu sejauh mana dan seberat apa kaki mereka membawa mereka berlari menjemput bahagia walau kadang-kadang malah berjumpa dengan air mata.

Pernah, misalnya, di dalam kereta bawah tanah yang lintasi perbatasan suka dan duka, aku buka obrolan dengan laki-laki yang dihindari semua orang karena dia berjalan goyah dan bicaranya seperti orang mabuk. Ternyata dia sedang memulihkan diri dari serangan jantung. Dia dahulu adalah seorang insinyur pada jalur kereta bawah tanah yang kami tempuh saat ini, dan kala itu dia ungkapkan untukku sejarah-sejarah yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Masinis pemangku marga Langit yang bawa seekor kelinci untuk temani beliau dalam perjalanan; jadi salah satu sejarah paling menarik di antara serangkaian bab dalam buku sejarah itu.

Saat baskara mulai warnai cakrawala, dia genggam tanganku dan pandangi kedua mataku. "Terima kasih, karena sudah mendengarkan ceritaku. Orang lain tak ada yang mau repot." Dia tidak perlu berterima kasih padaku, sejujurnya. Aku yang beruntung.

Ada pula saat-saat lain; di sudut jalan bising area suka terdapat sebuah keluarga yang tanyakan jalan padaku, ternyata mereka berkunjung dari area duka dan kini tengah lakukan petualangan ke kota. Aku tanyakan hari-hari mereka di rumah, lalu sambil minum kopi, mereka kisahkan kepadaku tentang serentetan serial melodrama kehidupan yang menimpa mereka.

Setiap alur pertemuan selalu jadi petualangan, setiap orang beri pelajaran hidup yang tak bisa dibayangkan. Mereka yang berkelimpahan, yang kekurangan, yang berkuasa, dan yang kesepian; semuanya dipenuhi impian dan keraguan sepertiku. Namun, tiap-tiap dari mereka punya kisah yang unik, kalau saja aku bersedia dengarkan dengan baik.

Aku pernah temui seorang gelandangan tua berjanggut yang ceritakan kepadaku; bagaimana dia beri makan keluarganya saat masa depresi hebat dialami seluruh insan di kota kami. Dia perjuangkan hidup sampai pertaruhkan nyawa dengan setiap hari tembakkan senapan ke danau demi kumpulkan ikan-ikan yang terkejut hingga melayang ke permukaan.

Selain itu, kisah petugas lalu lintas yang bagikan pengalamannya tentang bagaimana dia belajar gerakan tangan dari menonton matador dan konduktor orkes, juga beri kehangatan tersendiri dalam batinku. Pegawai salon pula pernah ungkapkan seberapa senang dirinya kala cuma lihat penghuni panti jompo tersenyum usai dapatkan potongan rambut baru.

Sadarkah kita, betapa sering kita biarkan kesempatan untuk bahagia seperti itu lewat begitu saja. Juita yang menurut kebanyakan orang biasa-biasa saja, taruna yang dianggap tak punya apa-apa; orang-orang itu punya cerita, sama seperti aku dan kamu. Sepertimu, mereka memimpikan akan ada orang yang mau mendengarkan kisah mereka.

Inilah sejumput kunci kehidupan yang diketahui Purnama. Katanya, sukai orang terlebih dulu, bertanya-tanya kemudian. Lihatlah dulu, apakah cahaya yang kamu pancarkan kepada orang lain tidak dipantulkan kembali kepadamu seratus kali lipat.

Pada dasarnya, kita semua hanya ingin didengarkan. Terlepas dari idamkan hasrat untuk dicintai, adakalanya kita perlu lebih dahulu ulurkan tangan lalu tanyakan kepada mereka; apakah semua baik-baik saja di sana. Semua dari kita sama-sama butuh pengertian dan perhatian. Maka dari itu, akan lebih baik bila ungkapan cinta banyak dikata, ketimbang lisankan benci yang tidak sepatutnya.

Bersamaku yang coba berubah menjadi lebih baik setiap harinya, maukah kamu genggam tangan ini dan berjalan sedikit lebih jauh lagi untuk jadikan jiwamu versi terbaik dari yang terbaik? Aku berjanji tidak akan tinggalkan sisimu, sebab tiap-tiap dari kita pantas diperlakukan sama. Aku, kamu, dia, kita, dan mereka; semuanya pantas rengkuh bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 21, 2022

527 ㅡ Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.

Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.
Cuma berjaga kalau-kalau aku perlu tutupi diri;
agar tak ada yang lihat aku yang asli.

Alasan klasik;
takut pamerkan rupaku yang sungguhan.
Namun, bolehkah aku cerita soal obsesi sederhana?

Aku tidak pernah tahu apa alasannya, tapi aku pikir tiap-tiap insan pasti punya obsesi terhadap satu hal kecil. Iya, aku sendiri punya segudang hal yang kerap buat aku terobsesi.

Bila boleh cerita sedikit, aku punya obsesi untuk kupas jeruk tanpa terputus, pula terbiasa kosongkan halaman pertama buku catatan baru, gigit kuku jemari kala dilanda panik, dan paling-paling; aku suka amati sapaan tangan para pengemudi bus.

Nah, sekarang aku akan kupas sedikit demi sedikit tentang obsesiku yang terakhir. Obsesi yang mungkin terasa aneh dan asing bagi beberapa insan, tapi aku harap kamu tidak pandang aku sebelah mata.

Bila tengah naik bus, adakalanya bus yang aku naiki berpapasan dengan bus bernomor lain dari perusahaan yang sama—datang dari arah berlawanan. Di momen itu, para pengemudi bus saling beri sapa berupa gerakan tangan sederhana.

Aku sangat teramat suka amati sapaan tangan yang mereka beri, sampai-sampai kalau ada bus dengan nomor lain muncul dari kejauhan—jantungku berpacu begitu cepat, dan aku mulai tatap pengemudi bus dengan saksama. Lucu, ya? Aneh, 'kah?

Meski sapaan tangan itu cuma gestur sederhana, jujur saja terkandung kepribadian masing-masing pengemudi di sana. Lagi-lagi, walau gerakan yang mereka ciptakan berujung sama; sudut tangan, ekspresi, serta atmosfer yang diciptakan oleh tiap-tiap pengemudi terasa berbeda.

Ada salam yang seolah-olah katakan, "Oi, hari ini kamu sudah bekerja keras!" dengan sekencang-kencangnya. Ada pula salam yang rasa-rasanya bagai tuturkan, "Hai, aku tahu kamu sudah bekerja sangat keras hari ini!" tanpa segan. Kemudian, ada resah hati yang disampaikan lewat kalimat, "Ah, hari ini aku sangat tidak bersemangat!"

Adakalanya aku lihat ada pengemudi beri salam dengan pose yang keren. Sapaan tangan itu lurus dan tegap, kemudian aku pun berpikir, 'Ah, semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja,' lalu seketika aku merasa tenang.

Tatkala ada penumpang tanyakan rute bus, atau bila pengemudi lewatkan waktu yang tepat untuk saling beri sapa, terkadang malah aku yang kecewa. Aneh, memang.

Sejujurnya aku sendiri merasa bahwa obsesiku ini sungguh aneh. Namun, berkat obsesi ini, aku bisa dapatkan kebahagiaan yang sederhana hampir setiap saat.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, November 12, 2021

426 ㅡ Meraki: Sampai jumpa lagi.

Bagai lupa bagaimana cara bicara, aku mematung di tempat dengan leher tercekat dan lidah yang sudah sedari tadi kelu. Aku kehabisan aksara untuk aku rangkai menjadi pinta-pinta lain.

Bukan hanya tanganku yang genggam tanganmu, tapi aku berusaha genggam hatimu juga. Meski begitu, bisa aku rasakan kamu enggan berikan aku waktu untuk berusaha genggam hatimu. Rasa janggal yang meluap-luap buat aku sama sekali tidak mau kamu pergi tinggalkan aku walau kamu katakan akan kembali. Entah mengapa, aku temukan nada dusta di sana. 

Barangkali aku egois. Iya, aku putuskan menjadi egois demi kamu.

Aku bahkan tidak mampu balaskan ucapan sampai jumpa dengan jaga dirimu baik-baik, atau jaga kesehatanmu, atau jangan lupakan aku, atau apa pun.

Aku tidak tahu; ini karena kamu tidak beri aku kesempatan itu, atau memang akulah yang kalah dari keberanianku sendiri. Aku yang sejatinya tidak pernah diberikan ruang untuk bahagia satu kali pun.

Hanya dengan satu tarikan, tanganmu terlepas dari genggamanku. Runtuhlah sudah semestaku. Aku hanya mampu pandangi lantai kamarku dengan tatapan nanar. Kosong, tidak ada cahaya apa pun di sana. Hanya tersisa kamarku yang sudah berisikan aroma tubuhmu, seprai putih yang tidak beraturan karena pernah ada kamu di atasnya, dan air jeruk manis yang tidak akan pernah semanis dulu.

Aku sedih.

Seperempat bagian dari kesedihan ini memang karena aku yang terluka akibat sudah bersikeras meminta kamu tinggal di saat kita bukan apa-apa. Aku bukan siapa-siapa. Iya, dan sepenuhnya aku katakan; aku terluka karena diriku sendiri. 

Satu, dua, tiga tarikan napas aku ambil dan aku loloskan bersama rintik air yang basahi pelupuk mataku. Biar aku jadi cengeng untuk sejenak saja usai kamu lenyap dari pandanganku.

Aku kepalkan kedua tangan; berpegang pada asa, barangkali besok kamu benar kembali. Pada akhirnya, di sela-sela hujan deras yang tiba-tiba guyur ruangan kamarku, aku titipkan harapan dan selipkan namamu di dalam doa.

"Sampai jumpa lagi." Lirih, aku bergumam dalam satu tarikan napas. "Aku harap semua akan baik-baik saja."

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, November 11, 2021

425 ㅡ Meraki: Jangan tinggalkan aku.

Jantungku berpacu begitu cepat.

Pertama, karena kamu selalu mampu memberikan aku sesuatu yang buat aku dan jantung tidak bersahabat baik. Jantung berpacu tanpa aba-aba dariku, namun aku teramat sangat menikmati setiap dentuman yang dihasilkan.

Kedua, karena aku khawatir. Aku cemas kalau pada akhirnya aku membuat suatu keputusan yang salah; di mana ini menjadi akhir dari kisah yang bahkan belum sempat aku mulai sama sekali.

Kata maaf tidak lagi terasa menenangkan, malah terdengar bagai tersimpan berjuta arti yang buat aku sesak napas hingga berniat kehilangan kesadaran, dan berharap dengan ini kamu tidak jadi tinggalkan aku ke mana pun langkah membawamu pergi.

Aku serela itu. Aku rela menyakiti diriku sendiri demi mencegah kamu pergi, tapi tampaknya lidahku terlalu kelu untuk sampaikan apa pun. Aku tidak tahu harus mencegatmu dengan cara apa lagi. 

Kecupan yang kamu buahkan pada keningku terasa asing. Aku tidak bisa rasakan manis yang semula basahi birai ranumku beberapa saat lalu. Pesan yang kamu ucapkan tidak buat aku tenang. Aku kalang kabut. Aku harus apa lagi? Aku tidak tahu.

Akhirnya di tengah kekalutan yang aku rasakan, aku tuturkan satu kalimat dengan begitu lirih, "Jangan tinggalkan aku."

Bersama dengan ungkapan hati itu, aku meraih tanganmu; mencengkram pergelangan tanganmu kuat-kuat. Aku tidak mau kamu pergi. Barangkali aku diperkenankan untuk sedikit egois, manja, dan apa pun ciri khas seorang anak kecil yang sedang berusaha membuat kebahagiaan tetap tinggal di sisiku. Aku pula mengecup punggung tanganmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, November 10, 2021

424 ㅡ Meraki: Kamu tidak mau menginap saja di sini?

Kerutan muncul di keningku. Pasalnya, aku dapati hal yang tidak selaras dari kalimatmu. Kamu lumayan mengantuk, tapi kamu minta aku untuk istirahat yang cukup. Kamu berniat kembali ke tempatmu berada. Tempat yang tidak bisa aku jangkau sama sekali.

Aku terdiam. Sejenak aku dapati leherku tercekat. Lidahku terlampau kelu untuk memintamu tinggal di sini.

Aku, jujur saja masih hendak rengkuh dan hirup aroma tubuhmu; rasakan keberadaanmu seutuhnya dalam dekapanmu. Meski begitu, siapalah aku yang berani-beraninya meminta kamu tinggal di sini; di ruangan kecil nan berdebu milikku. Pasti ruanganmu di sana jauh lebih luas dan nyaman. Oleh karena itu, aku vokalkan sedikitnya suara hatiku padamu yang berisi, "Kamu tidak mau menginap saja di sini? Sudah malam."

Barangkali dua kalimat itu mampu mencegatmu sedikit lebih lama. Aku khawatir setelah dari sini kamu malah menghilang. Entah mengapa, ada rasa yang janggal muncul di hatiku. Aku tidak tahu itu apa.

"Tidur di sini saja. Jangan kembali ke sana dulu," pintaku pelan.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, November 09, 2021

423 ㅡ Meraki: Jadi, kamu sudah ngantuk, belum?

Aku tidak sama sekali merasa ini salah. Buktinya tubuhku saja menerima segala bentuk afeksi yang kamu sampaikan lewat cumbuan ini dengan begitu tenang. Ah, tidak setenang itu. Ada sedikit kekhawatiran yang sekelebat muncul setiap kali aku berusaha menikmati setiap sentuhan darimu. Aku tidak tahu pastinya, tapi aku tahu kalau aku belum sesiap itu untuk mulai semua ini dengan sentuhan dari luar.

Maka dari itu, ketika decakan terakhir terdengar, aku buka mataku perlahan; pastikan diriku merekam sejelas-jelasnya ekspresi yang kamu ciptakan saat ini. Akhirnya ada waktu yang bisa aku gunakan untuk mengatur napasku. Barangkali aku belum ketahui secara pasti; bagaimana cara berciuman yang baik dan benar, hingga bisa-bisanya aku kehabisan napas macam tadi.

Aku mampu dengan mudahnya memindai tiap-tiap lekuk parasmu saat ini, karena jarak di antara kita masih terlampau dekat untuk bisa kembali berciuman. Namun, aku tahan. Biar terjadi lagi di lain waktu.

Bisikan ucapan terima kasih darimu sempat buat aku menutup mataku sekilas. Suaramu yang diperdengarkan secara dekat buat jiwa dan ragaku tergelitik. Aku menarik kedua sudut bibirku hingga buahkan senyuman kecil.

"Terima kasih juga," balasku dengan tenang. "Jadi, kamu sudah ngantuk, belum?"

Aku berusaha mengganti topik, sebab pipiku pasti masih tampilkan rona kemerahan akibat apa yang barusan kita lakukan. Tubuhku pun agaknya menghangat. Aku mau ajak kamu kembali bersembunyi di pelukanku, tapi aku khawatir kamu bisa dengar debaran jantungku yang masih belum juga balik normal.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, November 08, 2021

422 ㅡ Meraki: Pahit becampur manis.

Aku dan segala kebodohanku yang mendadak layu. Aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali aku begitu membenci sentuhan. Aku, yang tiak pernah sama sekali bisa rasakan arti cinta yang sesungguhnya, entah mengapa merasa begitu dicintai di momen-momen ajaib ini. 

Pahit becampur manis. Aku dibuat begitu menyukai tiap-tiap sentuhan yang kamu berikan. Entah karena semua ini baru, atau memang karena aku begitu menyukai keberadaanmu di sisiku.

Aku mempersilakan kamu ambil alih. Kepalaku ikut aku miringkan, dengan netra yang masih terpejam. Aku tidak berani sedikit pun intip ekspresi yang kamu ciptakan saat ini. Aku takut menjadi terlampau mabuk. Kini sebelah tangan aku bawa menangkup wajahmu. Aku gunakan ibu jariku untuk mengusap pipimu sembari masih tenggelam dalam cumbuan.

Tiba-tiba saja aku lupa cara bernapas. Aku kerutkan keningku seolah-olah benar-benar kehilangan oksigen. Barangkali kamu bisa beri aku instruksi lebih dulu sebelum lakukan ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku gemetaran.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, November 07, 2021

421 ㅡ Meraki: Kalaupun suatu hari nanti kita bisa saja saling membenci.

Aku selalu percaya, adakalanya aku perlu memperjuangkan sesuatu yang aku rasa berharga agar aku bisa menjadi lebih bahagia. Aku pula percaya, kalau hari di mana aku diperkenankan untuk bahagia akan lekas datang. Semua pikiran ini mendadak hadir dalam benak saat sepasang iris jelagaku bertemu dengan milikmu. Bahkan kini saat kamu lolos dari rengkuhanku dan berpindah posisi, aku masih enggan melepas pandanganku. Aku masih mau perhatikan tiap-tiap sisi wajahmu.

Ketika pipiku kamu tangkup, aku merasakan getaran lain dalam dadaku. Getaran yang membuat jantungku berpacu begitu cepat. Getaran yang tidak biasa. Getaran yang buat aku teramat nyaman. Maka aku pejamkan netraku pula saat ranumku bertemu dengan milikmu.

Iya, tidak ada penolakan datang dariku. Malah yang ada adalah keinginan untuk membalas kecupan yang kamu hadiahkan untukku. Bersama dengan kepala yang mendongak sedikit, aku biarkan ranumku buahkan balasan berupa kecupan dan lumatan pada sepasang bilah ranum milikmu; perlahan, dengan begitu lembut.

Inilah jawabanku atas harapan yang kamu sampaikan barusan. Jangan, jangan kira aku akan membencimu karena sudah melakukan ini. Kalaupun suatu hari nanti kita bisa saja saling membenci, aku harap bukan karena ini. Aku harap juga bukan karena kita hendak saling melindungi.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, November 06, 2021

420 ㅡ Meraki: Pada dasarnya, semua manusia itu egois.

Aku berusaha mengalirkan seluruh sisi hangat dari dalam tubuhku padamu melalui pelukan ini. Aku teramat sangat berharap; kamu bisa menjadi lebih tenang, kamu bisa tidak terbebani lagi dengan apa pun yang sedang berputar di kepalamu, dan kamu bisa berhenti menitikkan air mata. Maka saat kamu mendongak dan menatapku, aku pun lakukan hal yang sama. Aku menunduk sekilas untuk membiarkan sepasang netra kita bertemu.

"Pada dasarnya, semua manusia itu egois," jawabku dengan tenang. "Aku juga egois. Jadi, kamu bebas menjadi egois. Kamu bebas menjadi dirimu sendiri dan aku tetap akan bilang; aku tidak akan ke mana-mana."

Aku mengusap surai emasmu lagi dengan setulus hati; sampaikan betul-betul kalau aku menyakini ucapanku.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, November 05, 2021

419 ㅡ Meraki: Kamu boleh menangis sekencang-kencangnya.

Satu hal yang tiba-tiba menjadi prioritas dan menarik seluruh atensiku adalah keheningan yang mendadak mampir di tengah-tengah kita. Berikut dengan bulir air yang membasahi kedua sudut matamu.

Apa yang terjadi?
Aku tidak mengerti.

Kamu sampaikan kata maaf yang sebetulnya tidak aku ketahui betul-betul arti yang tersimpan di dalamnya. Aku gunakan ibu jari untuk mengusap pergi bulir air yang pasti menganggu pandanganmu. Meski begitu, aku tidak masalah kalau kamu masih mau menangis untuk meluapkan emosi yang berkecamuk dalam dirimu; apa pun itu.

"Menangislah, kamu tidak perlu minta maaf," kataku sebelum menarikmu ke dalam pelukan; biarkan kamu runtuhkan seluruh pertahananmu. Barangkali kamu masih mau menangis. Kamu boleh menangis dalam pelukanku. "Kamu boleh menangis sekencang-kencangnya, kalau mau. Aku bakalan tetap di sini," imbuhku seraya mengusap dan menepuk pelan punggungmu.

Kamu tadi bilang; kamu tidak berniat pergi, 'kan? Maka genaplah sudah, aku sudah sampaikan pula kalau aku akan tetap di sini. Aku tidak akan pergi ke mana pun, kecuali kamu yang putuskan secara sepihak untuk meninggalkan aku.

Salam hangat,
Senjakala.