Senin, Februari 28, 2022

534 ㅡ Aku tetap ingin jadi aku tanpa ragu.

Jika kamu boleh pilih ingin jadi siapa,
kamu ingin jadi siapa dan mengapa?

Jika kebanyakan orang ingin jadi kaya raya, aku hanya ingin jadi orang perasa yang paling bahagia. Jika kebanyakan orang ingin jadi terkenal, aku hanya ingin jadi sebagian kecil jiwa dengan welas asih yang kental. Jika kebanyakan orang ingin punya segalanya, aku hanya ingin punya seluruh cinta yang ada di dunia. Menurutmu, apakah bisa? Aku hanya ingin punya taman hati yang luar biasa asri. Aku hanya ingin kedua kaki ringkih bergerak tanpa pamrih. Aku hanya ingin bahu ini bisa bantu siapa saja bersandar untuk sekadar isi energi. Aku hanya ingin jadi orang kuat yang mampu mempertahankan kejernihan jati diri di hadapan banyaknya hati, janji, dalih, dan kasih yang menyelimuti cinta sejati.

Inginku bisa menikmati dunia melalui perjalanan hidup yang kelabu walau tujuan aku lahir sebagai tambahan isi semesta masihlah abu-abu. Jadi, jika aku diperbolehkan memilih ingin jadi siapa, aku tetap ingin jadi aku tanpa ragu. 

Aku sudah merasa cukup bahagia dengan pergulatan batin yang selalu aku labuhkan pada kata amin. Aku sudah merasa cukup bersyukur dengan perjalanan hidup yang adakalanya memang ngawur. Aku sudah merasa cukup kuat dengan memikul semua beban berat hingga terkadang berakhir bodo amat. Aku sudah merasa cukup berjuang dengan seluruh jerih payah yang matang demi menemukan rumah untuk pulang.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 27, 2022

533 ㅡ Hatiku hanya satu.

Hatiku hanya satu.
Bagiannya saja yang berbeda.

Ada yang pernah sepenuh hati cinta. Ada yang pernah separah itu luka. Ada yang pernah sabar pun lelah. Ada yang pernah terguyur hujan hingga putuskan berteduh sendirian. Ada yang pernah terbakar matahari hingga mencak-mencak ke sana kemari. Ada yang pernah terbawa angin hingga kelabakan bukan main. Ada yang pernah tenggelam hingga cerita berakhir khatam. Ada yang pernah hancur hingga merasa pantas melebur. Ada yang pernah kabur bahkan sebelum bertempur. Ada yang pernah kecewa karena terlupakan begitu saja. Ada yang pernah putus asa karena ujung-ujungnya berbeda rasa. Ada yang pernah terbuka hanya untuk ditutup kembali dengan paksa. Ada yang pernah bangun benteng pertahanan dengan lecet yang belum sembuh sendirinya. Ada yang pernah pertahankan setia meski lawannya insan buta rasa. Ada yang pernah cari bahagia meski tak dapat kasih yang didamba.

Rasanya terlalu banyak jika harus dituliskan semua di sini, sebab terlalu abstrak untuk dikatakan bijak. Walau begitu, setidaknya bagian-bagian hati yang penting sudah aku sebut dan rangkai satu per satu tanpa ada satu helai pun benang kusut.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 26, 2022

532 ㅡ Sudahkah tanya hati, bahagia hari ini?

Kata mereka, cinta lahir dan tumbuh dengan sendirinya.
Kata mereka, kalau jodoh pasti bisa bersama selamanya.
Kata mereka, segenap cerita pasti indah pada waktunya.
Kata mereka, sepayah apa pun kita, pasti akan bahagia.

Hari Kasih Sayang. Satu hari yang dinantikan oleh kebanyakan insan untuk berbagi kebahagiaan. Tidak, aku tak merayakan. Jikalau kamu kemari hendak cari tahu rasa yang menyala dalam sanubariku perihal hari ini, silakan angkat kaki. Kehadiranmu tidak sama sekali aku persila, sebab yang terbit adalah karsa kuat untuk berselindung di balik kelamnya nestapa yang menjelma derai air mata.

Ini aku, yang pada tiap-tiap jengkal untai aksaranya rumpang sehingga prosa romansa tak pernah rampung. Ini aku, yang pada tiap-tiap langkah tanpa alas kaki acapkali tak henti-hentinya diselimuti sunyi. Ini aku, yang sekali pun belum pernah berkenalan dengan bahasa cinta kekal, sebab mereka yang singgah hanya berencana lalu-lalang, kemudian paling-paling melupa dan seketika hilang. Ini aku, yang terbiasa merayakan kesedihan dengan wajah gembira, sebab seutuhnya aku dilahirkan dengan garis-garis nadi penuh lara yang pada sekat-sekat jemarinya disuruh sekuat-kuatnya rengkuh asa kepunyaan insan-insan buta rasa.

Kata aku, tak mengapa sendiri dahulu, sebab aku sudahlah utuh.
Kelak akan bagaimana? Sudahkah tanya hati, bahagia hari ini?

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 25, 2022

531 ㅡ Bermainlah sepuas-puasnya di bumi.

Sebuah pencapaian menandakan keberhasilan;
yang bermuara pada kebahagiaan.

Sebuah perjuangan menandakan kekuatan;
yang berkuasa atas kesedihan.

Sebuah perjalanan menandakan kesendirian;
yang berlabuh di kesepian.

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka mencintai masa kecil mereka sampai mereka dewasa?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa keluarga itu sangat berharga sebelum mereka kehilangan salah satu sanak saudara?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka sungguh bahagia dan diberkati sampai mereka mampu mencintai diri mereka sendiri?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa jarum jam bergerak sangat cepat sampai mereka sadar setiap kehidupan punya waktunya masing-masing?

Tidak tahu.

Awalnya aku tak tahu-menahu soal apa pun terkait semua itu. Namun, seiring dedaunan berguguran di tepi jalanan yang biasa aku lewati, pun setiap senja angin bertiup dari ufuk utara menuju selatan, tanpa ba-bi-bu aku tersadar bahwa hidup ini hanya bisa aku jalani satu kali saja.

Meski begitu, lagi-lagi aku berpikir. Jika memang demikian, mengapa pula beban terberat justru diberikan pada bahu seseorang yang terlahir teramat ringkih? Mengapa harus aku yang memikul dosa orang-orang tidak tahu diri hingga aku juga yang harus meminta ampun atas semua perbuatan keji mereka?

Aku terlahir di titik terjauh dari sebuah kesempurnaan. Aku bersyukur tiada keanehan di badan ini. Aku lengkap selengkap-lengkapnya. Namun, keluargaku tidak, kehidupanku tidak. 

Banyak batu menerobos masuk ke dalam lapisan bening yang aku bangun untuk berlindung. Benteng pertahananku bukanlah rumah, melainkan jati diriku sebagai manusia. Walau aku dikelilingi ratusan atau miliaran orang yang berusaha mengajak aku gugur bersama mereka, aku tidak akan bersedia mengamini hal yang sama.

Kali ini aku sampaikan bulat-bulat keputusan itu usai aku pikirkan matang-matang. Oleh sebab dahulu selalu dijadikan kambing hitam dan diperlakukan bagai setiap hari adalah malam kelam, maka embusan napas terakhir membuat aku terbang ke singgasana tertinggi.

Terlahir tanpa ibunda di sisi tidak membuat aku pandai membenci, meski ayahanda sering menghujani aku dengan caki maki sepanjang hari. Terberkati dengan seorang kakak laki-laki yang paling berani tidak membuat aku percaya pada kesungguhan hati, meski selama ini aku diselimuti cinta kasih.

Mereka berdusta, dan aku terluka. Apalah arti sebuah keluarga ketika yang mampu mereka kerjakan dengan benar hanyalah mengelabui aku dan menjual aku ke komplotan insan biadab? Tidak. Tak akan lagi aku percaya pada kehadiran cinta dan keluarga.

Kemudian, kehidupan sebagai seorang manusia yang ahli melukai diri sendiri dan orang lain pun dimulai. Lembaran baru kertas putih kembali ternodai tinta berwarna merah serupa buah apel yang matang dan siap dimakan. 

Saban hari aku hanya tahu cara menghancurkan rumah-rumah tiap-tiap kepala yang aku temui. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya, berseru sekencang-kencangnya, dan berjanji sesungguh-sungguhnya. Aku tidak akan bersedia kembali ke jalan yang salah untuk kesekian kalinya.

Walakin, semesta berkata lain. Aku dipertemukan dengan keluarga baru yang menjadikan aku tangan kanan untuk merusuh. Aku tidak punya pelindung selain diriku sendiri, tetapi aku malah ditugaskan untuk terus-menerus menjadi tameng untuk jiwa orang lain. 

Dari situ aku sadar betul-betul bahwa aku tidak menjalani kehidupanku dengan baik, atau sebenarnya sedari awal pun kehidupan ini memang tidak pernah baik. Maka dari itu, aku selalu menanggung beban dan tak pernah berada di tempat paling aman.

Tenang, aku tetap berusaha bertahan. Setidaknya bertahan hidup sebelum ajal menjemput. Dengan hati gembira, aku akan ikut ke mana pun malaikat menyambut ketika hari kepergianku ke akhirat tiba di depan mata.

Benar, tidak lama setelah aku membasahi kedua tanganku dengan air sewarna buah apel yang sering aku makan tanpa ragu, kecelakaan membuat aku harus kehilangan nyawaku. Tanpa aba-aba, tanpa pertanda, tanpa kecewa, aku terluka hingga tak mampu lagi membuka mata.

Terbanglah aku ke atas sana. Aku melewati sungai abadi dengan penuh perjuangan. Aku menjelajahi hutan gelap dengan rumah seadanya yang aku ciptakan tanpa atap. Alih-alih berakhir di neraka, aku diajak bermain ke surga. 

Pemandangan nirwana sungguh sangat teramat luar biasa. Suara alam begitu nyaring terdengar bagai menyelimuti diriku yang barangkali akan masuk angin jika tidak segera menyentuh setitik kehangatan. Para malaikat berlalu-lalang dengan senyuman cerah menghiasi paras mereka bagai tiada kesusahan pernah dilalui setiap dari mereka.

Aneh. Aku tidak merasa mereka aneh. Justru aku merasa diriku yang berada di surga adalah sebuah keanehan. Aku tidak sepatutnya singgah ataupun tinggal di surga. Aku penuh dosa dan tidak pantas dianggap sempurna.

"Tiada satu orang pun yang tidak pantas diampuni," dan sopran lembut sekonyong-konyong membelai ruang dengarku. "Asalkan orang itu bersedia meminta pengampunan dengan penuh ketulusan hati."

Sepasang manik kepunyaanku berpendar dalam usaha mencari pemilik suara tersebut. Sepersekian detik kemudian, seorang malaikat bersayap menampilkan wujud di hadapanku. Seorang perempuan cantik dengan rambut berwarna hitam yang mana membuat aku terpesona bukan main.

"Kamu sudah menjalani kehidupan yang berat. Kamu sudah melakukan perbuatan dosa yang teramat banyak. Kamu sudah memperlakukan orang-orang di sekitarmu dengan tidak baik," kata malaikat itu lugas. "Kamu sudah seharusnya tinggal di neraka selamanya. Namun, ingatkah kamu di detik-detik terakhirmu kamu memuliakan nama Tuhan? Kamu menyembah dan memohon ampun dengan setulus hati. Maka dari itu, kamu akan diampuni."

Aku bungkam seribu bahasa. Bukan karena aku mendadak lupa bagaimana cara bicara, melainkan karena aku khawatir ini hanyalah mimpi semata yang bertugas untuk memberiku pelajaran. Astaga, apa-apaan? Bisa-bisanya aku memikirkan hal-hal semacam itu di saat aku sudah menyadari sepenuhnya bahwa aku sudah berpindah alam.

"Kendati demikian, dosa tetaplah dosa, dan kamu harus membayar dendam kesumat yang pernah bersarang di dalam hatimu," lalu malaikat itu menutup kedua mataku dengan salah satu telapak tangannya. Seketika saja aku menjadi buta dan tidak dapat melihat dunia.

Terperanjat. Aku benar-benar kehabisan akal mengenai keputusan yang dibuat oleh malaikat anonim di hadapanku. Lidahku terlalu kelu untuk berkomentar. Sepasang tungkai pun ikut lemas secara tiba-tiba. Entah apa yang terjadi pada badan yang sempat aku bilang lengkap ini.

"Purnama," sebut malaikat itu. Kali ini dengan tenang sang malaikat yang tidak mampu lagi aku tatap wajahnya menepuk bahuku pelan-pelan. "Atas nama Purnama, kamu sudah terlahir kembali. Kami hadiahkan kamu nama yang paling berharga. Selamat atas kelahiranmu, Purnama."

Kedua bilah bibirku menjauhi satu sama lain seakan bermusuhan. Mulutku terbuka, tetapi aku tetap tidak bisa berkata-kata. Abjad yang biasa terukir apik di sudut kepalaku tiba-tiba hilang tanpa bekas. Ingatanku kosong melompong bagai cangkang tak bertuan.

"Bermainlah sepuas-puasnya di bumi, Purnama. Kamu akan diberkati dengan sepasang sayap yang bisa mendukung eksistensimu sebagai manusia penolong. Bayarlah semua dosamu dengan mengumpulkan karma baik. Hiduplah bebas sekali lagi, ciptakanlah lebih banyak memori, dan janganlah kembali bersusah hati."

Kalimat demi kalimat yang mendarat di telinga berubah menjadi serupa dongeng bagiku. Aku seperti sedang diceritakan kisah hidup yang baru. Perlahan-lahan aku mulai melupakan kehidupanku yang lalu, siapa namaku dahulu, dan bagaimana parasku semasa aku hidup di masa lampau. Aku melupa, dan pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasa sangat bahagia bisa bebas dari segala derita yang merajalela.

"Purnama, PurnamaPurnama," dan tanpa diduga-duga lantunan nada merdu menyanyikan namaku. Aku rasa para malaikat sedang merayakan kelahiranku. "Bersoraklah, bersenandunglah, dan berbahagialah, sebab kamu sudah diampuni dosanya. Purnama, nikmatilah cahaya cinta meski kamu tidak bisa lagi melihat dunia."

BRUK!!!

Gelap gulita. Aku kehilangan kesadaran. Namun, genaplah sudah semua yang disampaikan. Kini aku terlahir dengan nama Purnama. Aku adalah seorang malaikat buta yang punya pekerjaan untuk menolong manusia. Aku harus membayar semua dosaku dengan mengumpulkan karma baik. Aku akan menjadi malaikat terdekat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.

Memanggilku tak pernah sulit. Kamu hanya perlu niat yang baik. Jika kamu sudah berdoa dan berharap dengan sungguh-sungguh, maka aku pasti akan datang untuk membantumu mewujudkan harapan itu. Tenang, selalu ada aku di sampingmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 24, 2022

530 ㅡ Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh.

Berapa banyak luka yang dihasilkan
ribuan sesal dari hanya satu kesalahan?

Berapa jauh asa dilambungkan
untuk berulang kali sebut;
andai saja waktu bisa diputar kembali?

Entah, memang hanya manusia biasa
yang sering kali berandai-andai.

Terlampau besar apa-apa yang tidak mampu diungkapkan, pula terlampau jelas mana-mana yang bisa diwujudkan. Maka, jiwa kerap jadi guyonan semesta; di mana luka hadir sebagai jawaban dari hampir yang hanya mampir.

Walau demikian, terluka tak boleh jadi konklusi hingga hasilkan langkah harus terhenti akibat perih yang menjalar ke sekujur tubuh. Menjadi kuat sejatinya bukan dari enggan jatuhkan air dari pelupuk mata, tapi bagaimana hati mampu terima segala rasa, namun putuskan untuk tetap berdiri meski tinggal seorang diri.

Tahu 'kan, kebanyakan orang kerap bilang, "Andai aku tahu waktu itu apa yang kuketahui sekarang."

Kemudian, pernahkah kamu berada di posisi punya keinginan yang besar untuk katakan, "Iya, lalu apa? Coba teruskan."

Inilah terusannya. Mungkin aku bisa bagikan sedikit asa dan rasa yang aku rangkai dalam beberapa paragraf.

Semoga catatan kecilku ini bisa beri secuil pelita dalam kehidupanmu. Bersama-sama denganku, mari coba berandai-andai, tapi ingatlah untuk akhiri dengan bahagia, ya.

Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh, ketimbang omongan orang lain yang bisa saja hanya hendak buat aku jatuh.

Aku akan menikmati lebih sedikit khawatir, ketimbang lingkupi diri dengan sejuta pikiran buruk yang pada akhirnya tak berarti.

Aku akan tahu bahwa sekolah akan segera selesai, dan pekerjaan tak akan seberat itu untuk dijalankan.

Aku tidak akan khawatirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan akan lebih prioritaskan perasaanku sendiri.

Aku akan lebih menghargai kesehatan, ketimbang apa pun yang mampu dibeli dengan uang.

Aku akan lebih banyak bermain, lebih sedikit mengeluh, dan lebih berani untuk ambil segala kesempatan.

Aku akan tahu bahwa kecantikan dan ketampanan tercermin dari kecintaan seseorang pada hidup.

Aku akan tahu betapa orang-orang terdekatku begitu mengasihiku, dan aku akan percaya mereka mengasuhku dengan sebaik mungkin.

Aku akan menikmati perasaan "jatuh cinta" dan tidak terlalu mengkhawatirkan apakah suatu hubungan akan berlangsung baik.

Aku akan tahu bahwa mungkin saja ada hubungan yang tidak berjalan baik, tapi akan ada orang lain yang lebih baik datang setelahnya.

Aku tidak akan takut bertingkah bagai anak kecil, dan aku akan enggan jadi dewasa sebelum waktunya.

Aku akan lebih berani hadapi segala situasi dengan melepas belenggu "takut" yang sebenarnya tak perlu.

Aku akan cari kualitas terbaik dalam diri tiap-tiap orang yang aku temui, dan menikmati persahabatan yang bisa aku ciptakan dengan mereka.

Aku tidak akan bergaul dengan segerombolan orang hanya karena mereka "populer" saja. 

Aku akan ikuti kursus vokal dan dansa agar aku punya talenta yang luar biasa.

Aku akan menerima tubuhku dan semua yang Tuhan ciptakan tanpa loloskan sedikit pun keluh.

Aku tidak akan mudah berprasangka buruk, dan lebih memercayai orang-orang yang aku kasihi.

Aku akan jadi sahabat yang setia untuk keluargaku, saudara-saudaraku, juga kawan-kawanku.

Aku akan menikmati ciuman. Maksudku, aku akan sangat teramat menikmati ciuman.

Aku akan lebih menghargai orang-orang di sekelilingku, dan lebih banyak bersyukur atas kehidupanku kemarin, hari ini, maupun nanti.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 23, 2022

529 ㅡ Hidup ini tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti.

Berbaik hatilah,
karena semua insan yang kau temui
tengah berjuang memenangkan jutaan pertempuran;

terlepas dari mudah terlewati,
sulit yang setengah mati,
hingga hati berbuah benci.

Jangan pamerkan menang,
bila hanya niat lalu-lalang.

Semasa kelas dua SMP, aku kerap dambakan Junior Stellis Night. Suatu acara retret yang diadakan untuk murid-murid perempuan di sekolahku. Tujuannya adalah untuk bicarakan kehidupan kami; terutama bahas masalah soal kekhawatiran dan kecemasan kami yang ada sangkut-pautnya dengan sekolah, teman, laki-laki, orang tua, keluarga, atau apa saja. Diskusi kami sangat teramat menarik hingga rasanya aku enggan beranjak pulang dari sana.

Jujur saja, aku tiba di rumah dari acara retret itu dengan perasaan gembira yang sungguh besar. Iya, oleh sebab aku telah belajar banyak tentang manusia dan semesta yang akan sangat berguna bagiku.

Aku putuskan untuk simpan pelajaran hidup yang aku terima pada acara retret itu dalam buku harianku; yang merupakan tempatku berkeluh-kesah kala tak ada teman bicara.

Tanpa terlampau banyak buang waktu untuk berpikir, aku biarkan sepasang kuasa bergerak ke arah lemari kecil di samping kasurku. Aku tarik salah satu laci di sana, dan kusimpan harta paling berhargaku di dalamnya. Kemudian, aku bereskan kembali barang-barang bawaanku.

Perasaanku begitu gembira dan puas usai retret itu, sehingga aku lambungkan harapan kala memasuki pekan berikutnya. Namun, ternyata segala yang aku harapkan berujung sia-sia. Pekan itu jadi satu dari sekian banyak pekan yang bawa petaka.

Ini adalah petaka emosional yang tak mampu aku bendung. Seorang kawan benar-benar buahkan luka di hati, aku teringat segala hal yang jatuhkan kepercayaan diriku, dan aku cemaskan nilai-nilaiku yang kian menurun akibat stres.

Bisa dikatakan aku benar-benar tenggelam dalam tangis sampai tertidur, setiap malam. Tadinya aku sempat taruh harap, bahwa apa-apa saja yang aku terima di Junior Stellis Night akan berdampak besar untuk tenangkan diriku, dan bantu aku agar tak rasa tertekan lagi. 

Bagai manusia hanya boleh berharap; yang terjadi malah sebaliknya. Aku mulai berpendapat, bahwa retret yang aku lalui tempo hari hanyalah pereda stres sementara. Rasa kalut begitu lembut tarik aku ke dasar laut, hingga sesak hasilkan sepasang tungkai tak berani berpijak ke mana-mana.

Kala itu, Minggu pagi. Hari yang seharusnya bawa keceriaan pada hati. Aku ingat betul, aku bangun dengan hati berat dan perangai yang buat sebal. Lebih-lebih, aku terlambat ke Sekolah Minggu. Maka dari itu, lekaslah aku kenakan baju apa saja yang tertangkap pandang, kusambar kaus kaki dari dalam laci, kemudian usai sejemang mematut diri di depan cermin, barulah aku beranjak dari ruangan kamar.

Tak pernah aku sangka, aku bisa berani-beraninya tutup pintu dengan keras di rumah ini. Namun, mungkin memang dari sananya aku perlu kuatkan tangan untuk lempar gagang pintu sekeras-kerasnya, sebab karena itu pula entah mengapa buku harianku keluar dari lokasi penyimpanan.

Heran betul, sungguh. Padahal yang aku lempar sekuat tenaga adalah gagang pintu, tapi mengapa laci nakaslah yang berakhir hamburkan isi. Khawatir ada yang pungut lalu baca, refleks aku kembali ke dalam kamar untuk pastikan tanganku yang angkat benda itu.

Kala aku berlutut untuk ambil buku harian itu, tiba-tiba angin yang tidak tahu bertiup dari belahan mana buat aku mampu baca rentetan tulisan di dalam catatan yang aku bubuhkan di sana selama Junior Stellis Night.

Ada serangkaian kalimat yang buat aku tertegun. Salah satu pemimpin retret pernah sampaikan sesuatu yang membekas dalam hatiku; sejumput pelajaran hidup yang patut aku ingat selalu. Oleh karena itu, aku berniat untuk bagikan juga kepadamu. Semoga kamu tidak perlakukan dirimu sendiri dengan terlampau keras.

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu, dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau pemuda mana atau gadis mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, rambutmu, warna kulitmu, tempat tinggalmu, atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kamu memiliki banyak teman, atau apakah kamu seorang diri, dan bukan tentang apakah kamu diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup bukanlah tentang semua itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih. Hidup ini adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan.

Tentang apa yang kamu katakan dan yang kamu maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Lebih-lebih yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk bagaimana kamu gunakan hidupmu. Tentang bagaimana kamu menyentuh hidup orang lain dengan cara yang luar biasa dan tak tergantikan.

Hidup ini adalah tentang serangkaian kalimat menguatkan, sederet bahu untuk bersandar, dan segala memori yang kamu berikan kepada orang lain. Hidup ini adalah tentang bagaimana kamu hadiahkan setidaknya sepercik cahaya pada hidup orang lain, dan hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Usai ambil dan simpan pencerahan dari untaian kata ini, aku berhasil kerjakan ujian sastra dengan baik keesokan harinya. Aku mampu umbar tawa gembira bersama beberapa kawan pada akhir pekan, dan aku berani menyapa pemuda yang aku taksir sejak lama, meski berujung luka karena aku tak dianggap apa-apa, sebab aku bukanlah siapa-siapa. 

Selain itu, aku bisa habiskan waktu luangku bersama saudara-saudari di Sekolah Minggu. Aku juga tak perlu bersikeras untuk dengarkan nasihat dari Suster dan Frater di gereja, malah dengan senang hati aku dengar tanpa keluhan. Bahkan, aku berhasil temukan gaun indah selutut yang bisa aku kenakan ke pesta sekolah, dan kamu tahu, ada yang ajak aku berdansa.

Semua ini bukanlah kebetulan dan keajaiban. Ini adalah perwujudan dari perubahan dalam hati dan sikapku. Aku sadar, bahwa kadang-kadang aku perlu diam sejenak dan ingat-ingat kembali segala hal yang benar-benar penting dalam kehidupan ini. Misalnya, semua yang aku dapatkan dari Junior Stellis Night kala itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan ketika aku telah duduk di kelas terakhir bangku SMA, batin yang tenang dan penuh harap kembali ke permukaan. Oleh sebab aku akan hadiri Senior Stellis Night, maka segala cerita yang terjadi saat dan seusai Junior Stellis Night muncul dalam benak bagai sinema.

Namun, tenang, buku harianku masih aku simpan dengan baik tanpa cacat sedikit pun. Seluruh memori akan hari itu, aku biarkan selalu ambil tempat dalam relung hati. Bilamana aku butuh pencerahan lagi, maka lewat buku harian berhargaku, aku mampu lihat kembali setiap kali aku perlu mengingat apa sebenarnya hakikat hidup ini.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 22, 2022

528 ㅡ Orang menyukai orang yang menyukai mereka.

Kamu tidak akan tahu kebahagiaan
yang ditimbulkan oleh kebaikan hati,
sebab yang terpenting dalam hidup ini adalah
cara kita saling memperlakukan satu sama lain.

Makin banyak yang kita ketahui,
maka makin baik pula kita memaafkan.

Purnama, seorang sahabat karib rangkap kawan mainku, bawa energi dan kehidupan ke dalam tiap-tiap ruangan yang dia sambangi. Juita ini akan pusatkan seluruh atensi kala kamu tengah tuturkan sesuatu, dan dia mampu buat dirimu merasa sangat penting. Banyak insan acungi jempol dan sampaikan; mereka jatuh hati pada sosok Purnama.

Pada suatu hari di musim gugur yang cerah, aku dan Purnama tengah duduk di area belajar kami. Aku arahkan kepala untuk pandang ke luar jendela kala aku lihat salah satu guruku lintasi tempat parkir.

"Aku tak mau bertemu dengannya," kataku.

"Mengapa?" tanya Purnama.

Aku jelaskan sedikit tentang alasan aku enggan tatap muka dengan guru yang satu ini. Di kelas sebelumnya, aku dan si guru berpisah dengan tidak baik. Aku tersinggung oleh saran yang diajukannya, kemudian dia tersinggung karena jawabanku.

"Lagi pula," tambahku, "dia tidak suka padaku."

"Mengapa?" tanya Purnama.

Juita itu tatap sosok guru yang baru saja lewat. "Mungkin kamu salah," balasnya. "Bisa saja kamu yang berpaling, dan kamu melakukannya karena kamu takut. Dia juga mungkin berpikir kamu tak menyukainya, jadi dia tidak ramah. Orang menyukai orang yang menyukai mereka. Kalau kamu menaruh minat padanya, dia pasti juga akan tertarik padamu. Berbicaralah dengannya."

Untaian kata dari Purnama menyengatku. Lantas, ragu-ragu aku turuni tangga ke tempat parkir. Pada akhirnya, aku putuskan untuk sapa guruku dengan hangat dan tak lupa aku tanyakan juga kabarnya.

Sepasang iris hazel pria tua itu bersirobok dengan milikku; dia tampak terkejut. Kami berjalan bersama sambil mengobrol, dan aku mampu bayangkan Purnama awasi pergerakanku dari jendela dengan senyuman lebar.

Jujur saja, aku bisa lakukan ini usai Purnama jelaskan kepadaku sebuah konsep sederhana. Saking sederhananya, aku sampai-sampai tidak percaya kalau aku tak sama sekali ketahui soal itu.

Seperti kebanyakan anak muda, aku tidak merasa yakin akan diriku dan terbiasa hadapi semua pertemuan dengan perasaan takut, bahwa orang lain akan menilaiku; padahal sebenarnya, mereka yang khawatir tentang bagaimana aku menilai mereka.

Sejak hari itu, sebagai ganti lihat penilaian di mata orang lain, aku kenali kebutuhan orang lain terlebih dahulu sebelum berhubungan, dan biarkan mereka berbagi sesuatu tentang diri mereka kepadaku setelah itu. Aku mulai temukan dunia orang-orang yang tak aku kenal. Seandainya aku tidak ubah sikap, aku tak akan tahu sejauh mana dan seberat apa kaki mereka membawa mereka berlari menjemput bahagia walau kadang-kadang malah berjumpa dengan air mata.

Pernah, misalnya, di dalam kereta bawah tanah yang lintasi perbatasan suka dan duka, aku buka obrolan dengan laki-laki yang dihindari semua orang karena dia berjalan goyah dan bicaranya seperti orang mabuk. Ternyata dia sedang memulihkan diri dari serangan jantung. Dia dahulu adalah seorang insinyur pada jalur kereta bawah tanah yang kami tempuh saat ini, dan kala itu dia ungkapkan untukku sejarah-sejarah yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Masinis pemangku marga Langit yang bawa seekor kelinci untuk temani beliau dalam perjalanan; jadi salah satu sejarah paling menarik di antara serangkaian bab dalam buku sejarah itu.

Saat baskara mulai warnai cakrawala, dia genggam tanganku dan pandangi kedua mataku. "Terima kasih, karena sudah mendengarkan ceritaku. Orang lain tak ada yang mau repot." Dia tidak perlu berterima kasih padaku, sejujurnya. Aku yang beruntung.

Ada pula saat-saat lain; di sudut jalan bising area suka terdapat sebuah keluarga yang tanyakan jalan padaku, ternyata mereka berkunjung dari area duka dan kini tengah lakukan petualangan ke kota. Aku tanyakan hari-hari mereka di rumah, lalu sambil minum kopi, mereka kisahkan kepadaku tentang serentetan serial melodrama kehidupan yang menimpa mereka.

Setiap alur pertemuan selalu jadi petualangan, setiap orang beri pelajaran hidup yang tak bisa dibayangkan. Mereka yang berkelimpahan, yang kekurangan, yang berkuasa, dan yang kesepian; semuanya dipenuhi impian dan keraguan sepertiku. Namun, tiap-tiap dari mereka punya kisah yang unik, kalau saja aku bersedia dengarkan dengan baik.

Aku pernah temui seorang gelandangan tua berjanggut yang ceritakan kepadaku; bagaimana dia beri makan keluarganya saat masa depresi hebat dialami seluruh insan di kota kami. Dia perjuangkan hidup sampai pertaruhkan nyawa dengan setiap hari tembakkan senapan ke danau demi kumpulkan ikan-ikan yang terkejut hingga melayang ke permukaan.

Selain itu, kisah petugas lalu lintas yang bagikan pengalamannya tentang bagaimana dia belajar gerakan tangan dari menonton matador dan konduktor orkes, juga beri kehangatan tersendiri dalam batinku. Pegawai salon pula pernah ungkapkan seberapa senang dirinya kala cuma lihat penghuni panti jompo tersenyum usai dapatkan potongan rambut baru.

Sadarkah kita, betapa sering kita biarkan kesempatan untuk bahagia seperti itu lewat begitu saja. Juita yang menurut kebanyakan orang biasa-biasa saja, taruna yang dianggap tak punya apa-apa; orang-orang itu punya cerita, sama seperti aku dan kamu. Sepertimu, mereka memimpikan akan ada orang yang mau mendengarkan kisah mereka.

Inilah sejumput kunci kehidupan yang diketahui Purnama. Katanya, sukai orang terlebih dulu, bertanya-tanya kemudian. Lihatlah dulu, apakah cahaya yang kamu pancarkan kepada orang lain tidak dipantulkan kembali kepadamu seratus kali lipat.

Pada dasarnya, kita semua hanya ingin didengarkan. Terlepas dari idamkan hasrat untuk dicintai, adakalanya kita perlu lebih dahulu ulurkan tangan lalu tanyakan kepada mereka; apakah semua baik-baik saja di sana. Semua dari kita sama-sama butuh pengertian dan perhatian. Maka dari itu, akan lebih baik bila ungkapan cinta banyak dikata, ketimbang lisankan benci yang tidak sepatutnya.

Bersamaku yang coba berubah menjadi lebih baik setiap harinya, maukah kamu genggam tangan ini dan berjalan sedikit lebih jauh lagi untuk jadikan jiwamu versi terbaik dari yang terbaik? Aku berjanji tidak akan tinggalkan sisimu, sebab tiap-tiap dari kita pantas diperlakukan sama. Aku, kamu, dia, kita, dan mereka; semuanya pantas rengkuh bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 21, 2022

527 ㅡ Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.

Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.
Cuma berjaga kalau-kalau aku perlu tutupi diri;
agar tak ada yang lihat aku yang asli.

Alasan klasik;
takut pamerkan rupaku yang sungguhan.
Namun, bolehkah aku cerita soal obsesi sederhana?

Aku tidak pernah tahu apa alasannya, tapi aku pikir tiap-tiap insan pasti punya obsesi terhadap satu hal kecil. Iya, aku sendiri punya segudang hal yang kerap buat aku terobsesi.

Bila boleh cerita sedikit, aku punya obsesi untuk kupas jeruk tanpa terputus, pula terbiasa kosongkan halaman pertama buku catatan baru, gigit kuku jemari kala dilanda panik, dan paling-paling; aku suka amati sapaan tangan para pengemudi bus.

Nah, sekarang aku akan kupas sedikit demi sedikit tentang obsesiku yang terakhir. Obsesi yang mungkin terasa aneh dan asing bagi beberapa insan, tapi aku harap kamu tidak pandang aku sebelah mata.

Bila tengah naik bus, adakalanya bus yang aku naiki berpapasan dengan bus bernomor lain dari perusahaan yang sama—datang dari arah berlawanan. Di momen itu, para pengemudi bus saling beri sapa berupa gerakan tangan sederhana.

Aku sangat teramat suka amati sapaan tangan yang mereka beri, sampai-sampai kalau ada bus dengan nomor lain muncul dari kejauhan—jantungku berpacu begitu cepat, dan aku mulai tatap pengemudi bus dengan saksama. Lucu, ya? Aneh, 'kah?

Meski sapaan tangan itu cuma gestur sederhana, jujur saja terkandung kepribadian masing-masing pengemudi di sana. Lagi-lagi, walau gerakan yang mereka ciptakan berujung sama; sudut tangan, ekspresi, serta atmosfer yang diciptakan oleh tiap-tiap pengemudi terasa berbeda.

Ada salam yang seolah-olah katakan, "Oi, hari ini kamu sudah bekerja keras!" dengan sekencang-kencangnya. Ada pula salam yang rasa-rasanya bagai tuturkan, "Hai, aku tahu kamu sudah bekerja sangat keras hari ini!" tanpa segan. Kemudian, ada resah hati yang disampaikan lewat kalimat, "Ah, hari ini aku sangat tidak bersemangat!"

Adakalanya aku lihat ada pengemudi beri salam dengan pose yang keren. Sapaan tangan itu lurus dan tegap, kemudian aku pun berpikir, 'Ah, semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja,' lalu seketika aku merasa tenang.

Tatkala ada penumpang tanyakan rute bus, atau bila pengemudi lewatkan waktu yang tepat untuk saling beri sapa, terkadang malah aku yang kecewa. Aneh, memang.

Sejujurnya aku sendiri merasa bahwa obsesiku ini sungguh aneh. Namun, berkat obsesi ini, aku bisa dapatkan kebahagiaan yang sederhana hampir setiap saat.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 20, 2022

526 ㅡ Ingatlah, kamu sangat dicintai semesta.

Ingatlah, setiap hujan akan kembali reda pada akhirnya. Ingatlah, setiap malam akan selalu bertemu pagi yang berbeda. Ingatlah, berusaha secukupnya dan berjuang semampunya. Ingatlah, kamu sangat dicintai semesta. Ingatlah, kamu selamanya diberkati dan pantas bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 19, 2022

525 ㅡ Terima kasih sudah berjuang sejauh ini.

Terima kasih sudah berjuang sejauh ini. Tetaplah menjadi dirimu yang murah hati. Tetaplah menjadi dirimu yang pengasih. Tetaplah menjadi dirimu yang setulus hati memancarkan cahaya kasih. Jangan takut untuk berekspresi. Jangan khawatir untuk mencoba lagi.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 18, 2022

524 ㅡ Sebisamu saja, ya?

Senjakala mengangguk mantap dengan senyuman sumringah menghiasi wajahnya. Kedua tangan yang terkepal pun diangkat. Sang pemeran utama kisah sudah siap berjuang melawan pahitnya semesta monokrom demi mencari satu per satu warna pelangi yang tersembunyi.

O, Senjakala.
Sebisamu saja, ya?

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 17, 2022

523 ㅡ Jadilah seniman yang serupa dengan gambaranmu sekarang.

Aku terdiam sejenak. Mencerna impian Senjakala tidaklah mudah, sebab kini aku perlu memutar otak untuk memberi semangat hati mungilnya.

"Jadilah seniman yang serupa dengan gambaranmu sekarang," kataku pelan. "Tidak akan ada yang sia-sia, karena kebahagiaan pasti menjadi hadiah."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 16, 2022

522 ㅡ Aku ingin bercerita menggunakan hati dan untuk menyentuh hati.

"Kenapa?"

"Aku ingin bercerita menggunakan hati dan untuk menyentuh hati," ujar Senjakala lirih. "Aku berbeda dengan mereka yang memilih tunduk pada angka. Aku ingin mencintai setiap karya yang tercipta dari jiwa bersahaja. Aku ingin menjadi seniman yang punya hati luar biasa."

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 15, 2022

521 ㅡ Mereka sama sekali tidak jelek.

Aku berdeham. Bukan, bukan karena aku terkejut, melainkan karena udara dingin mulai merambat masuk melalui mulut hingga tenggorokanku sakit.

"Mereka sama sekali tidak jelek," lalu Senjakala mengibaskan sebelah tangannya ke arahku. "Hanya saja aku tidak ingin menjadi seperti mereka."

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 14, 2022

520 ㅡ Mereka hidup dalam seni, dan itu yang aku cari.

Aku mendengarkan tiap-tiap kata yang terangkai menjadi kalimat-kalimat utuh dari Senjakala dengan penuh perhatian.

"Mereka hidup dalam seni, dan itu yang aku cari," lanjut Senjakala. "Aku pernah menemukan ada orang di puncak gunung yang gemar melontarkan kata-kata palsu dan ambigu."

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 13, 2022

519 ㅡ Hati mereka yang ingin aku sentuh, sebisaku, dan dengan caraku.

"Sasaranku bukan mereka yang ada di puncak gunung atau di dalam gawang, melainkan mereka yang hidup di langit luas, batu keras, dan laut lepas. Hati mereka yang ingin aku sentuh, sebisaku, dan dengan caraku," cerita Senjakala, "sebab aku tahu, orang-orang seperti itu mengenal seni."

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 12, 2022

518 ㅡ Udara dingin kian menusuk tulang.

"Oh," dan hanya itu yang lolos dari bibirku. Aku tersenyum, sebab tahu betul dalam beberapa detik saja Senjakala akan mulai menjelaskan jawaban yang aku minta.

Senjakala tertawa sebelum mendongak. Udara dingin kian menusuk tulang, tetapi kami masih setia berteman dengan padang gelagah.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 11, 2022

517 ㅡ Memang apa yang ingin kamu dapatkan?

"Memang apa yang ingin kamu dapatkan?" tanyaku penasaran.

Senjakala berbalik dan menatapku dengan sepasang mata yang tegas. "Aku ingin bebas," katanya dengan lugas.

"Bebas yang seperti apa?"
"Bebas bercerita dengan caraku."
"Seperti apa caramu itu?"
"Seperti—masih rahasia, hehe."

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 10, 2022

516 ㅡ Semestaku terlalu monokrom, kurasa.

Namun, kali ini wajah Senjakala berubah abu-abu. Murung, bibir Senjakala ikut maju tanpa ba-bi-bu.

"Haha, tapi lucu. Meski aku sudah menepati kata-kataku sendiri, tidak ada yang aku dapatkan sebagai hadiah. Semua sia-sia," celoteh Senjakala putus asa. "Semestaku terlalu monokrom, kurasa."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 09, 2022

515 ㅡ Dengar-dengar seniman selalu menepati kata-katanya.

"Terdengar hebat," sahutku sambil mengangguk.

"Dengar-dengar seniman selalu menepati kata-katanya. Jadi, kalau aku menjadi seniman, maka aku akan dikenal sebagai seseorang yang selalu menepati kata-kataku," jelas Senjakala dengan antusias.

Aku tersenyum, "Terdengar semakin hebat."

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 08, 2022

514 ㅡ Aku ingin menjadi seniman yang mampu menyentuh hati banyak orang.

"Aku ingin menjadi seniman yang mampu menyentuh hati banyak orang," begitu kata Senjakala tanpa ada sedikit pun keraguan di dalamnya.

Apa yang dipikirkan Senjakala dalam waktu yang sesingkat ini? Aku bertanya-tanya. Mungkin Senjakala ingin menjadi seperti kebanyakan insan yang punya impian.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 07, 2022

513 ㅡ Kami memiliki selera yang sama.

Aku tidak ingin mengusik Senjakala yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kami berdiri diam di sana selama beberapa menit.

Setidaknya aku tahu bahwa aku dan Senjakala memiliki selera yang sama. Kami sama-sama menyukai ketenangan, musim salju, dan barangkali padang gelagah.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Februari 06, 2022

512 ㅡ Menggemaskan, sekaligus membuat cemas.

Menggemaskan, sekaligus membuat cemas.

Kebebasan dan kedamaian beterbangan dan jatuh ke dalam pelukannya. Senjakala mendekap erat semua itu sesaat sambil menggigil.

Khawatir Senjakala kedinginan, aku menyampirkan mantel ke bahunya dan memeluknya dari belakang.

Akulah, sang penjaga Senjakala.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Februari 05, 2022

511 ㅡ Aku memutuskan untuk menemui Senjakala.

Aku memutuskan untuk menemui Senjakala di padang gelagah yang ada di tengah pulau.

Senjakala langsung keluar dari mobil bahkan sebelum mobil yang aku kendarai benar-benar berhenti. Juita itu tampak terburu-buru menghirup udara dingin dengan sekujur tubuhnya yang ringkih.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Februari 04, 2022

510 ㅡ Selamat berpetualang; dengan kaki telanjang.

Bersama debur ombak dan laut biru,
juga angkasa abu-abu yang sendu.

O, Senjakala.

Selamat berpetualang;
dengan kaki telanjang.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Februari 03, 2022

509 ㅡ Orang-orang lupa apa-apa saja yang harus ditakuti di dunia ini.

Senjakala Merindu, namanya.

Ramah, tutur katanya.
Nila, corak semestanya.
Jingga, helai rambutnya.
Sempurna, cinta kasihnya.

Senjakala, juita jelita laksana panorama senja yang menjadi pengingat bahwa terkadang orang-orang lupa apa-apa saja yang harus ditakuti di dunia ini hingga hati terlalu takut mencintai.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 02, 2022

508 ㅡ Aku biarkan mereka merampas jiwaku.

Aku biarkan mereka merampas jiwaku dan menelan semua kenangan yang ambigu.

Nada dan melodi dari nyanyian mereka membuat aku terlena. Di saat mabuk kepayang, aku ambil pena dari saku celana, lalu aku lahirkan juita tanpa nama kenamaan semesta yang seharusnya tidak hidup di sana.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 01, 2022

507 ㅡ Aku hanyalah manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.

Nyanyian ombak dan laut terus berlanjut. Begitu juga dengan aku yang berdendang di antara mereka, meski aku hanyalah manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.

Tiba-tiba mereka melebarkan sayap, maka dengan cepat aku merentangkan tangan. Kami melampaui segala batas hubungan.

Salam hangat,
Senjakala.