Tampilkan postingan dengan label rumah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rumah. Tampilkan semua postingan

Senin, Agustus 21, 2023

You learn how to be a good mother.

You learn how to be a good mother. You've been raised by a mother who showed you how to truly take care of a family, who showed you that hard work pays off, who showed you that you can love someone unconditionally. She showed you how to be protective, loving, kind, compassionate, strong, and resilient. She was leading by example, and whether you know it or not, you are following in her footsteps one step at a time.

Sincerely yours,
Senjakala.

Minggu, Agustus 20, 2023

You learn that she still knows more about love than you do.

You learn that she still knows more about love than you do. Even when you are generations apart, even if you are not fond of her love choices, if she doesn't approve of someone, you better listen to her. She knows what she is saying. Moreover, she doesn't want to see you get heartbroken. As much as I hate to admit it, she got it right every time.

Sincerely yours,
Senjakala.

Sabtu, Agustus 19, 2023

You learn how to create your own happiness.

You learn how to create your own happiness. You can find happiness in a difficult life. You can still be happy even if you are carrying the weight of the world on your shoulders. My mother taught me that I can always find something to smile about. All I have to do is look closer.

Sincerely yours,
Senjakala.

Jumat, Agustus 18, 2023

You learn the importance of patience and faith.

You learn the importance of patience and faith. You learn that God is looking out for you and your struggles, that everything will be okay in the end. Storms will pass and tomorrow is a new day. You learn to be patient with life; patient with timing, patient with success, and patient with problems. You learn that patience is strength.

Sincerely yours,
Senjakala.

Kamis, Agustus 17, 2023

You learn never to look back.

You learn never to look back. You learn to let all the what ifs and could have beens go. You learn not to look back and wonder why life turned upside down. You just keep looking forward and let the past redeem itself. You learn that everything that happened got you to where you belong even if it is nothing you ever wished for.

Sincerely yours,
Senjakala.

Rabu, Agustus 16, 2023

You learn that it's not easy being a woman.

You learn that it's not easy being a woman. You learn that your opinion will be discounted, that you will be taken lightly when you're being serious, but you will also learn that you can stand out in a crowd and force everyone to listen to your voice and accept your ideas. You learn that what doesn't kill you makes you stronger.

Sincerely yours,
Senjakala.

Selasa, Agustus 15, 2023

You learn that you can be both strong and soft.

You learn that you can be both strong and soft. Strong mothers are usually very sensitive; they just hide it better, but you saw your mother silently cry over your pain, or stay up all night taking care of you when you were sick, or the nights she couldn't sleep because something was troubling you. The way she hugs you when you are down shows unmatched compassion and tenderness, and sometimes in a quiet corner you saw her shed a few tears.

Sincerely yours,
Senjakala.

Senin, Agustus 14, 2023

You learn how to love yourself.

You learn how to love yourself. You learn how to walk away from the things that are not meant for you. You learn how to keep going even when the whole world is against you, and you learn how to believe in yourself when everyone is doubting you. You learn that bad grades, heart breaks, and failures don't define you because what defines you is how you bounce back from all the setbacks and how hard you fight for the life you want.

Sincerely yours,
Senjakala.

Minggu, Agustus 13, 2023

You learn the meaning of unconditional love.

You learn the meaning of unconditional love. You saw your mother sacrifice her time, health and youth for you and your siblings, yet she never complained or gloated about how much she is suffering or how much she is doing. She always had a smile on her face and was happily giving more and more of herself. She taught you what selfless and unconditional love looks like, and you know you won't be able to find that love anywhere else.

Sincerely yours,
Senjakala.

Sabtu, Agustus 12, 2023

You pretty much learn how to be super woman.

You learn the value of independence. You don't need a man to save you or anyone to take care of you. You learn by example that you are capable of living a full and happy life without having to share it with someone else. You learn that you can build a home, raise kids, cook, and do the dishes all while having a thriving career. You pretty much learn how to be super woman.

Sincerely yours,
Senjakala.

Kamis, Maret 10, 2022

544 ㅡ Pesawat kawat.

Ibu bilang, "Nak, ayo kita jelajahi dunia. Tapi sebelum keliling dunia, kita singgah dulu di rumah nenek ya?"

Aku mengangguk saja. Pertanyaanku hanya satu, "Naik apa ke sana?"

Senyuman selebar kebun bunga terpatri apik di kanvas roman ibu. Namun, tak ada jawaban yang selaras dengan ekspresi ibu.

"Kalau mau bisa baca pikiran, aku harus sekolah di mana ya?" Bergurau saja. Iya, dasar aku.

Ibu menarik aku ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa lepas. "Tak ada kendaraan udara lain selain pesawat capung," dan ibu beri jawaban di sela tawa yang masih menggelegar.

Jika kau bertanya kenapa ibu tertawa, jawaban dariku hanya satu. Ibu tahu aku takut jatuh.

"Lewat daratan saja ke rumah nenek," tegasku sambil merengut. "Tak bisa, 'kah?"

Ibu melepas dekapan lalu menatap kedua bola mataku lekat-lekat. "Anak ibu bukannya mau jadi pilot? mana ada pilot yang takut terbang?"

"Aku bukan takut terbang. Aku cuma tak mau jatuh."
"Kalau siap terbang, harus siap jatuh."
"Terbang dan jatuh selalu berjalan beriringan. Aku tak suka."
"Sejak kapan terbang sama dengan jatuh, Nak? Setelah terbang bisa saja mendarat."
"Bisa saja mendarat, Bu. Bisa saja. Berarti kemungkinan jatuh selalu ada."

"Nak, kenapa kamu setakut itu jatuh?"
"Pokoknya kalau jatuh, bagaimana?"
"Tak selamanya jatuh itu sakit dan pahit."
"Ah, ibu senang bercanda. Mana ada jatuh yang manis?"
"Jatuh cinta; menyenangkan dan membahagiakan."

"Ibu ke mana-mana deh. Takut naik pesawat tak sama seperti takut jatuh cinta."
"Lho, Nak? akhirnya mengaku juga takut naik pesawat."
"Siapa bilang aku takut naik pesawat? Aku cuma tak suka terbang dan takut jatuh."
"Kenapa takut? Ada ibu duduk di sampingmu. Kalau kau takut jatuh, maka jadilah pilot paling lihai mengendarai pesawat."
"Tak segampang itu, Bu."

"Belum dicoba, lho. Masa iya sudah loyo?"
"Ibu jangan goda aku!"
"Makanya coba dulu naik pesawat capung supaya kau bisa kritik segala-galanya yang kau lihat, dengar, dan rasakan selama penerbangan. Setelah itu ibu yakin kau akan punya banyak pandangan soal masa depan."
"Masa depanku sebagai pilot?"
"Orang-orang yang fokus pada masa depan adalah orang-orang yang usai berdamai dengan masa lalu. Kau dan ketakutanmu pada langit menjadikan nyalimu selalu saja ciut setiap ibu mengajakmu naik pesawat."

"Aku cuma takut tak bisa pulang lagi melihat ibu di dapur. Nanti tak ada lagi yang mengingatkan ibu untuk tak usah sibuk-sibuk masak ini-itu saat aku ulang tahunku."
"Ketakutanmu terlalu besar, Nak. Jangan beri terlalu banyak ruang untuk takutmu."
"Aku tak mau jadi seperti bapak."
"Memang bapak kenapa?"
"Bapak terbang sampai lupa pulang."

"Bapakmu naik pesawat kawat."
"Pesawat kawat itu memang pesawat seperti apa, Bu?"
"Pesawat rusak. Pesawat yang berbunyi ngik ngik."
"Kalau aku jadi pilot, aku tak akan mengendari pesawat kawat agar penumpangku semuanya selamat."
"Itulah mengapa ibu mau kau berusaha melawan segala takutmu. Jadilah pilot yang hebat."

"Kalau nanti aku jadi pilot, apa kita bisa bertemu bapak?"
"Jangan ganggu bapak lagi, Nak. Bapak sudah menjelajahi angkasa dengan pesawat kawatnya. Perjalanan kita biarlah menjadi kau dan ibu yang merasakan. Suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi dengan bapak di langit yang berbeda."
"Aku dengan pesawat capungku, sedang bapak mengendarai pesawat kawatnya. Lalu ibu di mana?"
"Ibu bisa saja membeli tiket untuk naik pesawat capungmu, atau menumpang di pesawat kawat bapak."

"Masih lama kan, Bu?"
"Apanya, nak?"
"Berpisahnya."
"Selama-lamanya yang diizinkan semesta. Kita hanya bisa selamanya berusaha."

"Aku akan jadi pilot kebanggaan ibu. Aku akan menjaga keselamatan ibu setiap kali ibu mau naik pesawat."
"Itu baru anak ibu. Jadi, besok kita berangkat?"
"Iya, semoga pesawat yang kita tumpangi bukan pesawat kawat ya, Bu."
"Amin."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Maret 09, 2022

543 ㅡ Anak kecil, semesta mungil.

Hari ini semesta pertemukan aku dengan seorang anak kecil. Anak perempuan dengan wajah bundar dan pipi tebal menghampiriku seakan sudah lama betul kenal aku. Tak pakai kasut, pun gaun selutut berwarna kuning terang dengan motif kembang-kembang yang dikenakan tampak sangat compang-camping.

"Jangan lihat aku seperti itu," tegasnya ketika melirik aku yang dari ekor mataku seolah menghakimi penampilannya. "Bajuku tidak jelek. Hanya kurang disetrika. Ibu malas menyetrika. Katanya, punggung sakit setiap harus duduk di balik meja setrikaan."

"Kenapa kamu tidak setrika bajumu sendiri?" tanyaku menggebu-gebu.

Anak perempuan itu mengibaskan sebelah tangannya dengan santai. "Ibu mau menjadikan aku putri. Putri di kerajaan tidak menyetrika bajunya sendiri."

Aku terbahak. Putri dari mana? Putri raja tak pakai gaun rusak dengan bangga. Namun, enggan aku gubris pernyataan dari si kecil. Aku berakhir memamerkan senyuman saja ketimbang harus manyun tak keruan.

"Kalau begitu, siapa namamu?"

Berjinjit sedikit sebelum mencubit ujung gaun robek dan menunduk sekilas, anak perempuan itu memperkenalkan diri ala putri raja.

"Senjakala," adalah nama yang lolos dari celah bibir bocah itu.

"Nama yang cantik," pujiku tulus. "Jadi apa yang membuatmu datang menemuiku?"

"Boleh aku melihat sesuatu dari bola kristalmu?"

Seperti biasa, semua orang yang datang ke bilik pribadiku hendak meminta sesuatu. Hasrat mereka pasti besar untuk mengetahui gambaran masa lalu atau masa depan yang mampu dilukiskan di bola kristal ajaibku.

"Kau berani bayar berapa?" dan aku tak mau merugi. "Kau mau bayar pakai apa?"

"Aku akan bayar dengan usiaku. Ambil secukupnya," jawab Senjakala seraya merentangkan tangan kanan yang di pergelangannya tercetak rentetan angka. "Kalau kurang, kau beri diskon sedikit lah!"

Memutar kedua bola mata dengan sebal, aku mengiyakan. "Ya sudah," pun anggukan aku beri setelahnya. "Kau mau lihat apa dan siapa?"

"Aku mau melihat masa lalu," tercekat leher Senjakala saat itu, "dan lihatlah masa lalu keluargaku."

"Keluargamu ada berapa orang?"

"Empat."

"Empat puluh tahun akan aku ambil dari usiamu sebagai bayaran."

"Ambil saja semaumu."

"Kau yakin?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan.

Senjakala mengangguk mantap. "Aku tidak pernah seyakin ini selama menjalani hidup."

Aku usap-usap bola kristal yang terletak di atas meja; siap memanggil masa lalu salah satu keluarga Senjakala yang diucapkan terlebih dahulu.

"Aku punya seorang saudari yang cantik jelita. Ke mana pun kaki melangkah, dia selalu membawa sejuta pesona. Belum lagi banyak laki-laki jatuh hati padanya sampai kami semua memanggilnya primadona. Banyak hal baik terjadi di dalam hidupnya seolah-olah benang-benang masa depannya sudah dirajut sedemikian rupa oleh semesta, sampai-sampai tiap-tiap perjalanan yang dia lewati terasa bagai dongeng klasik yang teramat indah dan mampu memanjakan mata. Aku rindu dan ingin tahu; kira-kira seperti apa masa lalunya? Apa di kehidupan sebelumnya dia berhasil menyelamatkan dunia?"

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 06, 2021

206 ㅡ Terima kasih, Tuhan, untuk orang-orang baik dalam hidupku.

Teruntuk Senjakala (2029),

Hari ini banyak yang terjadi. Sejak kemarin sudah persiapkan segala sesuatu, tetapi nyatanya bibir masih saja menggerutu. Meski begitu, aku sungguh merasa Tuhan tak pernah tinggalkan aku. Aku adalah salah satu anak-Nya yang diberkati.

Semalam kurang tidur. Aku pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengatur seluruh rangkaian laporan yang harus aku kumpul besok.

Semalam suntuk aku bekerja dengan giat demi hari ini ke kampus untuk mencetak ratusan lembar kertas yang akan menentukan nasibku.

Sebab kami adalah pejuang gelar Sarjana Desain, maka urusan tulis-menulis sebetulnya tidak terlalu penting. Namun, ikuti kurikulum yang ada, kami harus tetap sibuk keluar-masuk ruangan bimbingan untuk benahi laporan yang sebenarnya bisa diungkapkan saja saat sidang.

Penjelasan mengenai kaidah pembuatan laporan pun minim. Koordinator program studi hanya adakan briefing untuk mengumpulkan para mahasiswa saja. Selain itu, detail terkecil penulisan harus dilihat di mana?

Bisa buka di pedoman terbaru, kata Ibu Koordinator.

Faktanya, pedoman diunggah mendekati Hari-H pengumpulan. Memang kita bisa langsung mengubah saat pedoman diterima? Kita punya kehidupan juga, bukan robot depan komputer.

Sudah bergadang kerjakan gambar kerja, kini harus dipusingkan dengan laporan semata.

Tenang.
Harus sabar.

Apalagi ditambah kedua orang tua yang selalu tanyakan kapan selesainya tugas yang dikerjakan sedari beberapa hari lalu. Jua pertanyaan; masih banyak tugasnya sampai kita sekeluarga tidak bisa ke mana-mana?

Iya, salah memang, apabila pertanyaan itu dibalas dengan amukan yang menyuarakan kekesalan dikarenakan tugas yang tak kunjung selesai dikerjakan, tetapi tak mampu hati menyimpan perasaan iri pada mereka yang bisa sesuka hati pergi ke mana pun mereka kehendaki.

Setelah jawab dengan marah-marah, di penghujung hari, aku selalu dirundung pilu, sebab merasa buruk sudah berlaku demikian pada kedua orang tua. Meski begitu, karena mereka pula aku bisa bertahan; berdiri sendiri hingga hari sidang tinggal menghitung hari.

Oleh karena itu, dengan perasaan bangga pada diri yang sudah berhasil selesaikan misi pembuatan laporan, aku hampiri Mas Percetakan yang semalam sudah pasti terima kiriman tugas dariku, yaitu untuk mencetak laporanku sebanyak empat eksemplar. Namun, nihil.

Sesampainya aku di sana, laporan yang aku kirim semalam belum juga ada bentuk fisiknya. Aku dibuat cukup menggigit bibir untuk menahan kekesalan yang sempat nyaris memuncak. Walau ingin marah, aku masih bisa menahannya, sebab tahu betul mungkin aku juga salah.

Mungkin aku mengirimkan tugasku di saat kesibukan melanda, dan karena aku butuh tenaga Mas Percetakan, aku menahan diri. Aku hanya berdoa kepada Tuhan agar laporan sebanyak empat eksemplar bisa selesai dicetak sebelum pukul lima sore. Aku tak ingin pulang malam.

Berharap dalam hati, pun bersamaan dengan itu, doa aku ucap dalam diam. Aku tersenyum kepada Mas Percetakan dan berkata, "Mas, tolong saya, ya. Saya mau selesain semua tugas saya hari ini. Jadi, saya mau sekalian fotokopi lalu jilid setelah ini."

Tak ingin memaksa Mas Percetakan untuk buru-buru, tetapi dia harus tahu bahwa aku hanya punya sedikit waktu. Secara halus saja, sebab tak pandai diri ini memaksa. Permintaan tolong itu disambut baik oleh Mas Percetakan. Diusahakan adalah jawaban terbaik.

Aku berterima kasih kepada Mas Percetakan saat laporanku yang dicetak sebanyak empat eksemplar sudah berada dalam genggaman. Aku tersenyum cerah, sebab kini tinggal fotokopi dan memberikan laporan itu kepada Mas Penjilidan. Ternyata aku salah.

Aku melirik isi laporan teman satu angkatanku yang juga sedang fotokopi. Dia datang duluan, jadi aku menunggu giliran. Aku melihat isi lampiran yang dia berikan di dalam laporan, dan seketika aku menepuk jidat. Aku melupakan satu hal krusial.

Terburu-buru aku kembali menghadap Mas Percetakan, sebab masih ada keperluan yang datang mendadak. Padahal niat sudah ingin lanjut ke tahap yang lebih tinggi, ternyata kembali lagi ke awal. Aku mencetak ulang beberapa halaman untuk dijadikan lampiran.

Mas Percetakan membantuku dengan sabar. Dia tak menutup toko dulu, dan memberikan dorongan support yang luar biasa. Dia berkata tinggal sebentar lagi aku akan lulus. Jadi, aku diminta bersabar kalau harus bolak-balik tempat cetak, fotokopi, dan jilid.

Terima kasih banyak untuk Mas Percetakan dan teman satu angkatan yang tidak aku ketahui siapa namanya. Kalian sudah membantuku untuk menjadi selangkah lebih baik dalam mengerjakan tugasku. Aku sangat berterima kasih kepada teman satu angkatanku itu.

Dengan melirik laporan miliknya, aku jadi tahu apa yang harus aku tambahkan dalam lampiran. Untung saja aku membawa datanya juga, sebab laptop aku tinggal di rumah karena berat. Dengan bantuan Mas Percetakan, laporanku selesai sebelum pukul lima sore.

Walupun masih ada perubahan setelah percetakan pertama, aku masih saja menyelesaikan tugasku sebelum pukul lima sore. Aku sangat bersyukur. Setelah dari tempat percetakan, aku langsung menuju tempat fotokopi.

Di tempat fotokopi, aku juga dibantu oleh mereka untuk mempercepat proses fotokopi. Mereka langsung mengkopi lembar yang aku minta dan sebelum pukul enam, laporanku sudah siap dijilid.

Entah bagaimana, rasanya aku tak mampu ungkapkan perasaanku saat itu.

Aku berterima kasih. Aku bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan orang-orang baik ke dalam hidupku. Teguran kecil, gejolak perasaan, keinginan untuk berhenti di sana; semua diberikan dalam bentuk ujian. Meski begitu, Tuhan tidak pernah tinggalkan aku.

Tuhan memberikan ujian kepadaku, tetapi Dia juga menuntunku untuk menjadi lebih baik. Jika aku tidak bisa melihat hal-hal baik yang sudah Dia siapkan kepadaku melalui ujian ini, mungkin aku sudah putus asa dan menyerah, tetapi puji Tuhan, aku melihat semuanya.

Terima kasih untuk ujian hari ini. Terima kasih karena dengan ini, aku tahu bagaimana rasanya bersabar dan terus melangkah. Aku tahu bagaimana harus berjalan di kala kebingungan melanda. Aku tahu seberapa Engkau mencintai aku. Aku tahu Engkau selalu menyertai aku.

Dari Senjakala (2019).

Sabtu, Maret 27, 2021

196 ㅡ Yang marah, harusnya siapa?

Yang marah, harusnya siapa?
Tanyanya.

Mengaku keluarga,
tetapi hanya di depan banyak orang memeluk raga. 

Mengaku orang tua,
tetapi tak pernah ada cinta di rumah.

Jadi, maunya apa?

Ayah, aku takut semua laki-laki nyatanya selalu beri luka.
Ibu, aku jadi takut menikah.
Teteh, aku letih.

Kami keluar dari rumah dengan wajah gembira, tetapi di tengah jalan mereka membara; saling menunjuk dan mengomentari keburukan masing-masing. Sebab Teteh sudah menikah, maka tak ada lagi yang bisa kuajak berbagi luka. Mereka membuatku takut.

Ayah mengatakan; Ibu kerap kali bicara seenaknya, tidak pakai otak, dan selalu senang menyindir orang lain. Aku pikir sudah seharusnya Ayah tahu, bukan? Sudah berapa tahun kalian menikah? Masa hal seperti itu saja masih dijadikan alasan untuk marah-marah?

Ibu membalas; Ayah sendiri harusnya sadar kalau Ayah pun tak sempurna, tak mampu membuat istri bahagia lahir dan batin, masih mau adu mulut perihal keburukan? Aku pikir Ibu harusnya bisa berhenti mengeluh, meminta ini dan itu, sebab bahagia itu sederhana.

Ayah terlampau egois, selalu ingin dielu-elukan namanya; mementingkan orang lain dibandingkan keluarga. Belum lagi, di depan orang lain lebih banyak berpura-pura dibandingkan menampilkan kesederhanaan. Bukankah lebih baik menjadi diri sendiri? Oh, ayolah.

Ibu pun sama, selalu melihat ke atas tanpa tahu hidupnya sudah sangat diberkati. Senang bicara dan terkadang membuat orang lain terluka. Tanpa sadar, tetapi terkadang memang sadar. Egois, sama. Berhentilah menjadi sama seperti Ayah. Aku harus bagaimana?

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Maret 25, 2021

194 ㅡ Yang ngambek, jelek.

Yang ngambek, jelek.
Katanya.

Aku terluka, tetapi tidak berdarah.

Jikalau ada yang mendengar aku bercerita,
mungkin menganggapku tukang minta-minta.

Aku bukannya lemah, tetapi memang aku yang selalu mengalah. Bukan perihal ingin merengek, sebab tidak mau dipanggil 'Tukang Ngambek', hanya saja—aku pun ingin diperhatikan, sebab diri ini juga haus akan pujian dari orang tua.

Ya, minta perhatian, minta belas kasihan, minta kasih sayang, minta segalanya—alias merengek. Atau mereka anggap aku tidak bersyukur perihal harta yang sudah diberikan padaku.

Sungguh, aku ingin menitikkan air mata.
Saat ini aku terguncang, aku lelah; tak mampu menjelaskan apa pun.
Mereka tak mengerti.

Aku hanya ingin dijadikan yang pertama, walaupun aku terlahir sebagai yang kedua. Aku hanya ingin diperhatikan, walaupun aku tak pernah berkata ingin, tetapi harus aku tegaskan; aku tak bersuara, bukan berarti aku biasa-biasa saja.

Mereka memuji dia yang kusayang; Teteh yang begitu cantik.
Menawan, cantik, murah senyum, semua orang bilang Teteh hoki.
Aku setuju; sangat setuju.
Teteh memang anak yang paling baik!

Anak yang baik—titel itu bukan untuk aku. Mereka senang, Teteh menikah dengan orang kaya, punya harta, dan bisa mengangkat martabat keluarga. Selalu dijunjung tinggi, mereka terus mendongak; melihat ke atas langit yang tinggi.

Kata Ibu; Teteh bisa gila, kalau dibiarkan begitu saja, sebab mama mertuanya senang bermain kata; berucap kalimat yang bisa beri sayatan di dada.

Kata Ayah; Teteh baik, Teteh cantik, Teteh hebat, Teteh kaya, dan Teteh punya harta yang tak habis tujuh keturunan.

Lalu aku bertanya; jikalau Teteh bisa gila, apakah menurut Ibu, aku tidak bisa gila juga, jika setiap hari hanya banggakan Teteh yang di sana? Perhatikan aku!

Aku tidak pernah meminta dibelikan baju, sebab Ibu hanya ingat belikan untuk Teteh. Jika ada yang aku suka, tetapi Ibu tak suka, maka tak bisa beli, dan memilih baju lain untuk diberikan kepada Teteh.

Aku hanya anak bungsu yang ingin dipuji juga. Biar orang lain tak katakan, harusnya jikalau kawan atau kerabat memuji yang satu, maka dari mulut Ibu harusnya bisa mengucap pujian untuk keduanya. Tetapi tidak ... nihil.

“Dia tahu orang tua. Setiap kali pergi selalu ingat belikan hadiah.”

Aku belikan Teteh hadiah saat pertama kali Teteh akan menginap di rumah calon suaminya. Supaya harum dan selalu cantik, pikirku. Tetapi ... Ibu tak cerita; menganggap itu hal biasa dan tidak pantas dibanggakan.

Aku tak butuh pendapat orang lain; aku hanya ingin orang tuaku melihat juga kebaikan diriku yang tak kasat mata ini. Aku bukan melakukan itu supaya ingin dipuji. Aku melakukan itu murni karena ketulusan hatiku.

“Dia baik sama orang tua. Lihatlah dia menyapa dengan senyuman.”

Itu yang mereka katakan sebagai pujian. Harusnya bukan hanya dia, tetapi aku dan dia. Aku menyapa, tetapi terasa hampa, sebab aku bukan siapa-siapa.

Mereka memuji terus, sebab Teteh punya harta.
Aku tidak bermimpi untuk menikahi orang kaya; aku hanya ingin bahagia.
Aku tidak ingin dipuji, hanya saja aku ingin merasa aku juga pantas dicintai.

Hari ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku kehilangan kepercayaan diri untuk melangkah maju. Inilah mengapa aku suka berdiam diri; membaca buku, atau mendengarkan lagu, sebab apa pun yang kulakukan tak berarti di mata orang tuaku.

Aku bukan gila pujian. Bukan juga ingin disembah. Tetapi aku hanya ingin diperlakukan sama. Bukan harta yang kuinginkan, pun bukan martabat tinggi yang kuharapkan. Aku hanya ingin dianggap ada saat pujian datang.

Aku diam, bukan berarti mengalah terus. Aku juga selalu banggakan Teteh, sebab aku juga bahagia, Teteh bisa memiliki segalanya. Aku pun senang banyak orang menyukai Teteh yang akrab dan mudah bergaul. Aku bangga!

Tetapi adakalanya, aku ingin dijadikan pemeran utama. Aku berkawan dengan siapa saja, tak pernah memilih. Aku mendukung sahabat-sahabat yang ada di sekelilingku dengan sepenuh hati; berusaha menyebarkan energi positif.

Tetapi, mereka masih tidak pedulikan aku, sebab aku ini siapa? Aku tak bisa diajak pergi malam, bukan juga seseorang yang hits di kalangan artis. Aku tidak pernah iri, sebab aku memang begini; menjalani hari dengan sepenuh hati.

Namun, sakit, memang, ketika dianggap tidak pernah ada dan dilupakan begitu saja.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Januari 15, 2021

125 ㅡ Yang selamanya, cinta.

Yang selamanya, cinta.
Katanya.

Ketika terungku pada arti cinta yang bukan luar biasa,
berharap selamanya adalah waktu yang singkat untuk orang kecil.

Aku aminkan semua cinta, selamanya.

Aku, adalah orang kecil. Aku hanyalah sebagian kecil dari penghuni semesta yang terkadang dipandang sebelah mata. Terlalu kecil hingga terkadang dianggap tak punya arti. Menjadi tidak peduli malah menjadikan diri tak pernah dianggap harus mendapat penjagaan yang semestinya dari segala luka. Menjadi sangat perasa malah menjadikan hati pantas untuk dibanting. Menjadi salah satu jiwa yang berharap orang lain bisa bahagia malah menjadikan kebahagiaan diri sebagai sesuatu yang tak mampu diraih. 

Aku, serba salah. Jika aku mulai hanya mementingkan diri sendiri, apa jadinya semesta ini? Jika aku mulai marah saat aku ingin, apa jadinya atapku yang sudah terlalu bising ini? Jika aku menangis setiap ada luka kecil, apa jadinya aku yang sudah kecil ini? Jika aku bahagia setiap diberi kesempatan untuk tertawa oleh semesta, apa jadinya aku yang tidak terlalu mengamini bahagia bisa selamanya ini? Terlalu banyak pertanyaan yang berenang di kepalaku, pun tak pernah ada jawaban yang aku harapkan datang sesuai keinginan. 

Aku, takut. Aku yang selalu mengumandangkan kepada sahabat-sahabat semesta untuk perjuangkan segala impian, beri segala cinta tanpa pamrih, dan percaya bahwa semua luka akan sembuh sendirinya, perlahan mulai runtuh dari segala pertahanan yang sudah dibangun dari sejak lama. Aku takut pada kenyataan bahwa aku tidak mampu menjadi seseorang yang aku bayangkan bisa berkontribusi untuk jadikan semesta tempat yang nyaman untuk ditinggali. Aku takut, aku tak mampu lagi bawa segala pilu di pundak. Aku takut, aku tak mampu lagi kuatkan semua yang lemah. Aku takut, aku tak mampu lagi berusaha bisa bahagia karena aku tak pernah dapatkan yang sesungguhnya.

Aku, percaya. Meski begitu, aku percaya cinta di dunia ini murni. Cinta itu ada yang berbentuk, tetapi ada yang tidak. Kamu perlu tahu, bahwa bentuk cinta itu beragam. Jadi, semua luka yang kamu terima juga adalah salah satu bentuk cinta yang mendewasakan kamu. Tak perlu melulu melihat cinta itu penuh dengan tawa. Cinta itu juga bisa dari air mata. Walaupun amarah juga bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk cinta, tetapi perlu ditilik lagi, bahwa amarah itu bentuk cinta yang paling tidak dewasa. Maka aku ingatkan kamu, jangan pernah marah saat kamu hanya dilingkupi emosi. Jangan pernah kamu ucapkan kata yang menyayat hati saat nantinya kamu akan menyesali semua itu. Jangan pernah kamu sengaja tinggikan suara hanya untuk minta perhatian, sebab itu terlalu berat untuk dicerna oleh sosok yang mengaku adalah sebagian kecil penghuni semesta. Amarah bisa meninggalkan luka. Lebih baik banyak tawa yang bisa buat bahagia diciptakan dalam rumah.

Oleh karena itu, bersama denganku yang hanya sebagian kecil penghuni semesta ini, kita bersama mencari cinta yang selamanya, ya. Bahagia yang selamanya, dan tawa yang tak pernah digantikan dengan amarah. Percaya, kita semua pantas bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Januari 14, 2021

124 ㅡ Yang bahagia, selamanya.

Yang bahagia, selamanya.
Katanya.

Ketika tak ada dengki saat melihat semesta bahagia,
sebab tahu betul akan ada saatnya setiap hari hanya tertawa.

Aku aminkan semua dari kita bisa berbahagia.

Jujur, tak pernah ada rasa dengki yang hampiri setiap melihat senyuman lebar di wajah sahabat-sahabat semesta. Jujur, tak pernah ada rasa iri yang hampiri setiap ada yang bercerita perihal kebahagiaan menyeluruh dirasakan batin. Jujur, tak pernah ada rasa ingin memiliki sesuatu yang bukan milikku. Semua itu karena aku tahu, semuanya yang ada di dunia ini fana. Semua bahagia tidak ada yang selamanya. Semua luka pun hanya sementara. Oleh karena itu, aku selalu berharap diberikan bahagia seadanya dan luka sesuai porsinya. 

Sebab dalam satu minggu bisa dua kali saling tinggikan suara, dari situ aku tahu bahwa tidak ada bahagia yang selamanya. Lalu beberapa hari kemudian akan ada potret saling sayang dengan entah apa yang dijadikan alasan untuk melakukan itu, tetapi aku jadi paham bahwa setiap luka yang dirasa hanya sementara saja. Di bawah atap ini, aku banyak belajar perihal yang tidak pernah aku bayangkan bisa aku lihat dan aku rasa di luar sangkar emas ini. Aku tidak tahu bagaimana dengan atapmu, tetapi begitulah atapku yang dari bentuknya terlihat kokoh, tetapi nyatanya banyak tambalan yang tak kasatmata. 

Walaupun rasanya tak mungkin ada bahagia yang selamanya, aku tetap masih berharap setidaknya ada satu hal yang bisa buat aku bahagia barang sejenak. Aku bahagia karena masih diperbolehkan bernapas hari ini. Aku bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk terus mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku tidak akan hancur. Aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan melewati segala ujian dengan keras kepala. Aku akan merekatkan hatiku yang sempat pecah hingga bisa menjadi satu lagi. 

Apakah aku diperbolehkan untuk tidak ingin peduli pada hati orang lain untuk beberapa saat saja? Apakah aku diperbolehkan untuk hanya peduli pada hatiku saja? Apakah aku diperbolehkan untuk hanya melihat masa depanku saja? Sebentar, hanya sejenak saja. Aku hanya ingin bisa bernapas lega tanpa mendengar tuntutan dari segala sisi yang hanya mengundang luka di hati. Aku tidak ingin menyerah pada hidup. Sebagai sebagian kecil penghuni semesta, aku masih ingin bermimpi untuk menjadikan dunia ini tempat yang indah untuk ditinggali.

Aku masih ingin mencari bahagia yang selamanya. Jika kamu sudah dapatkan itu, ucapkan terima kasih untuk hatimu yang sudah berusaha keras untuk dapatkan kebahagiaan itu. Jika kamu sudah berhasil sembuh dari segala luka, ucapkan terima kasih untuk jiwamu yang sudah berjuang demi wujudkan mimpimu. Jika kamu belum rasakan semua itu, tenang saja, sebab perjalananmu masih panjang. Meski bahagiamu belum selamanya, kumpulkan semua serpihan cinta yang kamu punya, dan dekap mereka dengan erat, maka kamu akan merasa penuh. 

Selamanya itu waktu yang lama. Setiap ada satu hal yang bisa buat kamu tersenyum, syukuri itu. Setiap ada satu hal yang buat kamu bersedih, syukuri itu. Setiap ada satu hal yang melukaimu, syukuri itu. Itu semua adalah bentuk cinta semesta untukmu. Bahagialah di setiap situasi, tetapi jangan lupakan kenyataan bahwa kamu juga manusia. Kamu juga punya rasa. Kamu bisa terluka, tetapi jangan pernah lupa bahwa kamu pun pantas untuk bahagia selamanya.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Januari 13, 2021

123 ㅡ Yang trauma, bahagia.

Yang trauma, bahagia.
Katanya.

Ketika hanya ada ketakutan dalam semestanya,
merenung dengan harapan luka bisa sembuh sendirinya.

Aku aminkan semua luka yang kamu rasa hanya sementara.

Kamu pernah merasa hingga akhirnya takut menjadi seorang perasa yang selalu berharap bisa bagikan bahagia untuk semesta? Kamu pernah mencoba hingga akhirnya menyerah karena takut melihat masa depan yang melulu dihancurkan oleh mereka yang mengaku paling paham segalanya? Kamu pernah berusaha hingga akhirnya semua menjadi fana sebab tak dapatkan dukungan yang semestinya? Kamu pernah berharap bisa selami hati hingga akhirnya kenyataan hampiri dan sampaikan bahwa tak ada pintu yang terbuka untukmu yang dianggap tak berarti?

Kali ini kebinasaan rasa cinta pada diri bukan karena semesta. Tidak akan bicara perihal semesta. Pemeran utama adalah mereka yang jantungnya bertaut denganmu. Tentang seribu pertanyaan yang diawali dengan kenapa dan masih diakhiri dengan tanda tanya, sebab tak ada satu pun yang bisa beri penjelasan sebagai jawaban. Bagai tabu untuk dijadikan percakapan, tak pernah dapatkan titik temu untuk akhiri segala gundah yang diharapkan hanya semu.

Bukan soal banyaknya pertanyaan yang berenang di kepalaku, tetapi bagaimana aku tidak pernah bisa memahami isi kepala mereka yang sudah bersama sekian lama, namun masih saja saling tunjuk saat emosi hampiri diri. Mengaku dewasa, padahal jelas sekali jiwa kanak-kanak yang buat mereka jadi bocah setiap marah. Mengaku paham dunia, padahal kenyataannya mereka hanya salah satu budak semesta yang tidak mampu hidupkan cinta sebagai pondasi keluarga. Perlahan aku mulai mempertanyakan; sebenarnya apa itu cinta? Ada benci, ada cinta, tetapi tetap bersama? Benarkah itu? Ada suara yang ditinggikan, ada air mata yang dikeluarkan, tetapi tetap berjalan berdampingan? Benar begitu? Jawab aku.

Terkadang aku hanya bingung. Aku tidak bisa pahami isi kepala mereka yang beri aku luka secara tidak sengaja. Aku yang semula pernah hancur hingga melebur, kini telah berhasil mendekap kembali serpihan hati yang berserakan. Namun, perlahan semestaku yang telah dikelilingi benteng pertahanan, lagi-lagi runtuh disebabkan oleh angin yang berembus terlalu kencang. Aku tahu isi kepalaku, tetapi tidak mereka yang selalu mengaku satu padahal beratkan pundakku dengan pilu. Aku selalu belajar untuk menjadi versi terbaik diriku. Aku berusaha untuk memahami isi kepala orang lain, tetapi hingga kini tak aku dapati sebagian kecil sedikit pun tentang isi kepala mereka.

Kenapa mereka tidak mau belajar? Belajar untuk ya sudahlah dan ya memang begitu. Kenapa harus ada sindiran yang sengaja diperdengarkan di depan buah hati yang bahkan belum bisa berdiri sendiri? Untuk apa pula ditegaskan di depan si kecil yang hanya lewat untuk minta disayang? Tidak pernah pikirkan setiap kata yang terucap dan setiap gerak yang dilaku bisa buat hatinya tersayat belati hingga tak mampu bangkit lagi? Tidak pernah pikirkan setiap takut yang ia rasa bisa buat trauma hingga tak mampu bahagia? Katanya buah hati, tetapi dianggap samsak tinju saat emosi. Tak ada layangan tangan, tetapi jiwa seperti tertampar setiap memori tentang hati yang terombang-ambing berputar dalam kepala yang diharapkan bisa pecah saja.

Seandainya boleh bicara dengan wajah yang berhadapan, aku tidak ingin bertanya lagi. Aku hanya ingin sampaikan beberapa hal yang sudah aku rangkum sedemikian rupa supaya tidak ada hati lain yang terluka selain milikku. Tak apa, jika aku yang dibebani dengan begitu banyak emosi yang meluap saat tak sanggup tahan diri. Tak apa, jika aku ikut mendengar sumpah serapah yang dilayangkan kepada masing-masing. Tak apa, jika aku sengaja dijadikan orang tengah walaupun tak dianggap ada dan tak dibiarkan buka suara untuk sekadar melerai. Tak apa, jika hatiku disayat belati tak kasatmata walaupun semestaku runtuh dan kini menjadi abu-abu. Tak apa, bukan masalah. Sejak kecil, aku sudah belajar untuk menerima segala luka tanpa mempertanyakan alasan yang seharusnya dijadikan jawaban atas segala pertanyaan. Namun, aku hanya minta satu hal dari yang mengaku lebih dewasa dan paham segalanya. Tolong doakan, semoga segala luka bisa sembuh sendirinya. Semoga yang trauma bisa bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Januari 12, 2021

122 ㅡ Yang patah, tumbuh.

Yang patah, tumbuh.
Katanya.

Ketika hanya ada nelangsa dalam buana,
percaya ada secercah harapan untuk yang mau mencari Tuhan.

Aku aminkan semua yang kamu semogakan.

Kamu percaya, Tuhan tidak akan biarkan kamu berjalan sendirian? Kamu percaya, Tuhan tidak akan tinggalkan kamu di tengah keramaian? Kamu percaya, Tuhan tidak akan beri kamu luka tanpa penyembuhnya? Jika iya, maka tengakkan kepalamu. Kamu pantas tersenyum hari ini. Kamu pantas bahagia esok hari. Kamu pantas mencintai dan dicintai.

Ketika hatimu patah untuk kesekian kali, jangan takut luka akan selamanya menyertai. Kamu akan disembuhkan. Kamu akan dipulihkan. Kamu akan dibahagiakan. Pada akhirnya, kamu akan dipercayakan hal-hal luar biasa yang tidak akan pernah kamu bayangkan bisa terjadi dalam hidupmu. Tidak ada yang tahu masa depan, tetapi satu hal yang pasti, kamu harus percaya pada rencana Tuhan. Walau masih misteri, jangan pernah lelah untuk kuatkan iman dan tanam harapan, sebab tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Sebab bahagia itu banyak caranya. Sebab cinta itu banyak bentuknya. Sebab hidup itu banyak maknanya. Tidak perlu melulu merasa ragu untuk tunjukkan dirimu. Tidak perlu selalu merasa hidup paling kelabu. Tidak perlu tahu segalanya pun tak apa. Selama Tuhan masih beri kamu kesempatan untuk bernapas, selama itu pula kamu akan terus belajar. Selama Tuhan masih sematkan nadi yang berdenyut di dalam ragamu, selama itu pula hidupmu berjalan dalam pengarahan. Tidak ada kata tuntas selama kamu masih bernapas. Maka dari itu, jangan pernah meragukan rancangan terindah Tuhan, ya. 

Semua yang patah, akan tumbuh. Semua yang pergi, akan diganti. Semua yang sedih, akan sembuh. Biarkan hidupmu berjalan bagai air yang mengalir. Percaya, Tuhan akan menumbuhkan yang patah dan beri bahagia untuk semua yang percaya. Percaya, Tuhan akan sembuhkan segala luka dan menuntun jalan bagi semua yang butuh pengarahan. Jangan pernah menyerah, walau kamu sering dipermainkan semesta.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Oktober 29, 2020

047 ㅡ Ingat, kita semua pantas bahagia.

Berdamai dengan diri sendiri sama saja seperti mencintai diri sendiri.
Ingat, kita semua pantas bahagia.

Aku terdiam, mengurung diri di kamar.
Aku berpikir, mengingat seluruh suka dan duka yang telah kulewati.

Sebuah perasaan nyaman yang dulu kurasakan saat bersenda gurau, bersama dengan waktu yang bergulir pun perlahan ikut melipir. Ke mana rasa itu pergi?

Sebuah perasaan aman yang dulu kurasakan saat berkumpul, bersama dengan titik air hujan yang jatuh pun perlahan sirna. Ke mana rasa itu sekarang?

Aku merasa hancur, babak belur karena ulahku sendiri.

Aku terlalu sering merasa rendah untuk bahkan menengadah memandang langit, merasa diri tak berhak memandang ratusan bintang yang bersinar terang dengan tegar meski gelapnya malam memeluk erat.

Selalu bertanya-tanya, "Apakah aku pantas bahagia?"
Selalu mengambil kesimpulan, "Aku tidak pantas dicintai."

Lambat laun, aku merasa begitu buruk, dan dalam keterpurukan itu, aku membuka hati untuk mencari diriku yang tenggelam seorang diri, dan ternyata ... aku menemukan bahwa aku tak sendiri. Aku menemukan mereka di sana.

Ternyata, selama ini, aku yang tak pernah membuka pintu, membuang semua kebahagiaan dan tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Kenyamanan yang selama ini kurasa telah lenyap, ternyata selalu merengkuhku dalam diam.
Kebahagiaan yang selama ini kurasa hanya hadir dalam mimpi, ternyata memiliki bentuk nyata dalam hidup.

Aku hanya harus merasa puas dengan segala hal yang kulakukan tanpa pernah sekalipun putus asa. Aku, pantang menyerah.

Aku mencoba berdamai, dengan harapan pandanganku akan hidup dapat berubah karena benar adanya, mereka ada untukku. 

Harapan mereka, adalah harapanku. 
Kebahagiaan mereka, adalah kebahagiaanku.

Aku, hanya perlu berdamai dengan diriku.

Salam hangat,
Senjakala.