Tampilkan postingan dengan label sup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sup. Tampilkan semua postingan

Kamis, Februari 24, 2022

530 ㅡ Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh.

Berapa banyak luka yang dihasilkan
ribuan sesal dari hanya satu kesalahan?

Berapa jauh asa dilambungkan
untuk berulang kali sebut;
andai saja waktu bisa diputar kembali?

Entah, memang hanya manusia biasa
yang sering kali berandai-andai.

Terlampau besar apa-apa yang tidak mampu diungkapkan, pula terlampau jelas mana-mana yang bisa diwujudkan. Maka, jiwa kerap jadi guyonan semesta; di mana luka hadir sebagai jawaban dari hampir yang hanya mampir.

Walau demikian, terluka tak boleh jadi konklusi hingga hasilkan langkah harus terhenti akibat perih yang menjalar ke sekujur tubuh. Menjadi kuat sejatinya bukan dari enggan jatuhkan air dari pelupuk mata, tapi bagaimana hati mampu terima segala rasa, namun putuskan untuk tetap berdiri meski tinggal seorang diri.

Tahu 'kan, kebanyakan orang kerap bilang, "Andai aku tahu waktu itu apa yang kuketahui sekarang."

Kemudian, pernahkah kamu berada di posisi punya keinginan yang besar untuk katakan, "Iya, lalu apa? Coba teruskan."

Inilah terusannya. Mungkin aku bisa bagikan sedikit asa dan rasa yang aku rangkai dalam beberapa paragraf.

Semoga catatan kecilku ini bisa beri secuil pelita dalam kehidupanmu. Bersama-sama denganku, mari coba berandai-andai, tapi ingatlah untuk akhiri dengan bahagia, ya.

Aku akan dengarkan kata hatiku dengan lebih sungguh-sungguh, ketimbang omongan orang lain yang bisa saja hanya hendak buat aku jatuh.

Aku akan menikmati lebih sedikit khawatir, ketimbang lingkupi diri dengan sejuta pikiran buruk yang pada akhirnya tak berarti.

Aku akan tahu bahwa sekolah akan segera selesai, dan pekerjaan tak akan seberat itu untuk dijalankan.

Aku tidak akan khawatirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan akan lebih prioritaskan perasaanku sendiri.

Aku akan lebih menghargai kesehatan, ketimbang apa pun yang mampu dibeli dengan uang.

Aku akan lebih banyak bermain, lebih sedikit mengeluh, dan lebih berani untuk ambil segala kesempatan.

Aku akan tahu bahwa kecantikan dan ketampanan tercermin dari kecintaan seseorang pada hidup.

Aku akan tahu betapa orang-orang terdekatku begitu mengasihiku, dan aku akan percaya mereka mengasuhku dengan sebaik mungkin.

Aku akan menikmati perasaan "jatuh cinta" dan tidak terlalu mengkhawatirkan apakah suatu hubungan akan berlangsung baik.

Aku akan tahu bahwa mungkin saja ada hubungan yang tidak berjalan baik, tapi akan ada orang lain yang lebih baik datang setelahnya.

Aku tidak akan takut bertingkah bagai anak kecil, dan aku akan enggan jadi dewasa sebelum waktunya.

Aku akan lebih berani hadapi segala situasi dengan melepas belenggu "takut" yang sebenarnya tak perlu.

Aku akan cari kualitas terbaik dalam diri tiap-tiap orang yang aku temui, dan menikmati persahabatan yang bisa aku ciptakan dengan mereka.

Aku tidak akan bergaul dengan segerombolan orang hanya karena mereka "populer" saja. 

Aku akan ikuti kursus vokal dan dansa agar aku punya talenta yang luar biasa.

Aku akan menerima tubuhku dan semua yang Tuhan ciptakan tanpa loloskan sedikit pun keluh.

Aku tidak akan mudah berprasangka buruk, dan lebih memercayai orang-orang yang aku kasihi.

Aku akan jadi sahabat yang setia untuk keluargaku, saudara-saudaraku, juga kawan-kawanku.

Aku akan menikmati ciuman. Maksudku, aku akan sangat teramat menikmati ciuman.

Aku akan lebih menghargai orang-orang di sekelilingku, dan lebih banyak bersyukur atas kehidupanku kemarin, hari ini, maupun nanti.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Februari 23, 2022

529 ㅡ Hidup ini tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti.

Berbaik hatilah,
karena semua insan yang kau temui
tengah berjuang memenangkan jutaan pertempuran;

terlepas dari mudah terlewati,
sulit yang setengah mati,
hingga hati berbuah benci.

Jangan pamerkan menang,
bila hanya niat lalu-lalang.

Semasa kelas dua SMP, aku kerap dambakan Junior Stellis Night. Suatu acara retret yang diadakan untuk murid-murid perempuan di sekolahku. Tujuannya adalah untuk bicarakan kehidupan kami; terutama bahas masalah soal kekhawatiran dan kecemasan kami yang ada sangkut-pautnya dengan sekolah, teman, laki-laki, orang tua, keluarga, atau apa saja. Diskusi kami sangat teramat menarik hingga rasanya aku enggan beranjak pulang dari sana.

Jujur saja, aku tiba di rumah dari acara retret itu dengan perasaan gembira yang sungguh besar. Iya, oleh sebab aku telah belajar banyak tentang manusia dan semesta yang akan sangat berguna bagiku.

Aku putuskan untuk simpan pelajaran hidup yang aku terima pada acara retret itu dalam buku harianku; yang merupakan tempatku berkeluh-kesah kala tak ada teman bicara.

Tanpa terlampau banyak buang waktu untuk berpikir, aku biarkan sepasang kuasa bergerak ke arah lemari kecil di samping kasurku. Aku tarik salah satu laci di sana, dan kusimpan harta paling berhargaku di dalamnya. Kemudian, aku bereskan kembali barang-barang bawaanku.

Perasaanku begitu gembira dan puas usai retret itu, sehingga aku lambungkan harapan kala memasuki pekan berikutnya. Namun, ternyata segala yang aku harapkan berujung sia-sia. Pekan itu jadi satu dari sekian banyak pekan yang bawa petaka.

Ini adalah petaka emosional yang tak mampu aku bendung. Seorang kawan benar-benar buahkan luka di hati, aku teringat segala hal yang jatuhkan kepercayaan diriku, dan aku cemaskan nilai-nilaiku yang kian menurun akibat stres.

Bisa dikatakan aku benar-benar tenggelam dalam tangis sampai tertidur, setiap malam. Tadinya aku sempat taruh harap, bahwa apa-apa saja yang aku terima di Junior Stellis Night akan berdampak besar untuk tenangkan diriku, dan bantu aku agar tak rasa tertekan lagi. 

Bagai manusia hanya boleh berharap; yang terjadi malah sebaliknya. Aku mulai berpendapat, bahwa retret yang aku lalui tempo hari hanyalah pereda stres sementara. Rasa kalut begitu lembut tarik aku ke dasar laut, hingga sesak hasilkan sepasang tungkai tak berani berpijak ke mana-mana.

Kala itu, Minggu pagi. Hari yang seharusnya bawa keceriaan pada hati. Aku ingat betul, aku bangun dengan hati berat dan perangai yang buat sebal. Lebih-lebih, aku terlambat ke Sekolah Minggu. Maka dari itu, lekaslah aku kenakan baju apa saja yang tertangkap pandang, kusambar kaus kaki dari dalam laci, kemudian usai sejemang mematut diri di depan cermin, barulah aku beranjak dari ruangan kamar.

Tak pernah aku sangka, aku bisa berani-beraninya tutup pintu dengan keras di rumah ini. Namun, mungkin memang dari sananya aku perlu kuatkan tangan untuk lempar gagang pintu sekeras-kerasnya, sebab karena itu pula entah mengapa buku harianku keluar dari lokasi penyimpanan.

Heran betul, sungguh. Padahal yang aku lempar sekuat tenaga adalah gagang pintu, tapi mengapa laci nakaslah yang berakhir hamburkan isi. Khawatir ada yang pungut lalu baca, refleks aku kembali ke dalam kamar untuk pastikan tanganku yang angkat benda itu.

Kala aku berlutut untuk ambil buku harian itu, tiba-tiba angin yang tidak tahu bertiup dari belahan mana buat aku mampu baca rentetan tulisan di dalam catatan yang aku bubuhkan di sana selama Junior Stellis Night.

Ada serangkaian kalimat yang buat aku tertegun. Salah satu pemimpin retret pernah sampaikan sesuatu yang membekas dalam hatiku; sejumput pelajaran hidup yang patut aku ingat selalu. Oleh karena itu, aku berniat untuk bagikan juga kepadamu. Semoga kamu tidak perlakukan dirimu sendiri dengan terlampau keras.

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu, dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau pemuda mana atau gadis mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, rambutmu, warna kulitmu, tempat tinggalmu, atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kamu memiliki banyak teman, atau apakah kamu seorang diri, dan bukan tentang apakah kamu diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup bukanlah tentang semua itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kamu cintai dan kamu sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih. Hidup ini adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan.

Tentang apa yang kamu katakan dan yang kamu maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Lebih-lebih yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk bagaimana kamu gunakan hidupmu. Tentang bagaimana kamu menyentuh hidup orang lain dengan cara yang luar biasa dan tak tergantikan.

Hidup ini adalah tentang serangkaian kalimat menguatkan, sederet bahu untuk bersandar, dan segala memori yang kamu berikan kepada orang lain. Hidup ini adalah tentang bagaimana kamu hadiahkan setidaknya sepercik cahaya pada hidup orang lain, dan hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Usai ambil dan simpan pencerahan dari untaian kata ini, aku berhasil kerjakan ujian sastra dengan baik keesokan harinya. Aku mampu umbar tawa gembira bersama beberapa kawan pada akhir pekan, dan aku berani menyapa pemuda yang aku taksir sejak lama, meski berujung luka karena aku tak dianggap apa-apa, sebab aku bukanlah siapa-siapa. 

Selain itu, aku bisa habiskan waktu luangku bersama saudara-saudari di Sekolah Minggu. Aku juga tak perlu bersikeras untuk dengarkan nasihat dari Suster dan Frater di gereja, malah dengan senang hati aku dengar tanpa keluhan. Bahkan, aku berhasil temukan gaun indah selutut yang bisa aku kenakan ke pesta sekolah, dan kamu tahu, ada yang ajak aku berdansa.

Semua ini bukanlah kebetulan dan keajaiban. Ini adalah perwujudan dari perubahan dalam hati dan sikapku. Aku sadar, bahwa kadang-kadang aku perlu diam sejenak dan ingat-ingat kembali segala hal yang benar-benar penting dalam kehidupan ini. Misalnya, semua yang aku dapatkan dari Junior Stellis Night kala itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan ketika aku telah duduk di kelas terakhir bangku SMA, batin yang tenang dan penuh harap kembali ke permukaan. Oleh sebab aku akan hadiri Senior Stellis Night, maka segala cerita yang terjadi saat dan seusai Junior Stellis Night muncul dalam benak bagai sinema.

Namun, tenang, buku harianku masih aku simpan dengan baik tanpa cacat sedikit pun. Seluruh memori akan hari itu, aku biarkan selalu ambil tempat dalam relung hati. Bilamana aku butuh pencerahan lagi, maka lewat buku harian berhargaku, aku mampu lihat kembali setiap kali aku perlu mengingat apa sebenarnya hakikat hidup ini.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Februari 22, 2022

528 ㅡ Orang menyukai orang yang menyukai mereka.

Kamu tidak akan tahu kebahagiaan
yang ditimbulkan oleh kebaikan hati,
sebab yang terpenting dalam hidup ini adalah
cara kita saling memperlakukan satu sama lain.

Makin banyak yang kita ketahui,
maka makin baik pula kita memaafkan.

Purnama, seorang sahabat karib rangkap kawan mainku, bawa energi dan kehidupan ke dalam tiap-tiap ruangan yang dia sambangi. Juita ini akan pusatkan seluruh atensi kala kamu tengah tuturkan sesuatu, dan dia mampu buat dirimu merasa sangat penting. Banyak insan acungi jempol dan sampaikan; mereka jatuh hati pada sosok Purnama.

Pada suatu hari di musim gugur yang cerah, aku dan Purnama tengah duduk di area belajar kami. Aku arahkan kepala untuk pandang ke luar jendela kala aku lihat salah satu guruku lintasi tempat parkir.

"Aku tak mau bertemu dengannya," kataku.

"Mengapa?" tanya Purnama.

Aku jelaskan sedikit tentang alasan aku enggan tatap muka dengan guru yang satu ini. Di kelas sebelumnya, aku dan si guru berpisah dengan tidak baik. Aku tersinggung oleh saran yang diajukannya, kemudian dia tersinggung karena jawabanku.

"Lagi pula," tambahku, "dia tidak suka padaku."

"Mengapa?" tanya Purnama.

Juita itu tatap sosok guru yang baru saja lewat. "Mungkin kamu salah," balasnya. "Bisa saja kamu yang berpaling, dan kamu melakukannya karena kamu takut. Dia juga mungkin berpikir kamu tak menyukainya, jadi dia tidak ramah. Orang menyukai orang yang menyukai mereka. Kalau kamu menaruh minat padanya, dia pasti juga akan tertarik padamu. Berbicaralah dengannya."

Untaian kata dari Purnama menyengatku. Lantas, ragu-ragu aku turuni tangga ke tempat parkir. Pada akhirnya, aku putuskan untuk sapa guruku dengan hangat dan tak lupa aku tanyakan juga kabarnya.

Sepasang iris hazel pria tua itu bersirobok dengan milikku; dia tampak terkejut. Kami berjalan bersama sambil mengobrol, dan aku mampu bayangkan Purnama awasi pergerakanku dari jendela dengan senyuman lebar.

Jujur saja, aku bisa lakukan ini usai Purnama jelaskan kepadaku sebuah konsep sederhana. Saking sederhananya, aku sampai-sampai tidak percaya kalau aku tak sama sekali ketahui soal itu.

Seperti kebanyakan anak muda, aku tidak merasa yakin akan diriku dan terbiasa hadapi semua pertemuan dengan perasaan takut, bahwa orang lain akan menilaiku; padahal sebenarnya, mereka yang khawatir tentang bagaimana aku menilai mereka.

Sejak hari itu, sebagai ganti lihat penilaian di mata orang lain, aku kenali kebutuhan orang lain terlebih dahulu sebelum berhubungan, dan biarkan mereka berbagi sesuatu tentang diri mereka kepadaku setelah itu. Aku mulai temukan dunia orang-orang yang tak aku kenal. Seandainya aku tidak ubah sikap, aku tak akan tahu sejauh mana dan seberat apa kaki mereka membawa mereka berlari menjemput bahagia walau kadang-kadang malah berjumpa dengan air mata.

Pernah, misalnya, di dalam kereta bawah tanah yang lintasi perbatasan suka dan duka, aku buka obrolan dengan laki-laki yang dihindari semua orang karena dia berjalan goyah dan bicaranya seperti orang mabuk. Ternyata dia sedang memulihkan diri dari serangan jantung. Dia dahulu adalah seorang insinyur pada jalur kereta bawah tanah yang kami tempuh saat ini, dan kala itu dia ungkapkan untukku sejarah-sejarah yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Masinis pemangku marga Langit yang bawa seekor kelinci untuk temani beliau dalam perjalanan; jadi salah satu sejarah paling menarik di antara serangkaian bab dalam buku sejarah itu.

Saat baskara mulai warnai cakrawala, dia genggam tanganku dan pandangi kedua mataku. "Terima kasih, karena sudah mendengarkan ceritaku. Orang lain tak ada yang mau repot." Dia tidak perlu berterima kasih padaku, sejujurnya. Aku yang beruntung.

Ada pula saat-saat lain; di sudut jalan bising area suka terdapat sebuah keluarga yang tanyakan jalan padaku, ternyata mereka berkunjung dari area duka dan kini tengah lakukan petualangan ke kota. Aku tanyakan hari-hari mereka di rumah, lalu sambil minum kopi, mereka kisahkan kepadaku tentang serentetan serial melodrama kehidupan yang menimpa mereka.

Setiap alur pertemuan selalu jadi petualangan, setiap orang beri pelajaran hidup yang tak bisa dibayangkan. Mereka yang berkelimpahan, yang kekurangan, yang berkuasa, dan yang kesepian; semuanya dipenuhi impian dan keraguan sepertiku. Namun, tiap-tiap dari mereka punya kisah yang unik, kalau saja aku bersedia dengarkan dengan baik.

Aku pernah temui seorang gelandangan tua berjanggut yang ceritakan kepadaku; bagaimana dia beri makan keluarganya saat masa depresi hebat dialami seluruh insan di kota kami. Dia perjuangkan hidup sampai pertaruhkan nyawa dengan setiap hari tembakkan senapan ke danau demi kumpulkan ikan-ikan yang terkejut hingga melayang ke permukaan.

Selain itu, kisah petugas lalu lintas yang bagikan pengalamannya tentang bagaimana dia belajar gerakan tangan dari menonton matador dan konduktor orkes, juga beri kehangatan tersendiri dalam batinku. Pegawai salon pula pernah ungkapkan seberapa senang dirinya kala cuma lihat penghuni panti jompo tersenyum usai dapatkan potongan rambut baru.

Sadarkah kita, betapa sering kita biarkan kesempatan untuk bahagia seperti itu lewat begitu saja. Juita yang menurut kebanyakan orang biasa-biasa saja, taruna yang dianggap tak punya apa-apa; orang-orang itu punya cerita, sama seperti aku dan kamu. Sepertimu, mereka memimpikan akan ada orang yang mau mendengarkan kisah mereka.

Inilah sejumput kunci kehidupan yang diketahui Purnama. Katanya, sukai orang terlebih dulu, bertanya-tanya kemudian. Lihatlah dulu, apakah cahaya yang kamu pancarkan kepada orang lain tidak dipantulkan kembali kepadamu seratus kali lipat.

Pada dasarnya, kita semua hanya ingin didengarkan. Terlepas dari idamkan hasrat untuk dicintai, adakalanya kita perlu lebih dahulu ulurkan tangan lalu tanyakan kepada mereka; apakah semua baik-baik saja di sana. Semua dari kita sama-sama butuh pengertian dan perhatian. Maka dari itu, akan lebih baik bila ungkapan cinta banyak dikata, ketimbang lisankan benci yang tidak sepatutnya.

Bersamaku yang coba berubah menjadi lebih baik setiap harinya, maukah kamu genggam tangan ini dan berjalan sedikit lebih jauh lagi untuk jadikan jiwamu versi terbaik dari yang terbaik? Aku berjanji tidak akan tinggalkan sisimu, sebab tiap-tiap dari kita pantas diperlakukan sama. Aku, kamu, dia, kita, dan mereka; semuanya pantas rengkuh bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Februari 21, 2022

527 ㅡ Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.

Aku selalu bawa kuasku ke mana pun aku pergi.
Cuma berjaga kalau-kalau aku perlu tutupi diri;
agar tak ada yang lihat aku yang asli.

Alasan klasik;
takut pamerkan rupaku yang sungguhan.
Namun, bolehkah aku cerita soal obsesi sederhana?

Aku tidak pernah tahu apa alasannya, tapi aku pikir tiap-tiap insan pasti punya obsesi terhadap satu hal kecil. Iya, aku sendiri punya segudang hal yang kerap buat aku terobsesi.

Bila boleh cerita sedikit, aku punya obsesi untuk kupas jeruk tanpa terputus, pula terbiasa kosongkan halaman pertama buku catatan baru, gigit kuku jemari kala dilanda panik, dan paling-paling; aku suka amati sapaan tangan para pengemudi bus.

Nah, sekarang aku akan kupas sedikit demi sedikit tentang obsesiku yang terakhir. Obsesi yang mungkin terasa aneh dan asing bagi beberapa insan, tapi aku harap kamu tidak pandang aku sebelah mata.

Bila tengah naik bus, adakalanya bus yang aku naiki berpapasan dengan bus bernomor lain dari perusahaan yang sama—datang dari arah berlawanan. Di momen itu, para pengemudi bus saling beri sapa berupa gerakan tangan sederhana.

Aku sangat teramat suka amati sapaan tangan yang mereka beri, sampai-sampai kalau ada bus dengan nomor lain muncul dari kejauhan—jantungku berpacu begitu cepat, dan aku mulai tatap pengemudi bus dengan saksama. Lucu, ya? Aneh, 'kah?

Meski sapaan tangan itu cuma gestur sederhana, jujur saja terkandung kepribadian masing-masing pengemudi di sana. Lagi-lagi, walau gerakan yang mereka ciptakan berujung sama; sudut tangan, ekspresi, serta atmosfer yang diciptakan oleh tiap-tiap pengemudi terasa berbeda.

Ada salam yang seolah-olah katakan, "Oi, hari ini kamu sudah bekerja keras!" dengan sekencang-kencangnya. Ada pula salam yang rasa-rasanya bagai tuturkan, "Hai, aku tahu kamu sudah bekerja sangat keras hari ini!" tanpa segan. Kemudian, ada resah hati yang disampaikan lewat kalimat, "Ah, hari ini aku sangat tidak bersemangat!"

Adakalanya aku lihat ada pengemudi beri salam dengan pose yang keren. Sapaan tangan itu lurus dan tegap, kemudian aku pun berpikir, 'Ah, semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja,' lalu seketika aku merasa tenang.

Tatkala ada penumpang tanyakan rute bus, atau bila pengemudi lewatkan waktu yang tepat untuk saling beri sapa, terkadang malah aku yang kecewa. Aneh, memang.

Sejujurnya aku sendiri merasa bahwa obsesiku ini sungguh aneh. Namun, berkat obsesi ini, aku bisa dapatkan kebahagiaan yang sederhana hampir setiap saat.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 23, 2021

223 ㅡ Teman jiwa sudah hidup di dalam diri satu sama lain.

Teman jiwa tidak akan bertemu di suatu tempat;
pada akhirnya, sebab selama ini...
mereka sudah hidup di dalam diri satu sama lain.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, April 22, 2021

222 ㅡ Kamu akan menjadi sangat istimewa.

Aku tersenyum saat kita pertama kali bertemu,
karena aku tahu suatu hari nanti;
kamu akan menjadi sangat istimewa.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, April 21, 2021

221 ㅡ Semuanya jatuh di tempat yang seharusnya.

Aku ingat bagaimana kamu tersenyum padaku;
saat pertama kali kita bertemu,
dan semuanya jatuh di tempat yang seharusnya.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 20, 2021

220 ㅡ Pertemuan penting di bawah langit dan di atas bumi.

Pertemuan penting di bawah langit dan di atas bumi;
sebenarnya sudah diatur oleh para jiwa,
jauh sebelum tubuh mereka bertemu.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, April 19, 2021

219 ㅡ Mungkin kita berasal dari bintang yang sama.

Rasanya seperti sebagian kecil dari jiwaku;
telah mencintaimu dari sejak awal kita diciptakan.

Mungkin kita berasal dari bintang yang sama.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, April 18, 2021

218 ㅡ Aku, di tengah orang-orang yang saling membagikan kehangatan.

Aku memeluk hati yang mendingin dan membeku;
di tengah orang-orang yang saling membagikan kehangatan.

Sementara itu, semua orang tertawa dalam waktu;
yang akan diingat sebagai malam yang bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, April 17, 2021

217 ㅡ Terkurung dalam ombak, terpenjara dalam waktu.

Terkurung dalam ombak, terpenjara dalam waktu.
Aku ingin mengabadikan ombak yang pecah menjadi buih putih.
Katakan dingin dan kamu tidak tahan lagi, maka aku akan melepasmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 16, 2021

216 ㅡ Tolong berikan aku waktu untuk sendirian.

Tolong sesekali berikan aku waktu untuk sendirian.

Kalau tidak ada waktu untuk kuhabiskan sendirian,
aku tidak bisa mengisi kembali tenagaku.

Aku harap kamu baik-baik saja saat aku tak ada di sisimu.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, April 15, 2021

215 ㅡ Aku mengingat suatu masa melalui rasanya.

Terkadang, aku mengingat suatu masa melalui rasanya.
Ada masa dan rasa yang bisa saling mewakili saat-saat itu.
Hari-hari ketika aku bersama dengan orang-orang baik.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, April 14, 2021

214 ㅡ Aku tidak marah, hanya kecewa.

Dunia ini adalah dunia yang dipenuhi cinta.
Cinta dengan mudah bisa ditemukan di mana-mana.

Berapa banyak tunas bunga yang tumbuh pada musim semi?
Malam ini, berapa banyak hati yang akan memakai topeng cinta?

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 02, 2021

202 ㅡ Aku lega, kedalaman lautku tidak terlihat.

Teruntuk Senjakala (2031),

Anak itu polos. Ia seperti lautan jernih, hingga kita bisa melihat pasir indah yang terhampar di dasarnya, ikan-ikan yang menyelam di dalamnya, bahkan bayangan perahu yang kita naiki pun dapat terlihat.

Ia yang terbiasa mengekspresikan dirinya itu tidak berusaha menyembunyikan perasaannya. Jika ada hal yang membuatnya sedih, ia pun menangis. Jika ada seseorang yang disukainya, ia juga tahu cara mengutarakan isi hatinya melalui kata-kata.

Sesungguhnya, aku iri padanya. Sosok murni yang tampaknya tumbuh tanpa cacat dan kesulitan, sosok yang dapat terlihat lucu seperti anak kecil tapi juga tampak dewasa, sosok yang menunjukkan kepolosan dan kemurnian yang bisa dirasakan dari orang-orang yang belum beranjak dewasa.

Sementara itu, aku tidak bisa melihat apa pun di dalam lautku.

Di sisi lain, aku merasa lega kedalaman lautku tidak terlihat, karena di dalam lautku tidak ada ikan-ikan cantik yang berenang dengan riang serta pasir indah yang terbentang seperti dasar laut anak itu. Karenanya, aku ingin terus menutupi lautku. Aku tidak ingin menunjukkan lautku yang kosong kepada siapa pun. Aku tidak ingin hati yang tumbuh bengkok ini diketahui oleh orang lain.

Aku berharap bisa memiliki seseorang yang bisa melihat hal-hal tersembunyi dalam diriku. Sebab rasa rendah diriku ini terlalu mengganggu, dan aku merasa terkurung dalam rasa rendah diri yang buruk itu. Rasanya aku butuh sesuatu yang bisa aku tunjukkan, sesuatu yang tidak ingin aku sembunyikan dari orang lain.

Jika ada yang melihat diriku yang gelap ini dan mengatakan bahwa aku adalah yang paling bersinar di dunia, meskipun sedikit, mungkin akan ada cahaya yang datang dan menerangi diriku. Aku rasa akan ada seekor ikan yang menyelam di dalam lautanku yang gelap ini.

Dari Senjakala (2021).

Kamis, April 01, 2021

201 ㅡ Seluruh dunia bergerak dengan sibuk kecuali aku.

Teruntuk Senjakala (2031),

Ada hari seperti ini: hari saat aku merasa seluruh dunia bergerak dengan sibuk kecuali diriku.

Kenapa? Sebenarnya, waktu kecil juga begitu, 'kan?

Ketika Ibu sedang mengobrol seru dan tertawa terbahak-bahak dengan ibu-ibu lainnya di lingkungan tempat tinggal, aku penasaran ada hal seru apa yang terjadi, lalu aku pun mendekat dan ikut bergabung. Namun, setiap kali aku melakukan itu, Ibu selalu berkata, "Kamu ke sana aja dulu, ya. Anak kecil tidak perlu tahu," sambil menyuruh aku pergi menjauh.

Apa kamu ingat?

Saat ini, aku bukan anak kecil lagi. Tidak ada lagi banyak hal yang aku tidak perlu tahu. Namun, terkadang ada saatnya aku merasakan perasaan di masa kecil itu. Perasaan yang terkadang membuat aku merasa dunia ini memisahkan aku dengan orang-orang di sekelilingku. Perasaan yang terkadang membuat aku kecewa pada diriku sendiri.

Seperti setelah melewati hari yang berat dan melelahkan, aku menekan nomor telepon yang ada di ponsel, karena ingin mendengar suara seseorang. Namun, semua nomor yang aku hubungi sedang sibuk. Atau seperti waktu makan malam di akhir pekan yang terasa sangat sepi, tetapi tak ada satu orang pun yang bisa aku ajak makan makanan hangat bersama.

Kamu, dia, dan mereka, apa yang membuat kalian semua begitu sibuk hingga tak ada ruang bagiku untuk ikut ambil bagian di dalamnya? Padahal hariku terasa sangat membosankan.

Aku mengambang dalam keseharian yang bagaikan lautan, sementara orang lain terbang seperti burung. Terbang ke tempat yang jauh di sana. Ke tempat yang tak bisa aku raih.

Terkadang aku mengalami malam saat aku pun tidak bisa menguasai diriku sendiri. Ada hari-hari tertentu saat aku sendiri pun tak mengerti mengapa sekarang aku sedih, atau mengapa perasaanku sangat tidak menyenangkan.

Pada malam seperti itu, aku menggali tanah sampai dasar dan memasang tenda di dasarnya. Aku memilih untuk menempati dasar, sebab tak ada setitik cahaya pun yang bisa menembus masuk.

Semua ini salah wajah lain dari diriku yang tersembunyi di dalam sana. Mengapa tidak ada seorang pun yang memelukku? Mengapa aku sendiri pun tidak bisa merangkul diriku sendiri?

Dari Senjakala (2021).

Rabu, Maret 31, 2021

200 ㅡ Jangan pulang dulu sebelum menemukan aku.

Teruntuk Senjakala (2031),

Aku sakit, aku lelah!

Dahulu, mengatakan hal itu selalu terasa sulit. Pada saat aku perlu perhatian yang hangat, mengatakan sakit dan lelah entah mengapa dahulu terasa memalukan. Terkadang, bertemu orang yang dengan terang-terangan dan percaya diri menyatakan bahwa dirinya memerlukan perhatian, tanpa aku sadari membuatku merasa iri.

Rasa iri muncul saat aku merasa bahwa hal yang sulit bagiku, bisa dilakukan dengan sangat mudah oleh orang lain. Meskipun begitu, hatiku berharap ada orang yang mengerti perasaanku.

Aku berharap ada orang yang sadar, bahwa aku sedang kelelahan dan kesulitan, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku berharap permainan petak umpet ini tidak berakhir sebelum ada yang menemukan diriku yang tersembunyi di tempat yang dalam.

Aku pandai bermain petak umpet. Aku adalah orang yang bisa bertahan sampai akhir, dan tidak bisa ditemukan oleh penjaga dalam setiap permainan. Saking sulitnya menemukan tempatku bersembunyi, mereka semua sering mengakhiri permainan karena tidak bisa menemukanku.

Saat itu, aku ingin sekali berkata, "Jangan pulang dulu sebelum menemukan aku," padahal aku bersembunyi sampai tak sehelai rambut pun terlihat. Aku ingin sekali ditemukan, padahal aku yang memilih bersembunyi di di tempat yang sama sekali tidak bisa ditemukan.

Dari Senjakala (2021).

Rabu, Desember 02, 2020

081 ㅡ Kencan petualangan online.

Tak ada yang namanya kebetulan; dan apa yang kelihatan sebagai suatu kebetulan muncul dari suatu sumber takdir yang lebih mendalam.

Setelah terus-menerus "menjomblo" dan tak pernah kencan dengan siapa pun selama beberapa waktu, dengan pengecualian satu kali bencana, kuputuskan bahwa pernikahan bukan takdirku. Ketika menyetir pulang ke rumah tanpa supirku dari sebuah pusat perbelanjaan di suatu malam, tiba-tiba aku menyadari sedang menatap sekilas ke langit lewat jendela depan dan berbicara kepada Tuhan, "Tuhan, aku tidak akan menikah."

Aku menegaskan kalimatku dengan berkata, "Aku tidak sedang ingin bertemu seseorang. Aku sudah punya kehidupan yang menyenangkan. Seorang laki-laki hanya akan membuat hidupku menjadi kacau. Lagi pula, apabila Tuhan menghendaki aku menikah, Tuhan lah yang akan membawakanku seseorang yang tepat pada waktunya. Benar, 'kan?"

Keesokan harinya, aku bertemu dengan seorang teman di sebuah kedai minuman manis. Temanku terlihat skeptis ketika memandangku lewat asap yang menguap dari cangkir susu hangat kami.

"Apakah tak pernah terpikirkan olehmu, bahwa Tuhan menghendaki kamu yang mencari? Memang, kamu adalah seorang nona kaya raya dengan kekayaan keluarga yang tak akan habis sampai tujuh keturunan. Kamu punya anjing Siberian Husky, Alaskan Malamute, Rottweiler, dan Doberman Pinscher, serta kemandirianmu yang selalu dipuji orang-orang tua. Aku rasa, mungkin hubungan yang indah akan memperkaya hidupmu yang sudah nyaman."

Aku menyimpan pernyataan itu di sudut kepalaku. Minggu-minggu berikutnya kadang-kadang kukeluarkan dan kukaji lagi. Tak lupa aku berdoa untuk itu, tetapi pernyataan itu tetap berada di tempat persembunyiannya.

Suatu hari, di tengah ritual mengeluarkan pernyataan itu, kuperhatikan bahwa kata-kata temanku itu semakin membesar. Dengan mengakar, pernyataan itu sudah menyebar seperti tanaman rambat.

Dalam cerita Alkitab tentang Ibrahim—yang mengutus pembantunya mencarikan istri untuk anak lelakinya, Ishak—Ibrahim tidak hanya duduk-duduk saja dan menggoyang-goyangkan ibu jari; menantikan perempuan muda mengetuk pintu kemahnya. Rencana melibatkan tindakan yang direncanakan.

Aku tahu banyak tentang Alkitab, sebab teman seimanku di gereja sering berbagi pengetahuan perihal Alkitab. Kami sering berbagi cerita. Selain itu, kami juga sering membedah soal hubungan antara Alkitab dan kehidupan. Tiba-tiba saja cerita tentang Ibrahim terlintas dalam kepalaku. Entah mengapa, cerita ini memiliki tempat tersendiri di hatiku.

"Baiklah, Tuhan," pintaku. "Jika Engkau menginginkan aku mencari pasangan, lalu tunjukkan padaku bagaimana aku harus memulai pencarian, karena kukira pusat arcade, lapangan bola, dan di bawah batu bukanlah tempat yang Engkau kehendaki."

Tahun ini aku berusia dua puluh tiga tahun dan sama sekali tak paham perihal kencan. Satu-satunya nasihat yang dibekalkan nenek tentang anak laki-laki adalah, "Jangan pernah menelepon anak laki-laki duluan! Nanti kamu dikira perempuan gampangan."

Gampang dalam hal apa? Dalam memecahkan soal matematika?

Aku menyimak nasihat nenek, meski tak setuju. Ini kan zaman modern. Nenek boleh saja sudah menasihatiku agar aku tidak menelepon laki-laki, tetapi beliau tidak pernah menyebut perihal surel.

Suatu malam, aku mendapatkan surel dari seseorang. Dia bertanya apakah aku sudah menikah dan punya anak. Aku berasumsi dia sudah gila. Namun, aku tidak berniat untuk menjawab dengan jujur.

Aku mulai mengetik jawabanku dengan tenang. "Aku sedang belajar untuk menjadi seorang biarawati yang kutekuni dengan sungguh-sungguh. Jadi, bila kiriman surel ini kurang pantas, aku akan menegurmu! Aku bukanlah perempuan yang sedang putus asa."

Keyboard komputerku benar-benar piawai! Teleponku lalu berdering.

"Halo, Senjakala. Aku baru saja mengirimimu surel, tetapi aku sudah tidak sabar dan lebih baik telepon saja. Aku tahu kamu dekat dengan Tuhan. Itulah sebabnya aku ingin bicara denganmu."

Aku tak bisa membayangkan apa yang ingin diobrolkan lelaki ini. Jadi, aku pun bersikap melindungi diri dan siap-siap menutup telepon, kalau itu memang diperlukan.

Dia pun mulai bicara. "Aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya. Jadi, aku akan berbicara apa adanya saja. Aku melihat halaman web milikmu tadi malam, dan setelah membaca biografimu, aku yakin kamulah perempuan yang telah lama aku dambakan dalam doaku."

Dia lalu bicara dalam bahasa yang dia yakin kupahami, yaitu ayat-ayat dalam Alkitab. “Jangan membatasi Tuhan, Senjakala, karena bersama Tuhan tidak ada yang mustahil.”

Kata-kata itu langsung menghangatkan hatiku. Meski perasaanku tentang menjalin hubungan dan pernikahan masih sama, aku mau mendengarkan semua yang dia katakan. Rasanya seperti ada mantra tersembunyi dari kalimat yang dia ucapkan. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku yakin ada sesuatu tentang dirinya yang harus aku kenal lebih dalam.

Tepat tiga minggu setelah kami berkirim surel secara rutin, aku mengiyakan janji temu dengannya. Kami berjumpa langsung ditemani aroma kopi yang manis. Dia dengan kopi hitamnya, dan aku dengan susu vanila.

Kami sama sekali tak kesulitan menandai masing-masing, karena sama-sama memajang foto kami yang terakhir. Kami mengobrol berjam-jam dan sepakat untuk bertemu lagi, dan lagi, dan lagi. Perlahan-lahan kami saling mengenal sebagai teman. Aku terkesan oleh budi baiknya, rasa hormatnya kepadaku, dan kenyataan bahwa dia menyukai anjing-anjingku. Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Namun, dengan senang hati juga menerima perbedaan di antara kami masing-masing.

Setelah beberapa kali mengobrol, aku dan dia memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan jarak jauh. Karena jarak, dia banyak sekali memanfaatkan celah dan bertemu dengan orang-orang yang peduli dengan keadaanku. Kami semua perlu memastikan dialah lelaki yang diakuinya. 

Semua ini terjadi karena kami memilih untuk keluar dari segala sesuatu yang sudah biasa dan menjadi tradisi, untuk memercayai Tuhan, dan mengambil risiko untuk mengenal lebih jauh perihal kencan online.

Kita mencintai bukan dengan menemukan orang yang sempurna, tetapi melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna.

Salam hangat,
Senjakala.