Selasa, Maret 08, 2022

542 ㅡ Satu-satu, pasti keburu.

Ini rekam jejak langit kala itu yang ditangkap langsung oleh mata besarku. Aku sandingkan beriringan dengan rangkaian aksara dari kepala kecilku. Harapanku agar hati mungilku mampu merayu telinga cantikmu untuk mendengar segala sesuatu dari kalbuku hingga ke akar. Bagus betul jika hatimu turut mengikuti pergolakan emosi jiwaku yang mengakar.

Aku masih manusia biasa; yang adakalanya termenung akibat tanpa sengaja mempersilakan huru-hara semesta mengurungku di dasar samudra. Oleh sebab itu, aku lahirkan catatan harian ini dari sekat-sekat jemariku demi menyuarakan pahit yang melekat di lidahku. Selembar kertas ini aku tujukan untuk diriku sebagai pengingat bahwa pahit itu valid. Tidak apa-apa sekali-sekali terpuruk karena merasa buruk. Tidak apa-apa berulang kali harus berusaha menjadi baik supaya mendapatkan yang terbaik.

Hari ini aku memang patah, tetapi aku tidak akan menyerah untuk tetap hidup sehidup-hidupnya. Selamat membaca kata dan merayakan rasa yang singgah hari ini. Semoga kamu tetap bersibuk jejaki bahagia hingga lupa semesta sedang tidak baik-baik saja, sama sepertiku.

Langit cemberut, laut kusut.

Akhir-akhir ini semesta berhenti berpihak padaku. Lihatlah, langit cemberut, laut kusut, matahari pamrih, dan bulan berantakan. Rumah paling hangat dengan fondasi berupa asa-asa tak kasatmata yang aku susun dengan cinta, seketika tersambar angin puting beliung dalam sekejap mata hingga seluruh harapan hancur berkeping-keping tanpa sisa. Katakan, semesta, untuk apa ikut murka pada aku yang larinya memang lebih lambat dari mereka?

Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti.

Aku sudah berusaha menjadi manusia yang sering tabah dan pantang menyerah. Aku bahkan kerap berhasil memberikan suntikan energi untuk puluhan bahkan ratusan jiwa yang butuh perlindungan hati. Aku sisipkan doa-doa baik di dalamnya; dengan harapan mereka mampu terus berjuang menjelajahi dunia bersamaku sebagai cahaya yang menerangi setiap langkah. Aku siapkan pundak untuk bersandar dan telinga untuk mendengar, tetapi ketika kepayahan menyerbu jiwa dan ragaku sampai-sampai benteng pertahanan yang aku bangun satu per satu dengan kesungguhan berakhir runtuh menyeluruh, tiada satu pun dari tambahan isi semesta yang berniat melebarkan sepasang sayap lengan untuk mendekapku erat-erat. Tidak ada siapa-siapa yang bisa aku panggil ke rumah sederhanaku untuk berbagi cerita, sebab tidak ada yang berani menyamakan langkah denganku yang dianggap terlalu lambat. Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti. Aku selalu sendirian di tengah terpaan badai, seolah-olah aku memang tercipta untuk dilupakan dunia.

Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh.

Aku acapkali berandai-andai. Jika aku dilahirkan dengan cinta yang membalut tulang-tulang keriput, akankah luka enggan menemani perjalananku dengan kaki yang tak pernah beralaskan kasut? Jika aku dianugerahkan hampir segalanya di dunia saat aku beranjak dewasa, akankah bahagia membuat mataku mampu melihat semesta dengan lebih berwarna? Saban hari aku hanya bisa berimajinasi setiap kali persoalan pelik mengambil ruang besar di dalam kepala kecilku. Iya, kenyataannya aku terbiasa terlupakan karena sebenar-benarnya aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak punya apa-apa dan paling tidak pernah dielu-elukan namanya. Aku bertahan dengan bersembunyi di balik keinginanku untuk hidup sendiri, mandiri, dan menyendiri. Hidupku hanya seputar aku dan semua hal yang bisa aku kendalikan dengan pasti. Aku terlalu khawatir terluka dan paling takut kecewa. Aku berhenti menaruh harapan pada dunia, sebab sejak aku mulai bisa bernapas lega, hatiku telah dirusak ekspektasi yang merajalela kobaran api di dalam dada. Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh. Tidak mampu aku mengeratkan lagi kepingan hati yang berserakan di atas lantai dingin itu. Tidak bisa aku merajut kembali asa yang sudah binasa bahkan sebelum aku mulai merangkak maju.

Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.

Selambat-lambatnya aku, setidaknya aku punya ketulusan untuk merengkuh tiap-tiap individu yang datang menemuiku. Meskipun aku butuh lebih banyak waktu untuk menyenangkan sekelilingku, setidaknya aku berani mempertaruhkan hidupku demi menyelesaikan tugas-tugasku sebagai personifikasi pijar semu. Aku melangkahkan kaki sambil merunduk ke bumi agar tahu ke arah mana tubuh ini akan aku bawa ke masa depan. Aku tidak hanya mendongak ke langit untuk meminta diselamatkan kala memanjatkan doa dengan kesepuluh jemari bertautan.

Aku pasrah, tetapi aku tidak akan pernah menyerah. pada hidupku, juga pada kepercayaan bahwa dunia ini masih punya banyak orang baik yang belum aku ajak berkenalan. Aku masih perlu belajar dari mereka tentang cara menaklukkan dunia. Aku pula ingin berbagi cerita; tentang caraku bertahan hidup, tentang caraku menikmati hidup. hanya saja, terkadang aku gusar pada mereka yang terlihat paling sibuk menjalani hidup. Apa yang hendak mereka cari? Apa ada yang mengajak berkompetisi? Mengapa buru-buru sekali? Mengapa tidak bisa sabar sedikit lagi? Aku sontak bertanya-tanya kepada rumput-rumput yang berdendang riang di tengah gelora angin hampa. Apa orang-orang yang sibuk itu sedang berusaha menaklukkan dunia? Apa orang-orang yang paling sibuk itu sudah menaklukkan dunia? Atau sebenarnya dunialah yang menaklukkan orang-orang yang berpura-pura paling sibuk itu? Entahlah.

Mereka ingin lari dan semesta beri izin, sementara aku berjalan di tempat seraya berpegang erat pada keyakinan bahwa aku lebih kuat. Tidak, bagian mana dari diriku yang lebih tangguh dari mereka? Bagian mana dari diriku yang lebih baik dari mereka? Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.

Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu.

Ikhlas. Aku berusaha naik kelas dengan lapang dada melewati segala ujian. Barangkali tugas mereka saat ini bukan menjadi tugas utamaku. Barangkali tugas kami di kehidupan kali ini memang berbeda, sehingga mereka diperbolehkan pergi ke mana pun sesuka hati, sedang aku dipaksa mencoba berulang kali sampai kehabisan akal untuk mencari bagaimana cara memulai segalanya kembali.

Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu. Aku dan kecewaku, mungkin harus lebih sering berjumpa agar jalan menuju bahagia bisa terbentang di depan mata. Aku dan takutku, mungkin sudah direncanakan untuk menjadi awal mula kisah supaya aku mampu lebih memahami bahwa hatiku lebih hebat dari pikirku. Aku dan ikhlasku, mungkin harus terus berusaha bergandengan tangan agar dijauhkan dari balada perih, sebab barangkali itulah kepelikan yang harus aku bayar jika meminta dijadikan pemeran utama di dalam ceritaku sendiri.

Sesungguhnya jelas betul butuh lebih banyak waktu untuk menjadi yang terbaik, sebab tidak semua manusia di muka bumi boleh punya kehidupan teramat apik. Ujian demi ujian perlu dilalui supaya bahagia yang diramu bisa benar-benar menjadi kenyataan. Sebentar lagi aku akan menempatkan bahagiaku di antara sekat-sekat jemari yang bertautan. Sambil merapalkan doa penuh rasa syukur, aku akan bersorak dengan nyaring demi merayakan aku dan semestaku yang berakhir akur.

Satu-satu, pasti keburu.

Memahami jalan pikir semesta adalah perkara seumur hidup. Dinamis, perubahan bisa terjadi kapan saja selama hasrat untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana senantiasa mengalir di dalam darah. Aku, kamu, kita; pasti pernah terpuruk karena merasa buruk. Kita hanyalah manusia biasa, wajar jika tak sempurna. Satu waktu bisa merasa paling bahagia di dunia, waktu lainnya bisa merasa paling terluka seantero semesta. Begitulah cara kerja pikiran yang sejatinya tidak perlu berlebihan dihiraukan. Tidak perlu juga mengindahkan seluruh kata yang dirangkai kepala. Adakalanya semua hanya basa-basi belaka dari nestapa yang singgah untuk membakar sumbu sabar kita.

Percayalah pada hati dan berpeganglah pada kasih. Semua akan baik-baik saja. Lelah hari ini akan tergantikan gembira esok hari. Biarkan saja dunia berputar sekencang-kencangnya. Biarkan saja semesta berlari sekuat-kuatnya. Kita tidak akan pernah tertinggal, sebab kehidupan bukanlah sebuah pertandingan. Tidak ada kompetisi yang harus dimenangkan. Tidak ada hadiah yang harus diperebutkan. Namun, selalu ada trofi bagi mereka yang berhasil memahami diri sendiri hingga ke dalam jiwa tersembunyi. Maka, berhenti menyalahkan diri sendiri karena hanya bisa berjalan kaki di saat kebanyakan insan memiliki kuda untuk ditunggangi. Tetaplah ikhlas menerima diri apa adanya, meski dunia membuatmu merasa tidak baik-baik saja. Mungkin dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, jadi maklumkanlah semua dengan tangan terbuka.

Aku, kamu, kita; berharga lebih dari kata sempurna. Tenang, dunia masih punya miliaran orang baik. Hiduplah sehidup-hidupnya, dan temukan lebih banyak orang baik yang tersebar di seluruh dunia. Jika kamu belum bisa menemukan mereka, maka jadilah orang baik itu dan beri peluk untuk mereka yang butuh. Jangan lupa selamatkan dirimu sendiri terlebih dahulu. Rangkul burukmu, sayangi baikmu, dan cintai hatimu sebagaimana kamu ingin dicintai semesta.

Harapan besarku untuk kita semua hanya satu. Apa pun yang sedang kamu kerjakan, apa pun yang ingin kamu raih, dan apa pun yang menjadi cita-citamu, lakukan dan wujudkan perlahan-lahan. Jangan terburu-buru, tidak ada yang mengejarmu. Taruh serpihan hatimu di setiap langkah kecilmu. Jangan hiraukan cuitan-cuitan insan omong kosong yang tidak berkontribusi untuk misimu menaklukkan dunia. Kita tidak akan pernah kalah bertaruh, sekalipun tersungkur jauh akibat tersandung kegagalan di tengah jalan. Kegagalan adalah pertanda kasih dari semesta agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Keinginan untuk bangkit lagi setelah berulang kali terpuruk karena merasa buruk adalah kunci dari keberhasilan.

Semesta selalu mencintai kita, anak-anak semesta. Semakin duniamu susah ditaklukkan, semakin kuat kamu menghadapi cobaan, dan semakin besar pula bahagiamu kelak di akhir cerita kehidupan. Jadi, apa pun itu ... satu-satu, pasti keburu.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, Maret 07, 2022

541 ㅡ Deeper than my feet could ever wander.

Aku berhenti berharap pada titik hilang. Pada serangkaian takdir semrawut, aku tersungkur kala mendengar kabar bahwa pelayar terbaik, yang telah berjanji akan membawaku ke ujung semesta dengan melampaui segala keterbatasan, dikabarkan tidak akan pernah kembali pulang. 

Tiada lagi asa dan rasa.
Tiada lagi kita dalam cerita.
Tiada lagi cinta yang sempurna.

Ternyata Tenggara lebih mencintai pelayaran daripada aku. Ternyata Tenggara lebih memilih berenang bersama ikan-ikan bercorak warna-warni, berwujud besar-kecil, dan bergerak lambat-lekas di laut lepas. Aku tetap menolak menggantikan kenangan bahagia dengan larutan luka. Aku masih menantikan sinyal-sinyal datang dari debur ombak yang berkejar-kejaran.

Berhari-hari aku berkunjung ke pelabuhan demi menyambut kepulangan Tenggara ke rumah. Aku mengelilingi setiap sudut pelabuhan untuk mencari jejak-jejak kaki yang ditinggalkan Tenggara. Enggan terbuai ekspektasi, aku melempar tanya kepada semesta dalam hati. Apabila Tenggara boleh menyampaikan pesan terakhir untuk aku yang dengan penuh kasih akrab dia panggil peri cinta, kira-kira bunyinya seperti apa?

Seketika segerombolan awan menampilkan presensi, menorehkan warna abu-abu pada permadani angkasa yang semula cerah. Gemuruh ikut menggelegar, meminta perhatian siapa saja yang mendengar.

Langit berseteru dengan laut; saling menyahut seolah-olah mereka sedang merundingkan sesuatu tanpa takut. Hati kecilku yang berselimut harapan lantas seperti dijadikan badut, sebab aku disuruh diam-diam berdiri di tengah-tengah mereka. Gemuruh gaduh di langit luas itu hendak memanggil siapa? Debur ombak di laut lepas itu hendak mengutarakan apa?

"Senjakala, rayakanlah duka dengan tawa. Meski senyumanmu hilang arti tanpa aku di sisi, percayalah kita pasti akan dipertemukan kembali suatu hari nanti. Sebab kamu membawa serpihan hatiku di setiap langkah, maka hiduplah terus bersama setengah jiwaku, Senja. Sejatinya aku sudah pulang, maka kini kamu pun tak perlu lagi melewati penantian panjang. Aku sudah berkawan dekat dengan banyak ikan, ombak-ombak, angin kencang, dan burung-burung. Kelak bukalah telingamu lebar-lebar ya? Setiap kali kamu dengar dersik angin berbisik, burung-burung berkicau, dan debur ombak berkejaran; ingatlah, dari dasar laut, aku sedang merindukanmu."

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, Maret 06, 2022

540 ㅡ You tricked me badly / I treated you properly.

Perdebatan menjadi satu-satunya bahasa cinta Senjakala dan Tenggara. Perbedaan pendapat dalam menyikapi sejumlah perkara mengakibatkan perang dingin kerap terjadi. 

Seperti hari-hari kemarin, Senjakala kembali angkat bicara guna meluruskan alur cerita berbeda yang semalam suntuk sempat membuat keduanya pening bukan kepalang. Seperti perdebatan lalu-lalu, lagi-lagi Senjakala yang menginisiasi pertemuan untuk memperbaiki hubungan yang kian renggang.

Tenggara memang terkenal kikir pikir, sedang Senjakala selalu saja murah aksara. Oleh karena itu, Senjakala sering kali merasa bagai berbicara sendiri kala sedang berkonversasi dengan Tenggara. Seakan-akan hanya Senjakala seorang yang ingin menyelamatkan hubungan mereka. Seakan-akan Tenggara tidak pernah berkontribusi dalam hubungan mereka dengan memberikan penjelasan untuk mengurangi kekhawatiran yang melekat di hati Senjakala. 

Barangkali Tenggara sukar merangkai kata dan berharap Senjakala bisa mengerti. Barangkali Senjakala sulit memahami keheningan yang dibutuhkan Tenggara untuk menenangkan karma yang melilit jiwa hingga cinta susah digaungkan dengan sempuna.

"Tenggara, kita tidak pernah memandang langit yang sama."
"Masih banyak entitas angkasa yang bisa kita lihat bersama."
"Berhenti membuat aku terlihat seperti orang bodoh!"
"Caraku memandang dunia memang berbeda, Senja."
"Ya, aku tahu, karena memang itu yang dahulu membuat aku jatuh cinta kepadamu."
"Dahulu?"
"I don't want to do this anymore, Tenggara."
"What did I do, Senja?"
"I'm tired of jumping up and down asking for your attention."
"Senjakala, listen. Let me explain."
"I won't ask you to stay. If you want to leave, then go."
"Can we fix this?"
"I wish I wasn't unlovable, Tenggara."
"Senja, how did we end up this way?"
"Have you ever loved me?"
"I love you, always. I'm not asking you to trust me. I just want you to have faith that you're deserving of love, Senja."
"You tricked me badly all this time!"
"What?"
"You never said you love me."
"I always treated you properly."
"I love you so much, Tenggara."
"If you encounter a difficult situation, just call my name and I'll be there for you."

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, Maret 05, 2022

539 ㅡ Tell me honestly, what are we?

Senjakala,
I want to give you all the best of me
and it takes time.

Tenggara pernah bertanya kepadaku; seperti apa bentuk cinta yang aku inginkan, bagaimana cara dia harus memperlakukan aku di hadapan kawan-kawan sepermainan, dan kapan waktu yang tepat untuk mulai mengganti status hubungan kami dari sekadar teman menjadi pacaran.

Tenggara selalu saja bertanya terlebih dahulu seolah-olah apa yang akan dia katakan atau lakukan mampu melukai hatiku. Sampai tibalah suatu hari aku naik darah hingga meninggikan suara.

"Adakalanya aku tidak mengenalmu, Tenggara."
"Apa aku sudah melakukan kesalahan?"
"Berhenti. Kamu ini terlalu berhati-hati."
"Senja, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu."
"Memang aku siapa?"
"Senjakala."
"Bukan, maksudku ... aku ini siapanya kamu?"

Tenggara termenung untuk waktu yang lama. Dia yang terbiasa berceloteh ria, kala itu memilih tenggelam dalam hening. Aku tidak menginterupsi, sebab pertanyaan yang aku lemparkan benar membutuhkan jawaban.

Life is full of surprises and miracles, but life is also full of pains and problems. I just want to believe; my hope isn't in vain, Tenggara.

"Hey, Tenggara. How do you describe love?"
"You."

Tenggara membuatku kehabisan napas bagai usai berlari padahal tidak sama sekali. Aku mengejapkan mata berkali-kali dalam satu waktu; berusaha mencerna jawaban singkat namun padat yang tertangkap rungu. Apa ini pernyataan cinta? Atau perasaanku saja?

"Namaku Senjakala, bukan Love."
"Love is you. You're loved."
"And?"
"You’re too full of life to be half loved by someone, Senja."
"Tenggara, don't ever in your life half love me."
"I know, that's why I'm still figuring things out."
"What are you looking for?"
"I want to give you the best version of me."
"But you already are, Tenggara."
"Senjakala, I want to give you all the best of me and it takes time."

Tenggara berbicara dengan kesungguhan hati. Ternyata masih ada sesuatu yang hendak dia cari. Namun, sejak saat itu Tenggara tidak pernah sekali pun bertanya lagi.

Tenggara, you know I'll always love you, right? I'll wait for you until you're ready, no matter how long it takes. You're the best.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, Maret 04, 2022

538 ㅡ Are we going to meet again?

Katanya hidup harus terus berjalan karena waktu selalu bergulir ke depan. Jam rusak pun enggan berlari ke belakang hanya demi melewati angka yang sama dua kali. Suka atau tidak, percaya atau tidak, semua pergerakan jarum jam dilakukan dari depan dan untuk masa depan. Senantiasa melewati angka yang sama berkali-kali bukan berarti gemar sekali mengulang hari. Jam waktu mengajarkan Senjakala untuk berhenti mengharapkan cinta yang sebenarnya tidak pernah ada.

Perpisahan yang terjadi lebih dari lima tahun lalu masih menyisakan luka. Entah apalah isi kepala Tenggara kala itu yang menjadikan seluruh entitas sepenjuru semesta seolah-olah adalah musuh bebuyutannya. Senjakala termasuk salah satu insan yang ditinggalkan Tenggara tanpa tahu apa-apa.

Kotak memori seketika terbuka dan rasanya sangat sesak. Senjakala bungkam seribu bahasa, sebab ia kehabisan kata-kata soal bagaimana menanggapi fakta yang barusan tertangkap rungu. Tenggara dan Purnama akan bertunangan.

Senjakala hanya berusaha menyelesaikan misi. Bagaimanapun caranya Tenggara harus lekas mengakhiri pertemuan ini. Apa gunanya berjumpa jika akhirnya harus kembali berpisah?

Adalah kesalahan besar jika Senjakala menghampiri Tenggara dengan harapan ingin bisa bersama. Kini tembok di antara Senjakala dan Tenggara akan jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Setelah ini, Tenggara akan pergi lebih jauh lagi. Tenggara akan bahagia sendiri, tanpa Senjakala di sisi. 

"Are we going to meet again, Senja?"
"Tenggara, I'd never want to meet you again."
"Why?"
"You're going to be someone's husband."
"Senja, we can still be friends."
"... and that someone is my best friend, Tenggara."
"I just want to be there for you, Senja."
"No, you can't."
"Yes, I can."
"Then tell me, Tenggara. How?"
"..."
"See, Tenggara. You've already lost me, and I'm not sorry."

Detik itu juga Tenggara menolehkan kepala dalam usaha melihat corak warna yang dilukiskan Senjakala di wajah. Sepasang netra merekam lekuk-lekuk rupa jelita milik Senjakala. Senjakala, putri seindah panorama senja yang sedari dahulu tak henti-hentinya ia puja. Bagi Tenggara, Senjakala adalah personifikasi cinta murni dan semesta abadi.

Senjakala bertahan. Pandangan tak berminat dibawa bersirobok dengan manik kembar Tenggara. Air muka khawatir lantas menghiasi paras kala ekor mata mendapati Tenggara menatapnya dari samping.

"Kamu bahkan belum memberikan aku penjelasan apa pun," kata Senjakala membuka suara setelah hening dibiarkan menginterupsi barang sejenak. "Setidaknya sebelum kamu bertunangan, aku ingin mencoba memahami alasan kamu pergi meninggalkan aku.  Lebih dari lima tahun sudah, dan rasanya cukup bagi aku untuk menunggu kepulangan kamu. Sekarang sudah saatnya aku merelakan kamu pergi. Tenggara, I'm letting you go."

"I'll tell you everything. I won't leave anything out, Senja."

Tenggara, in my next life, I'd like to be me, and I'd like to meet you again. Maybe everything will be different. Maybe I'll finally understand. Finding you was really hard, but loving you is so easy. Thank you for holding my hand, and thank you for letting me go.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, Maret 03, 2022

537 ㅡ What are you sorry for?

Baskara menemani langkah Senjakala menuju di mana Tenggara berada. Angin sepoi-sepoi menyapu surai halus kepunyaan sang hawa hingga berkibarlah mahkota kebanggaan itu mengekori arus pawana yang turut prihatin akan pertemuan tak terduga ini.

Jantung yang berdebar tak keruan membuat Senjakala terpaksa harus memperlambat langkah hingga akhirnya membutuhkan lebih dari lima menit untuk dapat benar-benar tiba di hadapan Tenggara. 

"Tenggara."

Sopran mendayu kepunyaan Senjakala menembus ruang dengar siapa saja di dalam jangkauan, terutama sosok anak adam yang dipanggil namanya. Senyuman kecil terukir kentara di wajah ayu sang ratna.

"Senja," dan bariton khas sarat ketenangan pun berhenti mengalun untuk beberapa saat, sebab Tenggara memberi jeda singkat sebelum lantas melanjutkan dengan, "... kala."

Terkejut bukan main. Iya, sudah pasti. Mana mungkin bisa berkedip kala Senjakala, yang sedari masih duduk di bangku sekolah selalu saja dihindari Tenggara, kini berada di depan mata. Seolah-olah melupakan cara berkedip, adam itu menatap lekat-lekat rupa jelita Senjakala sembari merapalkan doa dan puji-pujian tentang banyak hal. Rindu yang tebal menjadikan lidah teramat kelu. Anggukan sekilas dan senyuman kecil kemudian diberikan Tenggara sebagai respons.

Tenggara tak sama sekali melempar tanya. Padahal jelas-jelas Senjakala datang sebagai pengganti Purnama. Kencan buta ini pun diketahui bukan sembarang pertemuan karena Tenggara adalah laki-laki pilihan kedua orang tua Purnama.

Usai mengambil kopi pemberian Senjakala, Purnama menginisiasi untuk lekas masuk ke dalam museum. Tiada satu insan pun yang berani membuka suara duluan. Senjakala mengedarkan pandang demi memantau lukisan-lukisan yang ada. Di sisi lain, Tenggara terlihat merenung guna menyortir rasa dan kata yang hadir di relung hati.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu," kata Tenggara yang berdiri di samping Senjakala dengan netra terpaku pada salah satu lukisan bunga yang didominasi warna jingga.

"Iya, aku rasa sudah lebih dari lima tahun," balas Senjakala dengan posisi tubuh masih menghadap ke depan agar ia tak perlu bersemuka dengan persona di sampingnya.

"Pantas saja tadi kamu menawarkan aku caramel macchiato."
"..."
"You still remember my favorite coffee, Senja."
"Tenggara, I can explain."
"No, you don't have to."
"..."
"Jadi, kamu dan Purnama berteman?"
"We're best friends."
"So, you know aku dan Purnama akan bertunangan?"
"... No, I haven't heard anything about it."
"Now you know, and I'm sorry."
"What are you sorry for?"
"For giving up on us, Senja."
"Don't apologize if you can't change what you're sorry for."

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, Maret 02, 2022

536 ㅡ Ada apa dengan semesta?

Malam ini terasa sungguh sepi dan langkahku terpaksa terhenti.
Entah semua salahku sendiri atau semesta mempermainkanku lagi.

Malam ini rembulan turut bersinar teramat terang,
seolah-olah mengajak pikiranku terbang melayang.

Akankah suatu hari nanti aku benar-benar bisa menjalin kasih?
Akankah suatu hari nanti perjalanan ini menemukan tambatan hati?

Ada apa dengan semesta?
Jawab aku, bisa?

Semesta, namaku Tenggara.

Aku ingin bercerita, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin berbicara terang-terangan, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana merangkai kata yang aman. Sejatinya menumpahkan isi kepala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sesungguhnya menyuarakan setiap rasa tidak semudah menjawab pertanyaan. 

Sekarang aku sedang berlayar jauh. Sudah lewat sepekan aku berlindung di atas perahu kayu yang tidak henti-hentinya berkejar-kejaran dengan gulungan ombak di tengah laut. Harus aku sampaikan bahwa perahu ini menampung terlalu banyak insan yang dengan pongah menginvasi bilik pribadiku hingga aku merasa sangat kelabakan.

Awalnya aku pikir hanya aku saja yang akan mendiami perahu ini sebagai satu-satunya awak kapal tangguh. Ternyata di belakangku muncul ratusan perwira yang datang tanpa satu pun undangan dalam genggaman tangan. Mereka kerap menciptakan bising sampai saban hari aku dibuat pusing.

Mereka berdendang, tidak sama sekali peduli pada kapal yang kian terombang-ambing. Terlebih, tiap-tiap persona tidak pernah absen memanggil namaku, merangkul bahuku, dan mengajakku bergabung dengan mereka untuk menggaungkan tembang-tembang sukacita yang meriah. Aku harus apa? Ikut bernyanyi atau balik menyendiri?

Keramaian membangkitkan kekhawatiran di dalam diriku yang lebih gemar menyendiri. Terngiang di dalam benak tentang segudang tuntutan masa lalu yang ditempatkan pada kedua bahuku. Berat, rasanya sesak. Aku diminta melanjutkan kehidupan penuh ribuan susah dengan memangku nama kehormatan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk paham artinya. Aku disuruh berlayar ke sana kemari seorang diri.

Lagi-lagi di kala sunyi aku kembali teringat akan kewajibanku memenuhi segenap janji. Entah janji kali ini demi kebaikan siapa. Entah pelayaran kali ini menuju pelabuhan mana. Aku melayangkan sejumlah tanya kepada dersik angin yang sering sekali melantunkan nada-nada rindu tepat di telingaku, dan kepada debur ombak yang menyapaku dengan kencang seakan-akan siap menerjang badai bersamaku, juga tidak lupa kepada burung-burung hebat yang dengan asyik mengawal laju perahuku. Namun, meski aku telah berusaha menghadap semesta demi meminta pencerahan soal kelanjutan misi jiwa, sampai detik ini tidak kunjung aku temukan peringatan apa-apa. Aku belum mendapatkan jawaban yang aku damba.

Tentu ada sejumlah aksara semrawut yang belum benar mampu aku rangkai sedemikian rupa hingga nyaring di telinga. Masih ada secercah cahaya abu-abu di ujung sana yang belum benar sanggup aku gapai walau bantuan dari alam usai aku terima secara cuma-cuma. Terbiasa berlari tanpa siapa-siapa di sisi menjadikan aku fasih mendengar bahasa kalbuku sendiri.

Ada apa dengan semesta?

Tidak berkesudahan mempermainkan aku yang telah berjuang sekuat tenaga untuk bertahan hidup di tengah lautan kebimbangan. Tidak berbelas kasihan pada aku yang hanya ingin kebebasan sebagai hadiah atas semua penderitaan.

Di mana seharusnya aku berada?

Tidak tentu arah, tetapi aku tetap melangkah. Tidak pernah khawatir akan tenggelam, sebab aku sudah biasa bungkam. Apabila aku boleh berkata jujur, aku hanya ingin setiap perjalananku menjadi lebih berarti. Apabila semesta berkenan mendengar keluh kesahku, aku hanya ingin memiliki setidaknya satu hati yang menanti kepulanganku.

Untuk apa aku mengarungi samudra dan menjejaki benua?

Untuk mencarimu.
Untuk menemukanmu.

Kini jangan tutup telingamu. Kelak duduklah di sampingku. Jikalau kali ini terlewatkan, maka temani aku di perjalanan berikutnya. Aku selalu kuat dan jarang sekali takut, tetapi bolehkah nanti aku bersandar di pundakmu untuk sementara waktu? Semesta memang senang bercanda, tetapi aku percaya kita pasti akan berjumpa meski membutuhkan waktu lama.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, Maret 01, 2022

535 ㅡ Jemari.

Izinkan jemari-jemari ini bertautan
tidak hanya untuk berdoa;
melainkan juga untuk bersentuhan
dengan satu belahan jiwa.

Salam hangat,
Senjakala.