Jumat, April 30, 2021

230 ㅡ Jangan lupa selalu berbagi kebahagiaan.

Ingatlah, hidup bukan melulu soal pasangan.
Tidak perlu kecewa, tak miliki pegangan.

Kita diciptakan berpasang-pasangan,
jadi jangan lupa selalu berbagi kebahagiaan.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, April 29, 2021

229 ㅡ Seumpama gelas yang pecah.

Seumpama gelas yang pecah,
kepercayaan sudah tidak ada.

Jangan harap ada aku lagi;
karena aku sudah jauh berlari.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, April 28, 2021

228 ㅡ Jaga jarak aman, jangan sampai terluka.

Hari ini aku disadarkan,
bahwa aku harus jaga jarak aman.

Jangan gegabah pada cinta,
sebab pada akhirnya aku akan terluka.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 27, 2021

227 ㅡ Aku harap kamu tidak pernah merasakan kecewa dan patah yang sesungguhnya.

Teruntuk Senjakala (2031),

Teruntuk kamu,
Selamat berbahagia walau tidak denganku.

Hai, apa kabar?

Sudah lama tidak bersua, ya. Kamu masih sama? Tidak berubah?

Ah, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Kamu tidak lagi sama seperti dulu. Kamu ... sudah berubah.

Tanganmu sudah tidak lagi menggenggam milikku. Aku juga sudah tidak lagi berada di hatimu, walau di sudut sekali pun. Jadi, tidak seharusnya aku mempertanyakan perubahan dalam hidupmu.

Sejak terakhir kali kita berjumpa, aku membangun benteng pertahanan. Semua itu aku lakukan agar aku tidak perlu lagi berurusan dengan yang namanya cinta. Aku menutup pintu, tidak mempersilakan satu orang pun untuk masuk. Aku mengunci diri, memberanikan diri untuk berdiri sendiri. 

Namun, setelah aku kira, aku sudah biasa-biasa saja jika dipertemukan kembali denganmu, semesta buat itu jadi nyata.

Lucu, ya ... kita dipertemukan begitu saja, tanpa ada aba-aba. Oleh karena itu, hatiku yang sempat aku kira sudah siap, ternyata masih butuh waktu untuk merelakan dan melupakan.

Terlebih, kita dipertemukan di saat kamu sudah bahagia.

Jika kamu bertanya tentang hatiku, aku hanya bisa menjawab: Aku juga sempat bertanya kepada Tuhan, kenapa semua orang yang pernah menyayangi aku, begitu mudah melupa dan menemukan yang baru?

Kali ini, izinkan aku yang bertanya, boleh?

Mengapa kamu cepat sekali melupa? Mengapa kamu buat aku merasa seakan aku sangat mudah dilupakan? Mengapa semudah itu kamu menemukan seseorang yang lebih baik dariku? Mengapa bisa-bisanya kamu bahagia duluan daripada aku?

Biarkan aku egois, biarkan aku menangis. Aku ini terpenjara sejak kita berpisah, tetapi kamu dengan enaknya berusaha mencari seseorang baru untuk menggantikan aku.

Kalau boleh jujur, aku tidak terima. Aku sangat kecewa, semudah itu kamu genggam tangan yang baru. Semudah itu, kamu peluk dia yang baru. Semudah itu, kamu berusaha menulis kisah yang baru.

Sedangkan aku? Aku masih bergulat dengan pikiranku sendiri untuk mencari cara melupa yang sebenar-benarnya. Aku masih berusaha menemukan seberkas cahaya yang setidaknya bisa menarik diriku keluar dari benteng pertahanan.

Namun, aku tidak terburu-buru. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, aku jalani agar aku bisa berdiri sendiri dengan lebih berani. Tapi, berbanding terbalik dariku, kamu dengan cepatnya sudah memulai lembaran baru dengan kesayangan yang baru.

Menurutmu, bagaimana perasaanku? Ya, aku memang bukan siapa-siapa lagi. Tapi aku pernah jadi bagian dari masa lalumu. Seseorang yang terluka demi mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya kepadamu yang saat itu masih sangat keras kepala.

Semoga kisahmu kali ini tidak perlu berdarah untuk bisa bersama. Semoga jalanmu kali ini tidak perlu ada aku yang lainnya untuk menyadarkanmu bahwa kesabaran ada batasnya.

Semoga tidak ada lagi air mata yang menjadi teman kala sunyi menyapa. Semoga kata Sayang yang kamu ucapkan padanya, lebih besar maknanya dari ketika bersamaku. Semoga tidak ada lagi perpisahan yang buat kamu kehilangan.

Ungkapan hati ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak memintamu untuk mengasihani aku, atau meminta kamu kembali padaku. Aku hanya ingin menyampaikan kekecewaanku atas apa yang terjadi.

Setidaknya, aku tahu, kamu tidak benar-benar serius. Aku tahu, kamu semudah itu melupa. Ah, atau aku yang semudah itu terganti?

Sama saja.

Mungkin aku yang banyak kurangnya. Mungkin aku yang banyak lelahnya. Mungkin aku memang seharusnya dilupakan. Mungkin aku memang seharusnya tidak pernah mencintai siapa pun. Aku yang salah, karena sudah pernah menaruh harapan di pundakmu yang sebenarnya tidak pernah paham apa arti berjuang bersama. Aku yang salah, karena sudah pernah berusaha mempertahankan kamu yang ternyata terlalu mudah mencinta dan melupa.

Biarkan ini menjadi pelajaran untukku, agar tidak lagi keliru ketika dihadapkan pada orang-orang yang serupa dan kata cinta yang diungkapkan dengan mudah. Semoga aku, kamu, dia—setiap dari kita berbahagia.

Lagi-lagi aku pergi dengan kecewa yang bertubi, di saat aku hampir hidup lagi. Mungkin, aku memang butuh luka yang lebih banyak untuk bisa bahagia. Atau, mungkin aku butuh berhenti sejenak dari bisingnya kata cinta yang selalu buat aku kecewa.

Sudah saatnya aku berhenti menjaga perasaanmu, karena kamu tidak melakukan hal yang sama. Sudah saatnya aku berhenti menyenangkan diri dengan mengatakan; kamu paling bahagia ketika bersamaku. Sudah saatnya aku berhenti melukai diri dengan menunggu kehadiranmu untuk mengatakan; kamu merindukan aku.

Kini aku sudah merelakanmu pergi, karena aku juga akan berjalan jauh dari kehidupanmu. Aku tidak akan lagi bertegur sapa, menanyakan kabar, dan terlebih, aku tidak akan lagi memikirkanmu barang sejenak.

Biar aku menenangkan hati untuk masa depan yang lebih baik. Biar aku menyimpan segala kenangan yang tidak lagi berarti untuk kita. Biar aku meninggalkan semua luka yang sering buat tangis jatuh tanpa sengaja.

Tenang, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku ucapkan; selamat berbahagia. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap kamu tidak pernah merasakan kecewa dan patah yang sesungguhnya.

Dari Senjakala (2021).

Senin, April 26, 2021

226 ㅡ Aku, pandai terluka, susah melupa, dan tidak bijaksana dalam cinta.

Teruntuk Senjakala (2031),

Beberapa hari belakangan ini, rasanya aku kembali mengingat memori yang sudah lama terlupakan. Aku sengaja melupa, agar tidak jatuh lagi ke luka yang sama. Bahkan, aku sempat membangun benteng pertahanan selama enam bulan terakhir, agar tidak ada lagi air mata yang mengalir basahi wajah.

Namun, semua itu sia-sia ketika semesta mempertemukan aku kembali dengan dia yang pernah mampir, membuahkan kata hampir yang pada akhirnya hanya buat hancur. Aku tidak pernah membayangkan, kami bisa dipertemukan lagi semudah ini. Aku tidak pernah menduga, kami bisa mendengar suara masing-masing semudah ini. Aku tidak pernah merasakan seingin hancurnya seperti sekarang ini sebelumnya.

Bohong, memang ... kalau aku bilang sudah lupa. Tetapi jujur saja, aku masih mengingat semua kenangan manis yang membekas di hati, pula memori pedih yang selalu buat hati menangis. Ada sedikit perasaan senang, ketika aku bisa mendengar suaranya lagi. Ada sedikit perasaan lega, karena sudah bisa bersikap biasa-biasa saja.

Tapi, salahkah jika aku masih merindu?

Aku masih rindu dengan ucapan selamat tidur yang setiap malam dia sampaikan padaku. Aku masih rindu dengan panggilan Sayang yang dia bubuhkan di akhir kalimat. Aku masih rindu dengan segala bentuk gerakan kecil yang dia lakukan untuk menarik perhatianku.

Aku rindu harum tubuhnya. Aku rindu pelukan hangatnya. Aku rindu kecupan di kening yang dia lakukan setiap merindukanku.

Bagaimana aku bisa lupa, jika semua itu masih berputar di kepalaku sampai sekarang?

Bagaimana aku tidak membangun benteng pertahanan, jika dia begitu menyayangi aku kala kita masih bersama?

Namun, kali ini harus aku sampaikan; semesta pertemukan aku untuk membuat aku kembali menguatkan benteng pertahananku, sebab selama kami dipertemukan kembali, aku mulai lengah. Aku mulai dengan tidak bijak mempersilakan dia untuk lagi-lagi memorak-porandakan hatiku.

Semua hal manis yang dia lakukan, kini sudah menjadi kenangan. Bahkan, tangannya yang dulu menggenggam erat milikku, sudah berpindah menggenggam tangan perempuan lain. Aku yakin, pasti lebih erat dari ketika dia bersamaku.

Hanya saja, aku merasa bodoh. Beberapa hari ini, aku sempat gundah, memikirkan berbagai hal yang tidak berarti. Kini, aku disadarkan semesta dengan kenyataan, bahwa dia sudah bahagia.

Sungguh, aku kecewa. Dia tidak pernah tahu seberapa dalam aku terjatuh, seberapa sakit aku terluka, dan seberapa jauh aku melangkah untuk tidak lagi mengenal cinta sejak kepergiannya.

Bagaimanapun, aku hanya bagian dari masa lalu yang harus dilupakan secepat mungkin. Iya, bukan?

Bagaimanapun, aku hanya seorang perempuan yang pandai terluka, susah melupa, dan tidak bijaksana dalam cinta.

Hari ini aku banyak menangis. Air mata mengalir tanpa permisi, karena badai hati mulai berkumandang; mengatakan tidak ingin lagi berjuang.

Jika diperbolehkan sampaikan beberapa kata perpisahan, izinkan aku menangis untuk terakhir kalinya sebelum aku kembali bangkit dengan lebih tegar.

Dari Senjakala (2021).

Minggu, April 25, 2021

225 ㅡ Sudah terganti, harus apa lagi?

Teruntuk Senjakala (2031),

Malam ini, aku merasa sedih, sendiri, dan lupa diri.

Bolehkah aku bercerita tentang luka yang masih belum sembuh, dan kesepian yang masih melanda hatiku yang seharusnya bahagia? Bolehkah aku melepaskan kesedihanku padamu? Bolehkah aku menyatakan, bahwa aku masih terluka dan aku tidak sanggup berjalan lagi? Bolehkah aku beristirahat sejenak untuk pulihkan hati?

Aku tidak punya siapa-siapa untuk berkeluh kesah. Mungkin ada yang bersedia mendengarkan, tapi rasanya tidak akan sama seperti bagaimana aku membuka hatiku padamu. Jadi, izinkan aku bercerita dengan air mata mengalir. Perkenankan aku untuk memperlihatkan kelemahanku. Perkenankan aku yang selalu ucapkan kata semangat, kini menangis di pelukanmu. Biarkan aku sejenak merasa lemah.

Jujur, aneh rasanya, ketika dipertemukan kembali dengan seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku dengan tawa. Dulu sedekat nadi, kini sejauh matahari. Aku tidak berani bersuara, pun tidak berani menyapa. Aku takut. Takut luka yang belum sembuh dan rasa yang aku simpan kembali meluap bagai petasan. Aku dan dia tidak akan pernah bisa kembali menyatu seperti dulu.

Namun, iya, aneh rasanya, ketika aku temukan sepertinya ada sosok aku yang baru di sampingnya. Aku yang dulu paling mengerti dia, kini ada yang menjadi seseorang yang paling mengerti dirinya juga. Aneh, rasanya aneh. Ini kali pertama aku merasakan ini. Jadi, jangan ucapkan kata apa pun, karena aku hanya ingin bercerita.

Aku yang dulu menjadi seseorang yang melindunginya di dalam permainan, kini dia sudah miliki seseorang yang baru. Seseorang yang bersedia mati untuknya, walau dulu aku juga begitu. Tapi kamu tahu, tampaknya perjuanganku dulu hanya sia-sia, karena aku hanya tinggal dalam masa lalunya saja. Bukan masalah, setidaknya aku pernah hidup di dalam hatinya. Tidak apa, setidaknya aku pernah menjadi bagian dari rasa yang tersimpan dalam memori hidupnya.

Aku hanya bingung. Tidak apa bukan, jika aku merasa aneh? Awalnya hanya aneh saja, tapi semakin lama rasanya semakin sedih. Bukan soal aku ingin kembali menjadi seseorang yang ada di sampingnya, hanya saja rasanya sedih karena semua hanya tinggal memori. Aku sedih, karena aku sudah terganti dan hanya menjadi memori. Aku hanya menjadi salah satu serpihan memori di masa lalu yang harusnya dilupakan.

Ketika perhatian yang dulu menjadi milikku, kini bukan lagi tentang aku.
Ketika candaan yang semula diperuntukkan bagiku, kini bukan lagi untuk aku.
Ketika pemeran utamanya seharusnya aku, kini bukan lagi aku yang diutamakan.

Aneh, rasanya. Jadi, ini rasanya patah lagi untuk kesekian kali. Ini rasanya ketika benteng pertahananku hancur sehancur-hancurnya untuk kesekian kali. Ini rasanya hanya hidup di masa lalu seseorang yang pernah menjadi harapan dan masa depan. Kini, aku sadar diri, bahwa aku sudah terganti.

Jadi, biarkan aku merasa lemah, dan izinkan aku untuk melupa untuk sementara.

Dari Senjakala (2021).

Sabtu, April 24, 2021

224 ㅡ Yang putus, kandas?

Yang putus, kandas.
Katanya.

Ketika lama sudah tak pernah bersua,
kini kembali dipertemukan semesta di ruang yang sama.

Aku belum benar-benar lupa,
masih berpura-pura lupa.

Hai, apa kabar? Lama tidak berjumpa. Bagaimana keadaanmu di sana? Sudahkah kamu temukan aku yang baru? Atau kamu masih mencari seseorang yang bisa gantikan aku di dalam hidupmu.

Klise.

Tidak, bukan itu yang aku katakan saat setelah sekian lama, akhirnya kami berjumpa lagi. Aku hanya terdiam, takut salah bicara. Aku hanya membisu, takut kata rindu meluap di luar kemampuanku. Jadi, tak ada satu pun kata salam yang aku ucapkan saat kami kembali dipertemukan oleh semesta di ruang yang sama.

Lucu, ya. Selama ini aku berusaha menyibukkan diri, berharap tidak perlu lagi tahu soal apa pun tentang kenangan dan patah sepatah-patahnya yang pernah aku rasakan. Aku berusaha menguatkan diri dengan melupa yang tidak benar-benar aku lakukan, tapi semesta hancurkan benteng pertahananku dengan begitu mudah. Seketika kepercayaan diri untuk melangkah pergi, terhenti karena memori masa lalu kembali merengkuhku.

Aku tidak tahu, dan sesungguhnya tidak perlu tahu tentang diriku di dalam hatinya, karena cerita kami sudah usai. Tapi satu hal yang aku tahu, perasaan ini sungguh di luar logika. Aku tidak mengerti arti rencana semesta yang begitu di luar dugaan. Benteng pertahananku hancur, dan sekarang aku tidak tahu harus berjalan ke mana.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 23, 2021

223 ㅡ Teman jiwa sudah hidup di dalam diri satu sama lain.

Teman jiwa tidak akan bertemu di suatu tempat;
pada akhirnya, sebab selama ini...
mereka sudah hidup di dalam diri satu sama lain.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, April 22, 2021

222 ㅡ Kamu akan menjadi sangat istimewa.

Aku tersenyum saat kita pertama kali bertemu,
karena aku tahu suatu hari nanti;
kamu akan menjadi sangat istimewa.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, April 21, 2021

221 ㅡ Semuanya jatuh di tempat yang seharusnya.

Aku ingat bagaimana kamu tersenyum padaku;
saat pertama kali kita bertemu,
dan semuanya jatuh di tempat yang seharusnya.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 20, 2021

220 ㅡ Pertemuan penting di bawah langit dan di atas bumi.

Pertemuan penting di bawah langit dan di atas bumi;
sebenarnya sudah diatur oleh para jiwa,
jauh sebelum tubuh mereka bertemu.

Salam hangat,
Senjakala.

Senin, April 19, 2021

219 ㅡ Mungkin kita berasal dari bintang yang sama.

Rasanya seperti sebagian kecil dari jiwaku;
telah mencintaimu dari sejak awal kita diciptakan.

Mungkin kita berasal dari bintang yang sama.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, April 18, 2021

218 ㅡ Aku, di tengah orang-orang yang saling membagikan kehangatan.

Aku memeluk hati yang mendingin dan membeku;
di tengah orang-orang yang saling membagikan kehangatan.

Sementara itu, semua orang tertawa dalam waktu;
yang akan diingat sebagai malam yang bahagia.

Salam hangat,
Senjakala.

Sabtu, April 17, 2021

217 ㅡ Terkurung dalam ombak, terpenjara dalam waktu.

Terkurung dalam ombak, terpenjara dalam waktu.
Aku ingin mengabadikan ombak yang pecah menjadi buih putih.
Katakan dingin dan kamu tidak tahan lagi, maka aku akan melepasmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 16, 2021

216 ㅡ Tolong berikan aku waktu untuk sendirian.

Tolong sesekali berikan aku waktu untuk sendirian.

Kalau tidak ada waktu untuk kuhabiskan sendirian,
aku tidak bisa mengisi kembali tenagaku.

Aku harap kamu baik-baik saja saat aku tak ada di sisimu.

Salam hangat,
Senjakala.

Kamis, April 15, 2021

215 ㅡ Aku mengingat suatu masa melalui rasanya.

Terkadang, aku mengingat suatu masa melalui rasanya.
Ada masa dan rasa yang bisa saling mewakili saat-saat itu.
Hari-hari ketika aku bersama dengan orang-orang baik.

Salam hangat,
Senjakala.

Rabu, April 14, 2021

214 ㅡ Aku tidak marah, hanya kecewa.

Dunia ini adalah dunia yang dipenuhi cinta.
Cinta dengan mudah bisa ditemukan di mana-mana.

Berapa banyak tunas bunga yang tumbuh pada musim semi?
Malam ini, berapa banyak hati yang akan memakai topeng cinta?

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 13, 2021

213 ㅡ Aku hanya perempuan biasa.

Teruntuk Senjakala (2030),

Aku pikir, aku sudah bahagia seutuhnya. Aku pikir, ada yang akan mencintai aku sebesar aku mencintai diriku. Aku pikir, aku tidak akan lagi menitikkan air mata. Nyatanya, aku masih mempertanyakan apa itu rasa yang sesungguhnya.

Aku mengira, aku sudah menemukan yang terbaik. Ternyata aku masih saja menangis karena sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku tidak berubah sedikit pun; sejak awal kita bertemu sampai detik ini, tetapi kamu lukai aku tanpa sengaja.

Aku tahu, itu pasti tidak kamu sengaja lakukan. Meski begitu, hati ini perih dan air mata pun lolos begitu saja tanpa permisi. Ini sudah kedua kali aku merasa begitu sedih hingga akhirnya air mata menemani lantunan lagu yang sedang aku dengarkan saat ini.

Aku tidak ingin menyerah pada keadaan. Aku hanya sedikit menyayangkan; mengapa kamu sering membuat aku mempertanyakan apa itu rasa yang sesungguhnya. Suatu hari, kamu bisa sesayang itu padaku. Lalu kamu diamkan aku keesokan harinya.

Aku punya hati yang harus kamu jaga. Aku punya jiwa yang mendambakan sebuah rasa. Saat ini aku kecewa dengan kebiasaanmu menyalahkan aku di saat keheningan menghampiri. Saat ini aku sedih karena kamu buat aku merasa tidak berarti.

Aku jaga perasaanmu. Aku tidak pernah ingin melukai hatimu walau sedikit. Tapi terkadang kamu seenaknya lakukan apa pun yang kamu inginkan kepadaku. Salah satunya, kamu lukai aku dengan kata-kata.

Aku mengalah; karena aku pikir yang kamu katakan memang adalah sebuah kenyataan. Jadi, aku tidak pernah ambil pusing. Namun, semakin lama rasanya aku semakin kecewa dengan situasi yang tiba-tiba kamu ciptakan; seakan aku selalu salah.

Aku bukan marah; aku hanya sedikit kecewa dengan rasa sayang yang kamu agungkan. Aku bukan menyerah; aku hanya sedikit sedih karena terkadang kamu buat aku pertanyakan apa itu kasih. Aku bukan tidak sayang; aku hanya menyayangkan air mata ini.

Aku tidak ingin berbicara seolah aku yang paling berkorban, sebab menggunakan kata berkorban sendiri sudah tidak tepat dalam suatu hubungan yang menyangkut rasa di dalamnya. Aku hanya ingin bicara soal aku yang senantiasa ada di sisimu; mendampingimu.

Di saat aku mengantuk dan ingin tidur saja, aku luangkan waktu untuk menemanimu bermain. Apa yang aku terima? Kamu diamkan aku karena aku tidak bermain dengan baik. Garis bawahi, aku bukan pemain terbaik.

Aku merasa kamu terlalu memaksakan kehendakmu padaku; seperti aku harus bermain dengan sempurna. Aku harus bisa menembak dengan jitu. Aku harus bisa menyelamatkanmu di waktu yang tepat sebelum musuh datang. Aku tidak boleh mati.

Tetapi kamu lupa, bahwa aku bukan pemain terbaik sedari awal. Aku bahkan bermain permainan ini hanya untuk menemanimu. Jadi, sebenarnya kamu salah besar, jika ekspektasimu meminta aku menjadi seorang penembak nomor satu dari seratus pemain.

Aku tidak pernah mengeluh saat kalah, pun tidak pernah terlalu bahagia saat menang. Aku tidak pernah sengaja menyakiti atau melukai hatimu. Aku hanya perempuan biasa yang selalu berusaha menjadi seorang pendamping yang baik untuk pasangannya.

Dari Senjakala (2020).

Senin, April 12, 2021

212 ㅡ Aku tidak marah, hanya kecewa.

Aku tidak marah;
aku hanya kecewa.

Aku tidak menyerah;
aku hanya lelah.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, April 11, 2021

211 ㅡ Aku tak akan menyerah pada cinta dan keadaan.

Teruntuk Senjakala (2030),

Jejak langkah yang kamu tinggal mendewasakan hatiku. Jejak memori yang kamu beri mengajarkan arti cinta bagiku. Temukan dia yang jauh lebih baik dariku. Temukan dia yang bisa beri kamu kebahagiaan yang utuh. Aku pergi, jangan rindu.

Sebetulnya aku sudah tak lagi ingin bicara soal cinta. Kata semua, itu luar biasa. Kata aku, itu hanya bualan semata. Belajar dari kesalahan yang lalu, aku tak ingin sakit melulu. Seharusnya cinta buat hati bahagia, tapi nyatanya aku selalu merana.

Terlanjur salah menerka, dipermainkan mereka, hingga berujung luka—sungguh aku tak ingin hadapi itu lagi. Biar aku yang pergi, asal aku bisa bebaskan hati. Terlalu lelah memperjuangkan, kini aku menghendaki ada yang berusaha perjuangkan aku.

Memori yang kamu beri menjadikan aku seseorang yang penuh ambisi. Cinta yang kamu bagi menjadikan aku seseorang yang lebih perasa. Walaupun tak semuanya indah, tapi aku pernah sebahagia itu. Terima kasih untuk semua kenangan yang pernah membuatku nyaman.

Aku hanya ingin sampaikan satu hal, jikalau nanti kamu menyesal dan ingin kembali padaku, tolong jangan cari aku apa pun yang terjadi, sebab aku tak akan menerimamu kembali. Kita tak akan kembali ke awal, sebab aku sudah berusaha menjadikan luka ini samar.

Menjadi dewasa, kamu perlu berkaca dan belajar untuk setia pada satu cinta. Aku beri kamu ruang untuk memahami waktu agar kamu tak mengulang rindu yang hilang makna. Aku tak ingin kamu jadi alasan air mata jatuh begitu deras. Aku tak ingin kamu sakit.

Aku hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik karena kamu juga baik. Aku hanya ingin kamu mendapatkan yang dewasa karena kamu pun dewasa. Aku hanya ingin kamu dicintai sepenuh hati karena kamu hujani dia dengan cinta, bukan air mata. Aku hanya ingin kamu bahagia.

Biarlah aku menjadi alasan kamu berubah. Biarlah kehadiranku selama ini menjadikan kamu seseorang yang percaya bahwa cinta itu ada. Biarlah kepergianku menjadikan kamu seseorang yang tak lagi sakiti hati. Biarlah hatiku yang patah menjadi pelajaran bagimu.

Pelajaran untuk mengerti tentang rasa dan air mata yang jaraknya sungguh dekat. Jangan patahkan hati siapa pun yang kamu sayang. Jangan jatuhkan air mata dia yang kamu puja. Jangan buat tangisan menjadi suatu hal biasa yang harus dilewati setiap insan.

Tidak semuanya bersedia untuk selalu kembali ke awal setelah tiga kali kamu patahkan hatinya. Mungkin aku salah satu yang sebodoh itu, karena berulang kali hatiku remuk, dan aku masih memujamu. Biarlah hanya aku yang begitu. Cukup aku yang sesakit itu.

Tidak semuanya bisa kamu dapatkan dengan mudah; dengan hanya beri bunga dan ucapkan kata cinta. Mungkin aku salah satu yang terjebak pada teka-teki cinta yang kamu ciptakan. Cukup aku yang kamu lukai dengan sengaja. Cukup aku yang kamu patahkan hatinya dengan sadar.

Tidak bisa aku memaksamu untuk mencintaiku, sebab kamu tidak bisa memberikanku alasan untuk tetap bersamamu. Aku hanya ingin belajar untuk menjadi dewasa; di mana aku tak akan menempatkanmu di atas segalanya. Aku tak akan percaya lagi pada perubahan.

Kamu tidak berubah. Kamu tidak menjadi seseorang yang lebih baik ketika bersamaku. Jadi, aku melepasmu agar kamu bisa temukan dia yang lebih pantas untuk kamu perjuangkan. Aku membiarkanmu meninggalkan aku sebagai masa lalu agar kamu tahu rasanya merindu.

Mungkin, selama ini aku tidak membawamu menuju jalan yang lebih baik, walaupun aku sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Mungkin, selama ini kamu memang tidak memperjuangkanku dengan sekuat tenaga, sebab kamu cari aku hanya ketika butuh.

Aku sudahi semua ini, karena aku ingin kamu tahu; aku lebih dari itu. Aku layak untuk diperjuangkan, dan aku berjanji padamu; aku tak akan menyerah pada cinta dan keadaan. Mungkin aku dan kamu tidak akan menjadi kita, tetapi aku yakin aku bisa bahagia.

Dari Senjakala (2020).

Sabtu, April 10, 2021

210 ㅡ Temukan dia, tinggalkan aku.

Temukan dia;
yang lebih baik dariku.

Tinggalkan aku;
yang lelah perjuangkanmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 09, 2021

209 ㅡ Aku akan lari sejauh-jauhnya.

Teruntuk Senjakala (2030),

Selang tiga bulan setelah aku dan dia lepas kontak. Pesan baru hadir tanpa permisi. Sayangnya pesan itu tak datang dari orang baru. Dia lagi. Masih dia. Aku pandai membangun benteng pertahanan, sehingga saat dia datang lagi, bentengku sudah kokoh berdiri.

Bersikap biasa, aku tak terlalu memedulikannya. Aku tidak membuka diri. Aku tidak berani melanjutkan obrolan. Hanya seadanya aku balas pesan darinya. Walau begitu, beberapa hari bertukar pesan dengannya sudah membuat aku lagi-lagi lemah. Bodohnya aku.

Sampai suatu hari aku berjumpa dengan dua sahabatku sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah. Dua sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Kami sedekat itu. Aku tak menduga pertemuan kami membawa berita tentang dia. Dia yang ternyata sebrengsek itu.

Salah satu dari mereka membawa kabar tentang si dia yang sebenarnya tak ingin aku bahas dalam pertemuan ini. 

"Dia ingin memperbaiki hubungan dengan banyak orang. Jadi, dia mulai mengirimkan pesan kepada orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya."

"Dekat dalam arti apa?" tanya sahabatku yang lain.

"Dekat dalam arti pernah berteman. Setahuku tidak lebih dari itu, sebab sekarang dia sedang dekat dengan seseorang."

Aku hanya diam. Membisu saja, tak ingin timpali apa pun.

Sempat aku mengira seseorang itu adalah aku. Ternyata, bukan aku, melainkan teman satu sekolahku dulu. Teman yang pernah menjadi bagian dari kehidupan putih abu-abu milikku. Kedua sudut bibir tentu aku tarik hingga membentuk seulas senyuman tipis.

"Meskipun aku berteman dekat dengannya, dia tak pernah sekali pun cerita soal perempuan, sampai entah ada angin apa, kemarin saat aku pergi dengannya, dia ceritakan semuanya padaku."

"Mereka sudah sejauh apa?"

"Sudah cukup jauh, menurutku."

Aku masih memancarkan senyuman palsu; berharap tak ada yang sadari itu. Aku tak berani bicara; takut kembali membuka luka. 

"Mereka bertukar hadiah, pergi olahraga bersama, makan malam ulang tahun bersama, dan setiap hari mereka saling bertanya kabar."

Oh, begitu. Batinku menjawab pelan. Aku mulai meyakinkan diriku, bahwa aku sungguh mencintai orang yang salah. Aku sempat mencintainya, tetapi kini tekad sudah bulat, bahwa aku akan berhenti mencintai dia setulus hati.

"Sudah sejak kapan mereka bersama?"

"Sejak beberapa bulan ini. Mungkin sudah dua atau tiga bulan, tetapi mereka bertemu seminggu dua kali. Jadi, proses pendekatan mereka pasti cepat."

Ternyata angan yang aku lambungkan berujung sia-sia. Dia tak berubah. Hanya baik, tak berniat jadi milik.

Selama dia mendekati tambatan hatinya, dia juga mengirimkan pesan untukku. Sebenarnya aku tak paham. Apa gunanya dia melakukan itu? Apakah sengaja mempermainkan aku lagi dan lagi?

Nyaris menangis, maka aku menggigit bibir bawahku. Masih dengan senyuman.

Aku pulang dari pertemuan itu dengan senyuman pilu, sebab hari itu aku memutuskan untuk berhenti dipermainkan oleh dia yang hanya ingin singgah dan tak berniat untuk tinggal. Sungguh di luar dugaan, bahwa aku bisa mendapatkan pencerahan untuk berhenti.

Berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Berhenti mencintai dia yang hanya buat aku rugi. Berhenti menjadi bodoh karena aku pantas bahagia. Dia tidak sejahat itu. Hanya saja aku yang terlalu jahat mengartikan kebaikan hatinya padaku.

Aku yang jahat, sebab sejak awal hatinya memang tak ingin berlabuh. Aku yang jahat, sebab sejak awal aku yang mengartikan kebaikan hatinya sebagai cinta. Aku yang jahat, sebab kini usai semua, aku yang terluka dan menyalahkan dirinya. Aku sejahat itu.

Walaupun begitu, aku rasa tidak apa-apa untuk menjadi sedikit jahat, sebab hidup itu harus seimbang, 'kan? Setengah kebaikan, dan setengahnya lagi biar saja menjadi dosa. Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin sampaikan, bahwa aku sudah selesai berjuang.

Aku berhenti mencari. Aku berhenti menghampiri. Aku berhenti mencinta. Aku berhenti memperjuangkan segalanya. Sekali-sekali, aku juga ingin jadi dia yang kamu cinta dan kamu kejar. Jadi, kali ini aku akan lari sejauh-jauhnya agar tak ada yang menemukanku.

Dari Senjakala (2020).

Kamis, April 08, 2021

208 ㅡ Patah untuk ketiga kalinya.

Teruntuk Senjakala (2030),

Aku sempat berpikir dia berbeda. Walau pernah terluka karena dirinya, aku percaya manusia bisa berubah. Aku beri kesempatan, tetapi aku yang dipermainkan. Sudahi saja, sebab aku sudah lelah. Usaha sia-sia, tak ada guna.

Berulang kali aku terluka karena cinta. Tak juga jera, aku masih tak menyerah untuk mencoba. Aku tak ingin berhenti mencinta, sebab apalah aku tanpa hal itu. Mungkin aku sebodoh itu, sebab percaya dia juga mencintai aku. Percaya dia punya rasa yang sama.

Terlebih, aku percaya dia sudah berubah. Dia, bukan dia yang dulu pernah memberi luka di hatiku. Dia, bukan lagi pemain hati. Aku berusaha keras untuk memercayai keadaan tanpa perlu mengulas lebih jauh tentang dirinya, tetapi karena itu, aku dipermainkan.

Melalui tulisan ini, aku ingin sahabat-sahabat semesta belajar dari kebodohanku. Belajarlah dari sini, dan jangan sampai sebodoh aku.

Cinta tidak pernah buta, tetapi keinginan untuk memiliki yang begitu besar menjadikan manusia buta akan segalanya.

Hati pernah remuk seremuk-remuknya saat masih duduk di bangku sekolah. Cinta tak berbalas menjadi alasan hatiku patah. Bukan salah dia. Aku yang tidak bisa melihat bendera berwarna merah yang dia kibarkan untuk sengaja aku lihat.

Sebenarnya aku melihat, tetapi aku putuskan untuk terus menghujani dia dengan cinta, sebab aku percaya cinta yang aku miliki begitu tulus, sehingga apabila tak berbalas pun tak masalah bagiku. Lambat laun, aku lelah, sebab selama ini hanya cinta sendiri.

Ketulusan membutakan cintaku.

Seharusnya tidak perlu begitu. Cinta tak bersyarat memang ada, dan sungguh harus ditanamkan, tetapi tak ada cinta yang hanya dilakukan oleh satu orang. Cinta itu dua, bukan satu saja. Jadi, aku menyerah.

Usai memutuskan untuk pertama kalinya menyerah pada keadaan, aku tak berani bertanya kabar. Tak sanggup bertemu, sebab tak ingin kembali berharap. Keadaan memisahkan aku dan dia. Semesta sampaikan secara tersirat, bahwa kami tak seharusnya bersama.

Patah hati pertamaku sungguh menyakitkan. Setiap malam hujan turun membasahi wajahku, dan hatiku hanya bisa menjerit. Sesakit itu. Butuh sedikitnya empat tahun bagiku untuk menyimpan memori bersamanya di lubuk hatiku yang terdalam; menyudahi semua cerita.

Tak pernah sekalipun aku menyalahkan dia. Aku paham betul, selama ini dia hanya berusaha untuk tidak mematahkan hatiku. Dia tak ingin aku patah, sehingga dia terus bermain bersamaku. Bermain dengan segala hal tentang cinta yang sebenarnya tak ada di sana.

Aku berterima kasih, sebab alasan itu seolah mengatakan dia memang pernah peduli padaku.

Mungkin selama ini aku yang terlalu mudah jatuh, terlalu cepat beri hati, terlalu rapuh untuk sadari rambu, dan terlalu tulus mengatasnamakan cinta kepada siapa saja.

Tembok pertahanan yang aku bangun selama empat tahun runtuh begitu saja saat dia datang sewaktu aku sangat membutuhkan dukungan.

Dia sampaikan dua kata yang lebih indah dari kalimat romantis sepanjang masa. “Selamat lulus,” katanya.

Aku merutuk dalam hati. Sumpah serapah yang selalu aku hindari, tiba-tiba lancar aku ucapkan dalam batin. Tak menyangka dia akan datang membawakan bunga. Aku lagi-lagi terlena karena kebaikannya yang entah nyata atau hanya tipu semata. Aku, kembali bodoh.

Aku ingat betul, waktu itu napasku tidak beraturan. Ekspresi cemas, senang, sedih, ragu, dan candu menjadi beberapa pilihan untuk aku tampilkan saat bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Seketika luka yang menyayat, tak lagi membuatku tersengat.

Aku memang sudah melupakan segala cerita manis dan pahit bersamanya yang pernah menjadi kisah cintaku, tetapi saat melihatnya hadir di hadapanku, aku percaya ada cerita baru yang menunggu. Tak ingin menduga, aku beranikan diri untuk melupakan lara.

Tersenyum saat mata kami bertemu. Tertawa saat cerita indah kembali dibuka. Tersentuh saat bunga beserta ucapan diberikan dia yang pernah sepenuh hati memiliki hatiku. Aku terlena. Lagi-lagi aku kembali memberikan hatiku untuk digenggam olehnya.

Seolah empat tahun yang aku lalui dengan penuh air mata tak berarti apa-apa, satu gerakan kecil seperti ini sudah membuatku jatuh lagi. Semudah itu. Jujur, aku sungguh lemah, jika sudah dihadapkan pada peluang untuk bersamanya. Selemah itu.

Bertukar pesan memang sudah biasa. Usai pertemuan pertama kami setelah sekian lama, setiap hari selalu ada pesan darinya. Walau awalnya aku sempat takut pertukaran pesan ini hanya berakhir satu hari saja, tetapi nyatanya berlanjut hingga satu minggu.

Hanya satu minggu yang dibutuhkan olehnya untuk merasa bosan dan melupakan aku. Tak ada pesan lagi setelah itu. Aku kecewa lagi. Aku runtuh lagi. Saat itu, aku sungguh merasa tidak pantas dicintai. Aku merasa tidak berani mencintai siapa pun.

Aku tak berani percaya pada arti dari ucapan manis. Aku berhenti mengharapkan makna cinta hadir ke dalam hidupku. Aku berdusta saat aku bilang aku baik-baik saja. Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku hancur. Aku sakit hati. Hatiku patah lagi.

Bodohnya, hatiku patah untuk kedua kalinya karena orang yang sama. Aku pikir dia berbeda. Aku pikir dia datang karena sudah berubah. Entah itu hatinya, entah itu caranya sampaikan kebaikan. Nyatanya, semua sama. Dia masih anggap aku bukan siapa-siapa.

Aku memang bukan siapa-siapa. Tak ada yang istimewa dari seorang Senjakala Merindu. Tak ada hal luar biasa yang pernah aku lakukan. Tak ada penghargaan yang pernah aku terima. Hanya ketulusan hati yang aku miliki, dan itu tidak cukup.

Tidak cukup untuk membuat hatinya berlabuh. Tidak berarti untuk membuatnya menoleh dan memandang masa depan bersamaku. Kekecewaan membuat aku berhenti percaya pada kaum adam. Aku tidak membenci, hanya saja memang ingin berhenti. Tak berani mulai lagi.

Aku menyerah. Tak ingin sakit lagi karena cinta. Tak ingin berdusta saat mereka bertanya ada apa. Sebab aku tak pernah ceritakan pada siapa-siapa, rasanya sesak di dada bisa buat aku mati kapan saja. Tak berani aku ceritakan. Tak berani aku terima makian.

Oleh karena itu, semua aku pendam sendirian. Semua cerita lalu yang kini kembali membuatku malu, aku kunci rapat-rapat dalam kotak kenangan yang aku tinggalkan di dasar laut dalam. Aku tidak akan beri dia kesempatan lagi untuk mempermainkan ketulusanku.

Namun, ucapan memang mudah saja dikatakan. Aku yang bodoh ini harus mematahkan hatiku yang sudah remuk dan tak berbentuk untuk ketiga kalinya. Sempat aku bertanya-tanya; apa salah dan dosaku di kehidupan lalu hingga berulang kali aku disakiti seperti ini.

Tak ada jawaban aku terima, sebab semua rencana Yang Maha Kuasa. Aku hanya bisa meyakinkan diriku bahwa aku lebih dari segalanya. Aku pantas dicintai. Aku pantas dihujani kasih sayang. Aku pantas diperjuangkan. Aku pantas dipedulikan. Aku pantas bahagia.

Dari Senjakala (2020).

Rabu, April 07, 2021

207 ㅡ Aku lagi yang terluka.

Aku pikir dia berbeda,
mungkin sudah berubah.

Nyatanya masih sama...
Aku lagi yang terluka.

Salam hangat,
Senjakala.

Selasa, April 06, 2021

206 ㅡ Terima kasih, Tuhan, untuk orang-orang baik dalam hidupku.

Teruntuk Senjakala (2029),

Hari ini banyak yang terjadi. Sejak kemarin sudah persiapkan segala sesuatu, tetapi nyatanya bibir masih saja menggerutu. Meski begitu, aku sungguh merasa Tuhan tak pernah tinggalkan aku. Aku adalah salah satu anak-Nya yang diberkati.

Semalam kurang tidur. Aku pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengatur seluruh rangkaian laporan yang harus aku kumpul besok.

Semalam suntuk aku bekerja dengan giat demi hari ini ke kampus untuk mencetak ratusan lembar kertas yang akan menentukan nasibku.

Sebab kami adalah pejuang gelar Sarjana Desain, maka urusan tulis-menulis sebetulnya tidak terlalu penting. Namun, ikuti kurikulum yang ada, kami harus tetap sibuk keluar-masuk ruangan bimbingan untuk benahi laporan yang sebenarnya bisa diungkapkan saja saat sidang.

Penjelasan mengenai kaidah pembuatan laporan pun minim. Koordinator program studi hanya adakan briefing untuk mengumpulkan para mahasiswa saja. Selain itu, detail terkecil penulisan harus dilihat di mana?

Bisa buka di pedoman terbaru, kata Ibu Koordinator.

Faktanya, pedoman diunggah mendekati Hari-H pengumpulan. Memang kita bisa langsung mengubah saat pedoman diterima? Kita punya kehidupan juga, bukan robot depan komputer.

Sudah bergadang kerjakan gambar kerja, kini harus dipusingkan dengan laporan semata.

Tenang.
Harus sabar.

Apalagi ditambah kedua orang tua yang selalu tanyakan kapan selesainya tugas yang dikerjakan sedari beberapa hari lalu. Jua pertanyaan; masih banyak tugasnya sampai kita sekeluarga tidak bisa ke mana-mana?

Iya, salah memang, apabila pertanyaan itu dibalas dengan amukan yang menyuarakan kekesalan dikarenakan tugas yang tak kunjung selesai dikerjakan, tetapi tak mampu hati menyimpan perasaan iri pada mereka yang bisa sesuka hati pergi ke mana pun mereka kehendaki.

Setelah jawab dengan marah-marah, di penghujung hari, aku selalu dirundung pilu, sebab merasa buruk sudah berlaku demikian pada kedua orang tua. Meski begitu, karena mereka pula aku bisa bertahan; berdiri sendiri hingga hari sidang tinggal menghitung hari.

Oleh karena itu, dengan perasaan bangga pada diri yang sudah berhasil selesaikan misi pembuatan laporan, aku hampiri Mas Percetakan yang semalam sudah pasti terima kiriman tugas dariku, yaitu untuk mencetak laporanku sebanyak empat eksemplar. Namun, nihil.

Sesampainya aku di sana, laporan yang aku kirim semalam belum juga ada bentuk fisiknya. Aku dibuat cukup menggigit bibir untuk menahan kekesalan yang sempat nyaris memuncak. Walau ingin marah, aku masih bisa menahannya, sebab tahu betul mungkin aku juga salah.

Mungkin aku mengirimkan tugasku di saat kesibukan melanda, dan karena aku butuh tenaga Mas Percetakan, aku menahan diri. Aku hanya berdoa kepada Tuhan agar laporan sebanyak empat eksemplar bisa selesai dicetak sebelum pukul lima sore. Aku tak ingin pulang malam.

Berharap dalam hati, pun bersamaan dengan itu, doa aku ucap dalam diam. Aku tersenyum kepada Mas Percetakan dan berkata, "Mas, tolong saya, ya. Saya mau selesain semua tugas saya hari ini. Jadi, saya mau sekalian fotokopi lalu jilid setelah ini."

Tak ingin memaksa Mas Percetakan untuk buru-buru, tetapi dia harus tahu bahwa aku hanya punya sedikit waktu. Secara halus saja, sebab tak pandai diri ini memaksa. Permintaan tolong itu disambut baik oleh Mas Percetakan. Diusahakan adalah jawaban terbaik.

Aku berterima kasih kepada Mas Percetakan saat laporanku yang dicetak sebanyak empat eksemplar sudah berada dalam genggaman. Aku tersenyum cerah, sebab kini tinggal fotokopi dan memberikan laporan itu kepada Mas Penjilidan. Ternyata aku salah.

Aku melirik isi laporan teman satu angkatanku yang juga sedang fotokopi. Dia datang duluan, jadi aku menunggu giliran. Aku melihat isi lampiran yang dia berikan di dalam laporan, dan seketika aku menepuk jidat. Aku melupakan satu hal krusial.

Terburu-buru aku kembali menghadap Mas Percetakan, sebab masih ada keperluan yang datang mendadak. Padahal niat sudah ingin lanjut ke tahap yang lebih tinggi, ternyata kembali lagi ke awal. Aku mencetak ulang beberapa halaman untuk dijadikan lampiran.

Mas Percetakan membantuku dengan sabar. Dia tak menutup toko dulu, dan memberikan dorongan support yang luar biasa. Dia berkata tinggal sebentar lagi aku akan lulus. Jadi, aku diminta bersabar kalau harus bolak-balik tempat cetak, fotokopi, dan jilid.

Terima kasih banyak untuk Mas Percetakan dan teman satu angkatan yang tidak aku ketahui siapa namanya. Kalian sudah membantuku untuk menjadi selangkah lebih baik dalam mengerjakan tugasku. Aku sangat berterima kasih kepada teman satu angkatanku itu.

Dengan melirik laporan miliknya, aku jadi tahu apa yang harus aku tambahkan dalam lampiran. Untung saja aku membawa datanya juga, sebab laptop aku tinggal di rumah karena berat. Dengan bantuan Mas Percetakan, laporanku selesai sebelum pukul lima sore.

Walupun masih ada perubahan setelah percetakan pertama, aku masih saja menyelesaikan tugasku sebelum pukul lima sore. Aku sangat bersyukur. Setelah dari tempat percetakan, aku langsung menuju tempat fotokopi.

Di tempat fotokopi, aku juga dibantu oleh mereka untuk mempercepat proses fotokopi. Mereka langsung mengkopi lembar yang aku minta dan sebelum pukul enam, laporanku sudah siap dijilid.

Entah bagaimana, rasanya aku tak mampu ungkapkan perasaanku saat itu.

Aku berterima kasih. Aku bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan orang-orang baik ke dalam hidupku. Teguran kecil, gejolak perasaan, keinginan untuk berhenti di sana; semua diberikan dalam bentuk ujian. Meski begitu, Tuhan tidak pernah tinggalkan aku.

Tuhan memberikan ujian kepadaku, tetapi Dia juga menuntunku untuk menjadi lebih baik. Jika aku tidak bisa melihat hal-hal baik yang sudah Dia siapkan kepadaku melalui ujian ini, mungkin aku sudah putus asa dan menyerah, tetapi puji Tuhan, aku melihat semuanya.

Terima kasih untuk ujian hari ini. Terima kasih karena dengan ini, aku tahu bagaimana rasanya bersabar dan terus melangkah. Aku tahu bagaimana harus berjalan di kala kebingungan melanda. Aku tahu seberapa Engkau mencintai aku. Aku tahu Engkau selalu menyertai aku.

Dari Senjakala (2019).

Senin, April 05, 2021

205 ㅡ Berhenti mengeluh.

Percaya saja,
Tuhan punya rencana.

Kamu hanya perlu...
berhenti mengeluh.

Salam hangat,
Senjakala.

Minggu, April 04, 2021

204 ㅡ Jangan goyah, apalagi menyerah.

Teruntuk Senjakala (2029),

Masih banyak dari mereka yang memperjuangkan hidup dengan air mata tanpa mengetahui, bahwa Tuhan menciptakan mereka sempurna. Melalui ini, aku ingin sampaikan pesan semesta, bahwa kita semua pantas bahagia.

Suatu hari, kala mentari masih berdiri menyinari seisi bumi, aku dan seorang kawan melaksanakan janji temu. Dengan alasan rindu yang menggebu, kami bertemu tanpa ragu. Sesampainya di tempat yang dituju, tampaknya ada sesuatu yang buat kawanku ini merenung.

Apakah itu?

Entahlah, aku tak berani bertanya, sebab takutnya hal-hal yang bersifat pribadi sedang mengisi pikirannya. Namun, nyatanya keadaan tak kunjung membaik. Malah semakin buat aku panik. Aku pun akhirnya mendesak; minta dia bagi cerita.

Ternyata, ini semua gara-gara aplikasi pencarian jodoh yang dimulai dari huruf 't' dan berakhir dengan huruf 'r'. Memang salah aku, karena aku ajak dia mencoba peruntungan dengan main aplikasi itu, tetapi hanya main, harusnya tak perlu dipikirkan terus.

Salah aku juga, karena aku tak beri dia pengertian, bahwa semua ini tak perlu dijadikan alasan untuk sengaja tampil menawan. Tak perlu pula dijadikan landasan untuk rendahkan diri di depan pria.

Zaman sekarang, memang sulit untuk percaya jodoh pasti bertemu.

Namun, sebesar apa pun harapan itu, sebesar apa pun rasa sayang kepada seseorang itu, jika Tuhan tak berkenan, maka semuanya tak akan ke mana-mana. Dan siklus patah hati hingga menjadi sakit akan selalu berulang sampai pertemuan sepasang teman sejiwa terjadi.

Maka dari itu, tak perlu rendahkan diri; tak perlu bersedih hati; tak perlu hancurkan mimpi; tak perlu merasa iri; tak perlu luapkan emosi, cukup yakini, jika tak berujung saat ini, maka suatu hari nanti akan menjadi lebih baik lagi.

Harus percaya.

Aku katakan kepada dia, bahwa tak ada yang mau hidup seorang diri. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Tentu, aku pun sama. Ingin punya seseorang untuk berbagi rasa; yang aku semogakan bisa menjadi teman hidupku yang setia sampai rambut memutih.

Sebab aku jarang keluar rumah dan bergaul, saat aku dengar ada aplikasi pencarian jodoh, aku langsung ikut ambil bagian! Siapa tahu, apa yang 'siapa tahu' benar-benar menjadi 'masa depanku'.

Sebab aku percaya, jodoh ada di mana saja.

Berbeda dari dia yang ada di hadapanku ini, aku punya pegangan yang kuat, bahwa aku lebih daripada yang aku pikirkan. Mereka yang melewatkanku, bukan jodohku. Mereka yang tidak memilihku, ya berarti tidak untuk menjadi milikku.

Oleh karena itu, aku sampaikan juga kepada dia, bahwa aku bahagia dengan keputusan ini, yaitu untuk menunggu sembari membenahi diriku. Agar suatu hari nanti, saat waktunya sudah tepat, dan segalanya menjadi istimewa, aku siap melangkah dengan bangga.

Aku siap jadikan hari itu hari paling bahagia dalam hidupku. Jadi, aku harap kamu pun sama. Kita sama-sama bawa diri kita menuju versi terbaik. Jangan panik, jangan berbalik. Semuanya akan baik-baik saja. Jadilah dirimu sendiri.

Kamu tak perlu rendahkan dirimu, untuk dapatkan perhatian mereka yang memandang.
Kamu tak perlu jadi seperti orang lain, untuk dapatkan kesempatan memiliki kekasih.
Kamu tak perlu ragukan dirimu berharga, hanya karena belum bertemu jodoh.

Semua ada waktunya.
Semesta punya rencana.

Aku, kamu, dia, kita—semua hanya mampu gunakan segala cara untuk tetap berjalan ke sana.

Jangan goyah, apalagi menyerah.
Jangan meragu, sebab ada aku yang akan mendukungmu.

Aku tak punya apa-apa.
Aku tak cantik!
Aku juga tak pintar.
Apakah aku pantas bahagia?
Mana ada yang mau dengan aku yang bodoh, jelek, dan tak punya apa pun untuk dibanggakan ini?
Aku pasti selamanya sendiri.

Kawanku serukan itu padaku. Aku terlonjak. Terkejut setengah mati. Mengapa bisa dia bicarakan dirinya senegatif itu? Bukankah Tuhan menciptakan kita semua sempurna? Hanya cara pandang saja yang selalu membuat manusia tampaknya berbeda.

Padahal semua sama.

Dari Senjakala (2019).

Sabtu, April 03, 2021

203 ㅡ Jangan panik, pasti bertemu di masa depan.

Kamu sudah melakukan yang terbaik.
Jadi, jangan panik.

Jika saat ini belum dipertemukan,
maka pasti bertemu di masa depan.

Salam hangat,
Senjakala.

Jumat, April 02, 2021

202 ㅡ Aku lega, kedalaman lautku tidak terlihat.

Teruntuk Senjakala (2031),

Anak itu polos. Ia seperti lautan jernih, hingga kita bisa melihat pasir indah yang terhampar di dasarnya, ikan-ikan yang menyelam di dalamnya, bahkan bayangan perahu yang kita naiki pun dapat terlihat.

Ia yang terbiasa mengekspresikan dirinya itu tidak berusaha menyembunyikan perasaannya. Jika ada hal yang membuatnya sedih, ia pun menangis. Jika ada seseorang yang disukainya, ia juga tahu cara mengutarakan isi hatinya melalui kata-kata.

Sesungguhnya, aku iri padanya. Sosok murni yang tampaknya tumbuh tanpa cacat dan kesulitan, sosok yang dapat terlihat lucu seperti anak kecil tapi juga tampak dewasa, sosok yang menunjukkan kepolosan dan kemurnian yang bisa dirasakan dari orang-orang yang belum beranjak dewasa.

Sementara itu, aku tidak bisa melihat apa pun di dalam lautku.

Di sisi lain, aku merasa lega kedalaman lautku tidak terlihat, karena di dalam lautku tidak ada ikan-ikan cantik yang berenang dengan riang serta pasir indah yang terbentang seperti dasar laut anak itu. Karenanya, aku ingin terus menutupi lautku. Aku tidak ingin menunjukkan lautku yang kosong kepada siapa pun. Aku tidak ingin hati yang tumbuh bengkok ini diketahui oleh orang lain.

Aku berharap bisa memiliki seseorang yang bisa melihat hal-hal tersembunyi dalam diriku. Sebab rasa rendah diriku ini terlalu mengganggu, dan aku merasa terkurung dalam rasa rendah diri yang buruk itu. Rasanya aku butuh sesuatu yang bisa aku tunjukkan, sesuatu yang tidak ingin aku sembunyikan dari orang lain.

Jika ada yang melihat diriku yang gelap ini dan mengatakan bahwa aku adalah yang paling bersinar di dunia, meskipun sedikit, mungkin akan ada cahaya yang datang dan menerangi diriku. Aku rasa akan ada seekor ikan yang menyelam di dalam lautanku yang gelap ini.

Dari Senjakala (2021).

Kamis, April 01, 2021

201 ㅡ Seluruh dunia bergerak dengan sibuk kecuali aku.

Teruntuk Senjakala (2031),

Ada hari seperti ini: hari saat aku merasa seluruh dunia bergerak dengan sibuk kecuali diriku.

Kenapa? Sebenarnya, waktu kecil juga begitu, 'kan?

Ketika Ibu sedang mengobrol seru dan tertawa terbahak-bahak dengan ibu-ibu lainnya di lingkungan tempat tinggal, aku penasaran ada hal seru apa yang terjadi, lalu aku pun mendekat dan ikut bergabung. Namun, setiap kali aku melakukan itu, Ibu selalu berkata, "Kamu ke sana aja dulu, ya. Anak kecil tidak perlu tahu," sambil menyuruh aku pergi menjauh.

Apa kamu ingat?

Saat ini, aku bukan anak kecil lagi. Tidak ada lagi banyak hal yang aku tidak perlu tahu. Namun, terkadang ada saatnya aku merasakan perasaan di masa kecil itu. Perasaan yang terkadang membuat aku merasa dunia ini memisahkan aku dengan orang-orang di sekelilingku. Perasaan yang terkadang membuat aku kecewa pada diriku sendiri.

Seperti setelah melewati hari yang berat dan melelahkan, aku menekan nomor telepon yang ada di ponsel, karena ingin mendengar suara seseorang. Namun, semua nomor yang aku hubungi sedang sibuk. Atau seperti waktu makan malam di akhir pekan yang terasa sangat sepi, tetapi tak ada satu orang pun yang bisa aku ajak makan makanan hangat bersama.

Kamu, dia, dan mereka, apa yang membuat kalian semua begitu sibuk hingga tak ada ruang bagiku untuk ikut ambil bagian di dalamnya? Padahal hariku terasa sangat membosankan.

Aku mengambang dalam keseharian yang bagaikan lautan, sementara orang lain terbang seperti burung. Terbang ke tempat yang jauh di sana. Ke tempat yang tak bisa aku raih.

Terkadang aku mengalami malam saat aku pun tidak bisa menguasai diriku sendiri. Ada hari-hari tertentu saat aku sendiri pun tak mengerti mengapa sekarang aku sedih, atau mengapa perasaanku sangat tidak menyenangkan.

Pada malam seperti itu, aku menggali tanah sampai dasar dan memasang tenda di dasarnya. Aku memilih untuk menempati dasar, sebab tak ada setitik cahaya pun yang bisa menembus masuk.

Semua ini salah wajah lain dari diriku yang tersembunyi di dalam sana. Mengapa tidak ada seorang pun yang memelukku? Mengapa aku sendiri pun tidak bisa merangkul diriku sendiri?

Dari Senjakala (2021).