Terkadang aku berharap bisa kembali ke masa lalu. Bukan untuk mengubah segala sesuatu, tetapi untuk merasakan beberapa hal dua kali.
Malam ini, hujan.
Bersamaku, langit merindukanmu.
Alih-alih menutup kepala dengan menggunakan kedua tangan untuk menghalau titik air yang mulai membasahi sekujur tubuh, aku membiarkan isak tangis dari Sang Langit menyentuh raga dan hatiku.
Aku menengadah, menutup mata, dan membayangkan wajahmu. Enggan memanggil kembali sebuah kisah yang sudah lama terpendam, tetapi dengan berat hati kukatakan, "Aku merindukanmu."
Rinduku berupa lembaran kertas yang tertumpuk menjadi suatu rangkaian surat dengan goresan bolpoin dari hati. Rinduku begitu tebal sampai langit ikut bersuara mengucap asa. Apakah kamu bisa mendengar suara itu?
Laki-laki berperawakan lebih tinggi dariku yang setiap langkahnya membawa pesona, meninggalkan seberkas cahaya dalam kedua bola mataku setiap kali memandang. Popularitas membuat namamu melambung, dan membuatku harus berpikir dua kali untuk mendekat.
Kamu, yang tak bisa kusentuh.
Aku ingat. Saat itu, aku melihatmu berjalan di lorong sekolah. Dalam diam, aku memotret paras menawanmu untuk kujadikan penyemangat hidup. Bahagia bukan main walau hanya memandang dari kejauhan.
Oh, Tuhan.
Jantungku berdetak cepat.
Apakah ini rasanya jatuh?
Jatuh hati, rupanya.
Mereka menertawakanku yang diam-diam selalu memujamu tanpa pernah berhenti. Keras kepala, tidak tahu malu. Di mana harga dirimu?
Tidak ada yang membela, hanya caci maki yang dilontarkan ketika raga berkumpul bersama para persona tak punya hati.
Mereka, yang tidak percaya cinta.
Tahukah engkau, seseorang yang tidak dapat kumiliki, ketika mereka menggunakan segala cara untuk menyadarkanku bahwa kamu tak akan pernah menyadari presensiku, apa yang aku katakan kepada mereka?
"Ketertarikan adalah bahagia yang sederhana."
Maka, banyak pertanyaan mereka berikan dengan maksud ingin mencari kelemahanku. Masih dalam usaha ingin menyadarkanku bahwa kamu tak akan pernah berniat menemukanku di tengah keramaian.
Kamu, adalah bintang yang paling terang.
Aku, hanyalah pengagum bintang.
"Tidakkah kamu sakit karena tak mendapatkannya?"
Sebuah pertanyaan kudapatkan, dan aku tersenyum.
"Kamu akan belajar, belajar, dan belajar, dan belajar lagi sampai kamu benar-benar dewasa. Sampai kamu yakin, bahwa jawaban itu pasti: Tidak. Kamu tidak akan pernah sakit, jika kamu benar-benar memahami."
"Mengapa?"
Mereka meminta alasan.
"Kamu akan selalu ingin berada di sampingnya dan memandangnya tertawa, karena rasa sayang tidak akan pernah hilang, meskipun raga tak kamu miliki. Kamu akan bahagia hanya karena tertawa bersamanya dari kejauhan."
Kemudian, aku menegaskan pernyataan yang aku buat nyata sebagai jawabanku.
"Suka dan sayang adalah dua hal yang berbeda. Ingatlah, setiap kali kamu berada di sampingnya ... bersiaplah untuk kembali jatuh hati. Mengapa? Karena rasa sayang tak akan pernah hilang."
Aku menjelaskan jawabanku dengan menggunakan 'kamu' karena aku ingin kamu yang tidak pernah bisa kugapai, kamu yang selalu kunantikan kehadirannya, dan kamu yang pernah hadir dalam hidupku sebagai bintang; tahu seberapa besar keinginanku untuk hanya menatapmu dari jauh.
Tidak pernah ada keraguan dalam mengambil sebuah keputusan. Mulai dari meyakinkan diri untuk memantapkan hati sebelum mulai menyukai, sampai kepada perpisahan secara sepihak yang aku tetapkan sebagai keputusan untuk berhenti memandangmu, sebab perih dalam dada mulai terasa.
"Tanya hatimu, tetapi pakai otakmu. Perasaan, pemikiran, dan kenyataan di sini adalah tiga hal yang berbeda."
Aku mengatakan kalimat itu untuk menampar diriku sendiri. Berulang kali kukatakan agar hatiku benar-benar perih hingga air mata pun membasahi kedua pipi. Aku menangis.
Setelah kudapati diriku jatuh terlalu dalam, dan kamu tidak juga menolehkan kepala untuk mencoba menyelamatkanku, aku meyakinkan diri bahwa aku tak akan lagi mencoba berharap. Aku belum benar-benar berharap. Aku hanya ingin mencobanya. Namun, semua itu tak akan kulakukan lagi.
Kini, aku tak akan lagi berdiri di sampingmu, terdiam mendukungmu dalam kesedihanku. Aku akan memberanikan diri untuk berjalan maju. Berjalan maju ke tengah-tengah keramaian sampai kamu menemukanku.
Aku tak akan menunggu lagi.
Aku tak akan berusaha lagi.
Aku tidak lelah.
Aku tidak menyerah.
Aku tidak menangis.
Aku hanya harus mengistirahatkan hatiku karena terlalu sering berusaha mengerti semua tentangmu. Aku masih berusaha mengerti. Aku belum benar-benar mengerti. Aku tidak pandai, tetapi aku mau berusaha mengerti.
Luka lama masih membekas, walaupun tak membuatku menangis lagi. Luka baru tak memberi bekas, namun kenangan akan bagaimana aku mendapatkan luka itu akan selamanya menyayat hati. Lukaku masih belum sembuh. Namun, kini aku menjadi lebih kuat untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada di depanku.
Aku akan pergi.
Cari aku.
Jika tidak, maka aku akan benar-benar pergi meninggalkanmu tanpa menoleh ke belakang, dan ketika kamu merasa kehilangan lalu mencariku ... maka saat itulah aku akan mulai menanyakan hatiku kembali.
"Apakah aku masih berdiri di sana menunggunya datang mencariku? Ataukah aku sudah berjalan pergi dari kerumunan itu karena terlalu sakit?"
Suara hatiku yang tak mau didengar oleh siapa pun terekam jelas dalam benak.
Jawabanku adalah, "Aku tidak lagi di sana ... menunggunya."
Kenyataan telah bertemu dengan sang akhir, lalu mengapa tak aku akhiri juga mimpiku yang hanyalah sebuah angan-angan semata? Kini, aku tak tahu bagaimana cara membedakan mimpi dan kenyataan. Mengapa? Karena terlalu sering bermimpi dalam diam dan bercerita dalam tangis.
Terima kasih untuk hari-hari yang kamu ciptakan bagiku untuk bermimpi. Mungkin banyak hal yang tidak dapat kamu percaya dalam hidup ini, tetapi percayalah bahwa kamu pernah menjadi cinta pertama seseorang.
Cinta pertama seseorang,
Patah pertama Senjakala.
Salam hangat,Senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡