Tak ada yang namanya kebetulan; dan apa yang kelihatan sebagai suatu kebetulan muncul dari suatu sumber takdir yang lebih mendalam.
Setelah terus-menerus "menjomblo" dan tak pernah kencan dengan siapa pun selama beberapa waktu, dengan pengecualian satu kali bencana, kuputuskan bahwa pernikahan bukan takdirku. Ketika menyetir pulang ke rumah tanpa supirku dari sebuah pusat perbelanjaan di suatu malam, tiba-tiba aku menyadari sedang menatap sekilas ke langit lewat jendela depan dan berbicara kepada Tuhan, "Tuhan, aku tidak akan menikah."
Aku menegaskan kalimatku dengan berkata, "Aku tidak sedang ingin bertemu seseorang. Aku sudah punya kehidupan yang menyenangkan. Seorang laki-laki hanya akan membuat hidupku menjadi kacau. Lagi pula, apabila Tuhan menghendaki aku menikah, Tuhan lah yang akan membawakanku seseorang yang tepat pada waktunya. Benar, 'kan?"
Keesokan harinya, aku bertemu dengan seorang teman di sebuah kedai minuman manis. Temanku terlihat skeptis ketika memandangku lewat asap yang menguap dari cangkir susu hangat kami.
"Apakah tak pernah terpikirkan olehmu, bahwa Tuhan menghendaki kamu yang mencari? Memang, kamu adalah seorang nona kaya raya dengan kekayaan keluarga yang tak akan habis sampai tujuh keturunan. Kamu punya anjing Siberian Husky, Alaskan Malamute, Rottweiler, dan Doberman Pinscher, serta kemandirianmu yang selalu dipuji orang-orang tua. Aku rasa, mungkin hubungan yang indah akan memperkaya hidupmu yang sudah nyaman."
Aku menyimpan pernyataan itu di sudut kepalaku. Minggu-minggu berikutnya kadang-kadang kukeluarkan dan kukaji lagi. Tak lupa aku berdoa untuk itu, tetapi pernyataan itu tetap berada di tempat persembunyiannya.
Suatu hari, di tengah ritual mengeluarkan pernyataan itu, kuperhatikan bahwa kata-kata temanku itu semakin membesar. Dengan mengakar, pernyataan itu sudah menyebar seperti tanaman rambat.
Dalam cerita Alkitab tentang Ibrahim—yang mengutus pembantunya mencarikan istri untuk anak lelakinya, Ishak—Ibrahim tidak hanya duduk-duduk saja dan menggoyang-goyangkan ibu jari; menantikan perempuan muda mengetuk pintu kemahnya. Rencana melibatkan tindakan yang direncanakan.
Aku tahu banyak tentang Alkitab, sebab teman seimanku di gereja sering berbagi pengetahuan perihal Alkitab. Kami sering berbagi cerita. Selain itu, kami juga sering membedah soal hubungan antara Alkitab dan kehidupan. Tiba-tiba saja cerita tentang Ibrahim terlintas dalam kepalaku. Entah mengapa, cerita ini memiliki tempat tersendiri di hatiku.
"Baiklah, Tuhan," pintaku. "Jika Engkau menginginkan aku mencari pasangan, lalu tunjukkan padaku bagaimana aku harus memulai pencarian, karena kukira pusat arcade, lapangan bola, dan di bawah batu bukanlah tempat yang Engkau kehendaki."
Tahun ini aku berusia dua puluh tiga tahun dan sama sekali tak paham perihal kencan. Satu-satunya nasihat yang dibekalkan nenek tentang anak laki-laki adalah, "Jangan pernah menelepon anak laki-laki duluan! Nanti kamu dikira perempuan gampangan."
Gampang dalam hal apa? Dalam memecahkan soal matematika?
Aku menyimak nasihat nenek, meski tak setuju. Ini kan zaman modern. Nenek boleh saja sudah menasihatiku agar aku tidak menelepon laki-laki, tetapi beliau tidak pernah menyebut perihal surel.
Suatu malam, aku mendapatkan surel dari seseorang. Dia bertanya apakah aku sudah menikah dan punya anak. Aku berasumsi dia sudah gila. Namun, aku tidak berniat untuk menjawab dengan jujur.
Aku mulai mengetik jawabanku dengan tenang. "Aku sedang belajar untuk menjadi seorang biarawati yang kutekuni dengan sungguh-sungguh. Jadi, bila kiriman surel ini kurang pantas, aku akan menegurmu! Aku bukanlah perempuan yang sedang putus asa."
Keyboard komputerku benar-benar piawai! Teleponku lalu berdering.
"Halo, Senjakala. Aku baru saja mengirimimu surel, tetapi aku sudah tidak sabar dan lebih baik telepon saja. Aku tahu kamu dekat dengan Tuhan. Itulah sebabnya aku ingin bicara denganmu."
Aku tak bisa membayangkan apa yang ingin diobrolkan lelaki ini. Jadi, aku pun bersikap melindungi diri dan siap-siap menutup telepon, kalau itu memang diperlukan.
Dia pun mulai bicara. "Aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya. Jadi, aku akan berbicara apa adanya saja. Aku melihat halaman web milikmu tadi malam, dan setelah membaca biografimu, aku yakin kamulah perempuan yang telah lama aku dambakan dalam doaku."
Dia lalu bicara dalam bahasa yang dia yakin kupahami, yaitu ayat-ayat dalam Alkitab. “Jangan membatasi Tuhan, Senjakala, karena bersama Tuhan tidak ada yang mustahil.”
Kata-kata itu langsung menghangatkan hatiku. Meski perasaanku tentang menjalin hubungan dan pernikahan masih sama, aku mau mendengarkan semua yang dia katakan. Rasanya seperti ada mantra tersembunyi dari kalimat yang dia ucapkan. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku yakin ada sesuatu tentang dirinya yang harus aku kenal lebih dalam.
Tepat tiga minggu setelah kami berkirim surel secara rutin, aku mengiyakan janji temu dengannya. Kami berjumpa langsung ditemani aroma kopi yang manis. Dia dengan kopi hitamnya, dan aku dengan susu vanila.
Kami sama sekali tak kesulitan menandai masing-masing, karena sama-sama memajang foto kami yang terakhir. Kami mengobrol berjam-jam dan sepakat untuk bertemu lagi, dan lagi, dan lagi. Perlahan-lahan kami saling mengenal sebagai teman. Aku terkesan oleh budi baiknya, rasa hormatnya kepadaku, dan kenyataan bahwa dia menyukai anjing-anjingku. Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Namun, dengan senang hati juga menerima perbedaan di antara kami masing-masing.
Setelah beberapa kali mengobrol, aku dan dia memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan jarak jauh. Karena jarak, dia banyak sekali memanfaatkan celah dan bertemu dengan orang-orang yang peduli dengan keadaanku. Kami semua perlu memastikan dialah lelaki yang diakuinya.
Semua ini terjadi karena kami memilih untuk keluar dari segala sesuatu yang sudah biasa dan menjadi tradisi, untuk memercayai Tuhan, dan mengambil risiko untuk mengenal lebih jauh perihal kencan online.
Kita mencintai bukan dengan menemukan orang yang sempurna, tetapi melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna.
Salam hangat,Senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡