Terkadang, aku merasa bagaikan sekuntum mawar yang hanya bisa memberikan keindahan, tetapi tak seorang pun berniat memiliki. "Aku tak berduri seperti mawar, tetapi mengapa rasanya hambar ketika tak seorang pun berani menyambar?"
Dihempas sekali, bukan masalah, cukup hanya menangis lirih.
Dua kali merasa terbuang, rasanya tak sanggup lagi mengulang.
Tak perlu menunggu hingga ketiga kali datang, sebab sudah berniat menghilang.
Bukan apa, aku pantas bahagia.
Aku juga pantas bahagia, bukan?
Tidak mendapatkan kasih yang sesuai porsi, terkadang memang membuat hati perih, tetapi aku katakan sekali lagi ... aku juga pantas dicintai.
Bukankah semua orang pantas dicintai?
Aku termasuk, ‘kan?
Berulang kali aku berusaha menghipnotis diri, mengatakan kepada hati, bahwa aku ingin berhenti dan mencoba mencintai siapa pun yang berminat tinggal dalam sanubari.
Namun, berulang kali pula rasanya hampa; mereka sama, hanya ingin singgah dan mencoba.
Apakah aku yang termakan perasaan sendiri yang ingin merasakan bagaimana dicintai?
Apakah aku yang tak berani melihat kenyataan bahwa sesungguhnya mereka tak ingin bergandengan tangan denganku?
Apakah aku yang selama ini bermimpi; seorang diri?
Mungkin—yang pertama—berniat tinggal, tetapi kamu tahu, tak ada yang kekal, aku kehilangan akal hingga merasa dia berusaha mengenal.
Nyatanya, dia hanya mengulur waktu dan mencariku hanya ketika butuh.
Tak ingin berjalan, pun tak hendak berlari.
Jadi, maunya apa?
Di sini, aku yang bingung menempatkan diri; harus berdiri di sampingmu, atau berlari mengejarmu?
Di sana, kamu bahkan tidak peduli, hanya bermain sesuka hati.
Jika kukatakan hati ini terluka, akankah kamu berubah?
Permainanmu itu hanya membuat hati beku, sehingga lebih baik kamu biarkah berlalu.
Kamu tahu, sejak bertemu denganmu, aku mulai mengenal rindu.
Sejak kamu hadir dalam hidupku, pintu yang dulu sempat tertutup rapat, terbuka lagi dengan sendirinya.
Canda dan tawa menemani hari-hariku yang abu-abu, sebab aku tahu, kamu ada untukku berbagi rindu.
Titik air mata sedikit demi sedikit berkurang, membiarkan hati membuat ruang untukmu bertandang.
Terkadang, aku bahkan memimpikanmu dalam diam.
Hanya ini pertanyaanku;
Jika semua rindu yang kamu katakan palsu, untuk apa kamu berpura-pura ingin bertemu?
Jika semua cinta yang kamu jadikan kata hanya sebatas fana, untuk apa kamu katakan semudah kamu membalikkan telapak tangan?
Aku bukan mainan yang bisa kamu permainkan tanpa menjaga perasaan.
Aku bukan tempat berkeluh kesah yang kamu cari saat kamu ingin berlari tanpa berniat menjaga hati.
Adalah aku, mungkin, hanya aku, yang selama ini menganggapmu nomor satu.
Menarik dan mengulur—kamu buat aku luluh, lalu tinggal aku sendiri berperang melawan ego yang aku miliki.
Aku sudah tidak ingin lagi, bisakah kamu berhenti?
Ini bukan cinta, melainkan derita.
Aku sudah lelah, ingin marah saja.
Aku tidak bisa memaksa untukmu menemukanku di tengah keramaian.
Aku tidak berani memintamu datang menemuiku di saat kamu benar ingin bertemu, bukan ada maksud tertentu.
Aku hanya ingin kamu tahu; aku bukan tempat persinggahan.
Bunda pernah memberi nasihat.
Kata beliau, jangan percaya kata-kata anak adam.
Bukan pendendam, hanya jangan membendung rasa yang mungkin akan dipendam.
Manis di bibir, harus tahu bagaimana cara air mengalir.
Jangan terbuai.
Oleh karena itu, aku menutup pintu, tak membiarkan siapa pun membuat luluh, sebab sejauh ini, mereka hanya berlalu.
Bukan karena aku enggan, hanya saja pengalaman mengajarkan diri harus mencari aman.
Pernah terluka, takut kembali luka.
Pernah terluka, takut kembali luka.
Sudah lama aku tak menjalin cerita, mengatasnamakan romansa sebagai judul kisah.
Di saat aku ingin mulai membenahi diri dan keluar dari sini, aku dipertemukan dengannya, yang hanya ingin berjumpa tanpa ada rasa di setiap kata.
Sudah, aku lelah.
Untuk kamu, yang aku sebutkan di sini sebagai Yang Pertama;
Bagaimana jika kita sudahi saja karena aku sudah cukup lelah mempertanyakan perasaan yang kamu berikan secara terpaksa?
Bagaimana jika kita sudahi saja karena aku sudah cukup lelah mempertanyakan perasaan yang kamu berikan secara terpaksa?
Jangan memaksa, aku hanya ingin kamu merasakan hal yang sama.
Jangan buat aku berhenti percaya cinta.
Jangan pegang aku hanya karena kamu ingin dikelilingi kaum hawa.
Jangan katakan sayang saat kamu hanya ingin terbang melayang bersama dayang-dayang.
Aku hanya gadis biasa; seseorang yang sangat perasa.
Aku lebih daripada itu.
Aku pantas untuk diperjuangkan seutuhnya.
Aku tidak akan berdiri di sampingmu lagi, untuk kesekian kalinya aku katakan.
Aku pun tak akan berlari mengejarmu lagi, untuk hari ini, terakhir kali aku katakan.
Berakhir sudah, kisah antara aku dan dia—yang tak pernah nyata, sebab hanya aku yang meminta dia ada untuk menjadi rumah.
Niatku akan menutup hati setelah mempersilakan dia pergi, tetapi lagi-lagi ada yang mendekati meski belum ingin memiliki.
Sekali lagi, kucoba membuka hati, melihat masa depan walaupun samar.
Namun, entah apa yang membuat hati belum siap menanti, pun tak terlalu ada rasa seperti sebelumnya.
Aku sudah membuka, tetapi belum ada.
Salam hangat,Senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡