Kamis, Maret 25, 2021

194 ㅡ Yang ngambek, jelek.

Yang ngambek, jelek.
Katanya.

Aku terluka, tetapi tidak berdarah.

Jikalau ada yang mendengar aku bercerita,
mungkin menganggapku tukang minta-minta.

Aku bukannya lemah, tetapi memang aku yang selalu mengalah. Bukan perihal ingin merengek, sebab tidak mau dipanggil 'Tukang Ngambek', hanya saja—aku pun ingin diperhatikan, sebab diri ini juga haus akan pujian dari orang tua.

Ya, minta perhatian, minta belas kasihan, minta kasih sayang, minta segalanya—alias merengek. Atau mereka anggap aku tidak bersyukur perihal harta yang sudah diberikan padaku.

Sungguh, aku ingin menitikkan air mata.
Saat ini aku terguncang, aku lelah; tak mampu menjelaskan apa pun.
Mereka tak mengerti.

Aku hanya ingin dijadikan yang pertama, walaupun aku terlahir sebagai yang kedua. Aku hanya ingin diperhatikan, walaupun aku tak pernah berkata ingin, tetapi harus aku tegaskan; aku tak bersuara, bukan berarti aku biasa-biasa saja.

Mereka memuji dia yang kusayang; Teteh yang begitu cantik.
Menawan, cantik, murah senyum, semua orang bilang Teteh hoki.
Aku setuju; sangat setuju.
Teteh memang anak yang paling baik!

Anak yang baik—titel itu bukan untuk aku. Mereka senang, Teteh menikah dengan orang kaya, punya harta, dan bisa mengangkat martabat keluarga. Selalu dijunjung tinggi, mereka terus mendongak; melihat ke atas langit yang tinggi.

Kata Ibu; Teteh bisa gila, kalau dibiarkan begitu saja, sebab mama mertuanya senang bermain kata; berucap kalimat yang bisa beri sayatan di dada.

Kata Ayah; Teteh baik, Teteh cantik, Teteh hebat, Teteh kaya, dan Teteh punya harta yang tak habis tujuh keturunan.

Lalu aku bertanya; jikalau Teteh bisa gila, apakah menurut Ibu, aku tidak bisa gila juga, jika setiap hari hanya banggakan Teteh yang di sana? Perhatikan aku!

Aku tidak pernah meminta dibelikan baju, sebab Ibu hanya ingat belikan untuk Teteh. Jika ada yang aku suka, tetapi Ibu tak suka, maka tak bisa beli, dan memilih baju lain untuk diberikan kepada Teteh.

Aku hanya anak bungsu yang ingin dipuji juga. Biar orang lain tak katakan, harusnya jikalau kawan atau kerabat memuji yang satu, maka dari mulut Ibu harusnya bisa mengucap pujian untuk keduanya. Tetapi tidak ... nihil.

“Dia tahu orang tua. Setiap kali pergi selalu ingat belikan hadiah.”

Aku belikan Teteh hadiah saat pertama kali Teteh akan menginap di rumah calon suaminya. Supaya harum dan selalu cantik, pikirku. Tetapi ... Ibu tak cerita; menganggap itu hal biasa dan tidak pantas dibanggakan.

Aku tak butuh pendapat orang lain; aku hanya ingin orang tuaku melihat juga kebaikan diriku yang tak kasat mata ini. Aku bukan melakukan itu supaya ingin dipuji. Aku melakukan itu murni karena ketulusan hatiku.

“Dia baik sama orang tua. Lihatlah dia menyapa dengan senyuman.”

Itu yang mereka katakan sebagai pujian. Harusnya bukan hanya dia, tetapi aku dan dia. Aku menyapa, tetapi terasa hampa, sebab aku bukan siapa-siapa.

Mereka memuji terus, sebab Teteh punya harta.
Aku tidak bermimpi untuk menikahi orang kaya; aku hanya ingin bahagia.
Aku tidak ingin dipuji, hanya saja aku ingin merasa aku juga pantas dicintai.

Hari ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku kehilangan kepercayaan diri untuk melangkah maju. Inilah mengapa aku suka berdiam diri; membaca buku, atau mendengarkan lagu, sebab apa pun yang kulakukan tak berarti di mata orang tuaku.

Aku bukan gila pujian. Bukan juga ingin disembah. Tetapi aku hanya ingin diperlakukan sama. Bukan harta yang kuinginkan, pun bukan martabat tinggi yang kuharapkan. Aku hanya ingin dianggap ada saat pujian datang.

Aku diam, bukan berarti mengalah terus. Aku juga selalu banggakan Teteh, sebab aku juga bahagia, Teteh bisa memiliki segalanya. Aku pun senang banyak orang menyukai Teteh yang akrab dan mudah bergaul. Aku bangga!

Tetapi adakalanya, aku ingin dijadikan pemeran utama. Aku berkawan dengan siapa saja, tak pernah memilih. Aku mendukung sahabat-sahabat yang ada di sekelilingku dengan sepenuh hati; berusaha menyebarkan energi positif.

Tetapi, mereka masih tidak pedulikan aku, sebab aku ini siapa? Aku tak bisa diajak pergi malam, bukan juga seseorang yang hits di kalangan artis. Aku tidak pernah iri, sebab aku memang begini; menjalani hari dengan sepenuh hati.

Namun, sakit, memang, ketika dianggap tidak pernah ada dan dilupakan begitu saja.

Salam hangat,
Senjakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡