Sabtu, Maret 27, 2021

196 ㅡ Yang marah, harusnya siapa?

Yang marah, harusnya siapa?
Tanyanya.

Mengaku keluarga,
tetapi hanya di depan banyak orang memeluk raga. 

Mengaku orang tua,
tetapi tak pernah ada cinta di rumah.

Jadi, maunya apa?

Ayah, aku takut semua laki-laki nyatanya selalu beri luka.
Ibu, aku jadi takut menikah.
Teteh, aku letih.

Kami keluar dari rumah dengan wajah gembira, tetapi di tengah jalan mereka membara; saling menunjuk dan mengomentari keburukan masing-masing. Sebab Teteh sudah menikah, maka tak ada lagi yang bisa kuajak berbagi luka. Mereka membuatku takut.

Ayah mengatakan; Ibu kerap kali bicara seenaknya, tidak pakai otak, dan selalu senang menyindir orang lain. Aku pikir sudah seharusnya Ayah tahu, bukan? Sudah berapa tahun kalian menikah? Masa hal seperti itu saja masih dijadikan alasan untuk marah-marah?

Ibu membalas; Ayah sendiri harusnya sadar kalau Ayah pun tak sempurna, tak mampu membuat istri bahagia lahir dan batin, masih mau adu mulut perihal keburukan? Aku pikir Ibu harusnya bisa berhenti mengeluh, meminta ini dan itu, sebab bahagia itu sederhana.

Ayah terlampau egois, selalu ingin dielu-elukan namanya; mementingkan orang lain dibandingkan keluarga. Belum lagi, di depan orang lain lebih banyak berpura-pura dibandingkan menampilkan kesederhanaan. Bukankah lebih baik menjadi diri sendiri? Oh, ayolah.

Ibu pun sama, selalu melihat ke atas tanpa tahu hidupnya sudah sangat diberkati. Senang bicara dan terkadang membuat orang lain terluka. Tanpa sadar, tetapi terkadang memang sadar. Egois, sama. Berhentilah menjadi sama seperti Ayah. Aku harus bagaimana?

Salam hangat,
Senjakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡