Rabu, Maret 02, 2022

536 ㅡ Ada apa dengan semesta?

Malam ini terasa sungguh sepi dan langkahku terpaksa terhenti.
Entah semua salahku sendiri atau semesta mempermainkanku lagi.

Malam ini rembulan turut bersinar teramat terang,
seolah-olah mengajak pikiranku terbang melayang.

Akankah suatu hari nanti aku benar-benar bisa menjalin kasih?
Akankah suatu hari nanti perjalanan ini menemukan tambatan hati?

Ada apa dengan semesta?
Jawab aku, bisa?

Semesta, namaku Tenggara.

Aku ingin bercerita, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin berbicara terang-terangan, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana merangkai kata yang aman. Sejatinya menumpahkan isi kepala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sesungguhnya menyuarakan setiap rasa tidak semudah menjawab pertanyaan. 

Sekarang aku sedang berlayar jauh. Sudah lewat sepekan aku berlindung di atas perahu kayu yang tidak henti-hentinya berkejar-kejaran dengan gulungan ombak di tengah laut. Harus aku sampaikan bahwa perahu ini menampung terlalu banyak insan yang dengan pongah menginvasi bilik pribadiku hingga aku merasa sangat kelabakan.

Awalnya aku pikir hanya aku saja yang akan mendiami perahu ini sebagai satu-satunya awak kapal tangguh. Ternyata di belakangku muncul ratusan perwira yang datang tanpa satu pun undangan dalam genggaman tangan. Mereka kerap menciptakan bising sampai saban hari aku dibuat pusing.

Mereka berdendang, tidak sama sekali peduli pada kapal yang kian terombang-ambing. Terlebih, tiap-tiap persona tidak pernah absen memanggil namaku, merangkul bahuku, dan mengajakku bergabung dengan mereka untuk menggaungkan tembang-tembang sukacita yang meriah. Aku harus apa? Ikut bernyanyi atau balik menyendiri?

Keramaian membangkitkan kekhawatiran di dalam diriku yang lebih gemar menyendiri. Terngiang di dalam benak tentang segudang tuntutan masa lalu yang ditempatkan pada kedua bahuku. Berat, rasanya sesak. Aku diminta melanjutkan kehidupan penuh ribuan susah dengan memangku nama kehormatan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk paham artinya. Aku disuruh berlayar ke sana kemari seorang diri.

Lagi-lagi di kala sunyi aku kembali teringat akan kewajibanku memenuhi segenap janji. Entah janji kali ini demi kebaikan siapa. Entah pelayaran kali ini menuju pelabuhan mana. Aku melayangkan sejumlah tanya kepada dersik angin yang sering sekali melantunkan nada-nada rindu tepat di telingaku, dan kepada debur ombak yang menyapaku dengan kencang seakan-akan siap menerjang badai bersamaku, juga tidak lupa kepada burung-burung hebat yang dengan asyik mengawal laju perahuku. Namun, meski aku telah berusaha menghadap semesta demi meminta pencerahan soal kelanjutan misi jiwa, sampai detik ini tidak kunjung aku temukan peringatan apa-apa. Aku belum mendapatkan jawaban yang aku damba.

Tentu ada sejumlah aksara semrawut yang belum benar mampu aku rangkai sedemikian rupa hingga nyaring di telinga. Masih ada secercah cahaya abu-abu di ujung sana yang belum benar sanggup aku gapai walau bantuan dari alam usai aku terima secara cuma-cuma. Terbiasa berlari tanpa siapa-siapa di sisi menjadikan aku fasih mendengar bahasa kalbuku sendiri.

Ada apa dengan semesta?

Tidak berkesudahan mempermainkan aku yang telah berjuang sekuat tenaga untuk bertahan hidup di tengah lautan kebimbangan. Tidak berbelas kasihan pada aku yang hanya ingin kebebasan sebagai hadiah atas semua penderitaan.

Di mana seharusnya aku berada?

Tidak tentu arah, tetapi aku tetap melangkah. Tidak pernah khawatir akan tenggelam, sebab aku sudah biasa bungkam. Apabila aku boleh berkata jujur, aku hanya ingin setiap perjalananku menjadi lebih berarti. Apabila semesta berkenan mendengar keluh kesahku, aku hanya ingin memiliki setidaknya satu hati yang menanti kepulanganku.

Untuk apa aku mengarungi samudra dan menjejaki benua?

Untuk mencarimu.
Untuk menemukanmu.

Kini jangan tutup telingamu. Kelak duduklah di sampingku. Jikalau kali ini terlewatkan, maka temani aku di perjalanan berikutnya. Aku selalu kuat dan jarang sekali takut, tetapi bolehkah nanti aku bersandar di pundakmu untuk sementara waktu? Semesta memang senang bercanda, tetapi aku percaya kita pasti akan berjumpa meski membutuhkan waktu lama.

Salam hangat,
Senjakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡