Ini rekam jejak langit kala itu yang ditangkap langsung oleh mata besarku. Aku sandingkan beriringan dengan rangkaian aksara dari kepala kecilku. Harapanku agar hati mungilku mampu merayu telinga cantikmu untuk mendengar segala sesuatu dari kalbuku hingga ke akar. Bagus betul jika hatimu turut mengikuti pergolakan emosi jiwaku yang mengakar.
Aku masih manusia biasa; yang adakalanya termenung akibat tanpa sengaja mempersilakan huru-hara semesta mengurungku di dasar samudra. Oleh sebab itu, aku lahirkan catatan harian ini dari sekat-sekat jemariku demi menyuarakan pahit yang melekat di lidahku. Selembar kertas ini aku tujukan untuk diriku sebagai pengingat bahwa pahit itu valid. Tidak apa-apa sekali-sekali terpuruk karena merasa buruk. Tidak apa-apa berulang kali harus berusaha menjadi baik supaya mendapatkan yang terbaik.
Hari ini aku memang patah, tetapi aku tidak akan menyerah untuk tetap hidup sehidup-hidupnya. Selamat membaca kata dan merayakan rasa yang singgah hari ini. Semoga kamu tetap bersibuk jejaki bahagia hingga lupa semesta sedang tidak baik-baik saja, sama sepertiku.
Langit cemberut, laut kusut.
Akhir-akhir ini semesta berhenti berpihak padaku. Lihatlah, langit cemberut, laut kusut, matahari pamrih, dan bulan berantakan. Rumah paling hangat dengan fondasi berupa asa-asa tak kasatmata yang aku susun dengan cinta, seketika tersambar angin puting beliung dalam sekejap mata hingga seluruh harapan hancur berkeping-keping tanpa sisa. Katakan, semesta, untuk apa ikut murka pada aku yang larinya memang lebih lambat dari mereka?
Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti.
Aku sudah berusaha menjadi manusia yang sering tabah dan pantang menyerah. Aku bahkan kerap berhasil memberikan suntikan energi untuk puluhan bahkan ratusan jiwa yang butuh perlindungan hati. Aku sisipkan doa-doa baik di dalamnya; dengan harapan mereka mampu terus berjuang menjelajahi dunia bersamaku sebagai cahaya yang menerangi setiap langkah. Aku siapkan pundak untuk bersandar dan telinga untuk mendengar, tetapi ketika kepayahan menyerbu jiwa dan ragaku sampai-sampai benteng pertahanan yang aku bangun satu per satu dengan kesungguhan berakhir runtuh menyeluruh, tiada satu pun dari tambahan isi semesta yang berniat melebarkan sepasang sayap lengan untuk mendekapku erat-erat. Tidak ada siapa-siapa yang bisa aku panggil ke rumah sederhanaku untuk berbagi cerita, sebab tidak ada yang berani menyamakan langkah denganku yang dianggap terlalu lambat. Aku bukan pamrih, aku hanya ingin dimengerti. Aku selalu sendirian di tengah terpaan badai, seolah-olah aku memang tercipta untuk dilupakan dunia.
Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh.
Aku acapkali berandai-andai. Jika aku dilahirkan dengan cinta yang membalut tulang-tulang keriput, akankah luka enggan menemani perjalananku dengan kaki yang tak pernah beralaskan kasut? Jika aku dianugerahkan hampir segalanya di dunia saat aku beranjak dewasa, akankah bahagia membuat mataku mampu melihat semesta dengan lebih berwarna? Saban hari aku hanya bisa berimajinasi setiap kali persoalan pelik mengambil ruang besar di dalam kepala kecilku. Iya, kenyataannya aku terbiasa terlupakan karena sebenar-benarnya aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak punya apa-apa dan paling tidak pernah dielu-elukan namanya. Aku bertahan dengan bersembunyi di balik keinginanku untuk hidup sendiri, mandiri, dan menyendiri. Hidupku hanya seputar aku dan semua hal yang bisa aku kendalikan dengan pasti. Aku terlalu khawatir terluka dan paling takut kecewa. Aku berhenti menaruh harapan pada dunia, sebab sejak aku mulai bisa bernapas lega, hatiku telah dirusak ekspektasi yang merajalela kobaran api di dalam dada. Kini bahagia berubah menjadi sesuatu yang jauh. Tidak mampu aku mengeratkan lagi kepingan hati yang berserakan di atas lantai dingin itu. Tidak bisa aku merajut kembali asa yang sudah binasa bahkan sebelum aku mulai merangkak maju.
Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.
Selambat-lambatnya aku, setidaknya aku punya ketulusan untuk merengkuh tiap-tiap individu yang datang menemuiku. Meskipun aku butuh lebih banyak waktu untuk menyenangkan sekelilingku, setidaknya aku berani mempertaruhkan hidupku demi menyelesaikan tugas-tugasku sebagai personifikasi pijar semu. Aku melangkahkan kaki sambil merunduk ke bumi agar tahu ke arah mana tubuh ini akan aku bawa ke masa depan. Aku tidak hanya mendongak ke langit untuk meminta diselamatkan kala memanjatkan doa dengan kesepuluh jemari bertautan.
Aku pasrah, tetapi aku tidak akan pernah menyerah. pada hidupku, juga pada kepercayaan bahwa dunia ini masih punya banyak orang baik yang belum aku ajak berkenalan. Aku masih perlu belajar dari mereka tentang cara menaklukkan dunia. Aku pula ingin berbagi cerita; tentang caraku bertahan hidup, tentang caraku menikmati hidup. hanya saja, terkadang aku gusar pada mereka yang terlihat paling sibuk menjalani hidup. Apa yang hendak mereka cari? Apa ada yang mengajak berkompetisi? Mengapa buru-buru sekali? Mengapa tidak bisa sabar sedikit lagi? Aku sontak bertanya-tanya kepada rumput-rumput yang berdendang riang di tengah gelora angin hampa. Apa orang-orang yang sibuk itu sedang berusaha menaklukkan dunia? Apa orang-orang yang paling sibuk itu sudah menaklukkan dunia? Atau sebenarnya dunialah yang menaklukkan orang-orang yang berpura-pura paling sibuk itu? Entahlah.
Mereka ingin lari dan semesta beri izin, sementara aku berjalan di tempat seraya berpegang erat pada keyakinan bahwa aku lebih kuat. Tidak, bagian mana dari diriku yang lebih tangguh dari mereka? Bagian mana dari diriku yang lebih baik dari mereka? Dunia berputar, sedang aku berjalan di tempat.
Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu.
Ikhlas. Aku berusaha naik kelas dengan lapang dada melewati segala ujian. Barangkali tugas mereka saat ini bukan menjadi tugas utamaku. Barangkali tugas kami di kehidupan kali ini memang berbeda, sehingga mereka diperbolehkan pergi ke mana pun sesuka hati, sedang aku dipaksa mencoba berulang kali sampai kehabisan akal untuk mencari bagaimana cara memulai segalanya kembali.
Aku dan bahagiaku, mungkin tidak perlu buru-buru untuk bertemu. Aku dan kecewaku, mungkin harus lebih sering berjumpa agar jalan menuju bahagia bisa terbentang di depan mata. Aku dan takutku, mungkin sudah direncanakan untuk menjadi awal mula kisah supaya aku mampu lebih memahami bahwa hatiku lebih hebat dari pikirku. Aku dan ikhlasku, mungkin harus terus berusaha bergandengan tangan agar dijauhkan dari balada perih, sebab barangkali itulah kepelikan yang harus aku bayar jika meminta dijadikan pemeran utama di dalam ceritaku sendiri.
Sesungguhnya jelas betul butuh lebih banyak waktu untuk menjadi yang terbaik, sebab tidak semua manusia di muka bumi boleh punya kehidupan teramat apik. Ujian demi ujian perlu dilalui supaya bahagia yang diramu bisa benar-benar menjadi kenyataan. Sebentar lagi aku akan menempatkan bahagiaku di antara sekat-sekat jemari yang bertautan. Sambil merapalkan doa penuh rasa syukur, aku akan bersorak dengan nyaring demi merayakan aku dan semestaku yang berakhir akur.
Satu-satu, pasti keburu.
Memahami jalan pikir semesta adalah perkara seumur hidup. Dinamis, perubahan bisa terjadi kapan saja selama hasrat untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana senantiasa mengalir di dalam darah. Aku, kamu, kita; pasti pernah terpuruk karena merasa buruk. Kita hanyalah manusia biasa, wajar jika tak sempurna. Satu waktu bisa merasa paling bahagia di dunia, waktu lainnya bisa merasa paling terluka seantero semesta. Begitulah cara kerja pikiran yang sejatinya tidak perlu berlebihan dihiraukan. Tidak perlu juga mengindahkan seluruh kata yang dirangkai kepala. Adakalanya semua hanya basa-basi belaka dari nestapa yang singgah untuk membakar sumbu sabar kita.
Percayalah pada hati dan berpeganglah pada kasih. Semua akan baik-baik saja. Lelah hari ini akan tergantikan gembira esok hari. Biarkan saja dunia berputar sekencang-kencangnya. Biarkan saja semesta berlari sekuat-kuatnya. Kita tidak akan pernah tertinggal, sebab kehidupan bukanlah sebuah pertandingan. Tidak ada kompetisi yang harus dimenangkan. Tidak ada hadiah yang harus diperebutkan. Namun, selalu ada trofi bagi mereka yang berhasil memahami diri sendiri hingga ke dalam jiwa tersembunyi. Maka, berhenti menyalahkan diri sendiri karena hanya bisa berjalan kaki di saat kebanyakan insan memiliki kuda untuk ditunggangi. Tetaplah ikhlas menerima diri apa adanya, meski dunia membuatmu merasa tidak baik-baik saja. Mungkin dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, jadi maklumkanlah semua dengan tangan terbuka.
Aku, kamu, kita; berharga lebih dari kata sempurna. Tenang, dunia masih punya miliaran orang baik. Hiduplah sehidup-hidupnya, dan temukan lebih banyak orang baik yang tersebar di seluruh dunia. Jika kamu belum bisa menemukan mereka, maka jadilah orang baik itu dan beri peluk untuk mereka yang butuh. Jangan lupa selamatkan dirimu sendiri terlebih dahulu. Rangkul burukmu, sayangi baikmu, dan cintai hatimu sebagaimana kamu ingin dicintai semesta.
Harapan besarku untuk kita semua hanya satu. Apa pun yang sedang kamu kerjakan, apa pun yang ingin kamu raih, dan apa pun yang menjadi cita-citamu, lakukan dan wujudkan perlahan-lahan. Jangan terburu-buru, tidak ada yang mengejarmu. Taruh serpihan hatimu di setiap langkah kecilmu. Jangan hiraukan cuitan-cuitan insan omong kosong yang tidak berkontribusi untuk misimu menaklukkan dunia. Kita tidak akan pernah kalah bertaruh, sekalipun tersungkur jauh akibat tersandung kegagalan di tengah jalan. Kegagalan adalah pertanda kasih dari semesta agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Keinginan untuk bangkit lagi setelah berulang kali terpuruk karena merasa buruk adalah kunci dari keberhasilan.
Semesta selalu mencintai kita, anak-anak semesta. Semakin duniamu susah ditaklukkan, semakin kuat kamu menghadapi cobaan, dan semakin besar pula bahagiamu kelak di akhir cerita kehidupan. Jadi, apa pun itu ... satu-satu, pasti keburu.
Salam hangat,Senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡