Ibu bilang, "Nak, ayo kita jelajahi dunia. Tapi sebelum keliling dunia, kita singgah dulu di rumah nenek ya?"
Aku mengangguk saja. Pertanyaanku hanya satu, "Naik apa ke sana?"
Senyuman selebar kebun bunga terpatri apik di kanvas roman ibu. Namun, tak ada jawaban yang selaras dengan ekspresi ibu.
"Kalau mau bisa baca pikiran, aku harus sekolah di mana ya?" Bergurau saja. Iya, dasar aku.
Ibu menarik aku ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa lepas. "Tak ada kendaraan udara lain selain pesawat capung," dan ibu beri jawaban di sela tawa yang masih menggelegar.
Jika kau bertanya kenapa ibu tertawa, jawaban dariku hanya satu. Ibu tahu aku takut jatuh.
"Lewat daratan saja ke rumah nenek," tegasku sambil merengut. "Tak bisa, 'kah?"
Ibu melepas dekapan lalu menatap kedua bola mataku lekat-lekat. "Anak ibu bukannya mau jadi pilot? mana ada pilot yang takut terbang?"
"Aku bukan takut terbang. Aku cuma tak mau jatuh."
"Kalau siap terbang, harus siap jatuh."
"Terbang dan jatuh selalu berjalan beriringan. Aku tak suka."
"Sejak kapan terbang sama dengan jatuh, Nak? Setelah terbang bisa saja mendarat."
"Bisa saja mendarat, Bu. Bisa saja. Berarti kemungkinan jatuh selalu ada."
"Nak, kenapa kamu setakut itu jatuh?"
"Pokoknya kalau jatuh, bagaimana?"
"Tak selamanya jatuh itu sakit dan pahit."
"Ah, ibu senang bercanda. Mana ada jatuh yang manis?"
"Jatuh cinta; menyenangkan dan membahagiakan."
"Ibu ke mana-mana deh. Takut naik pesawat tak sama seperti takut jatuh cinta."
"Lho, Nak? akhirnya mengaku juga takut naik pesawat."
"Siapa bilang aku takut naik pesawat? Aku cuma tak suka terbang dan takut jatuh."
"Kenapa takut? Ada ibu duduk di sampingmu. Kalau kau takut jatuh, maka jadilah pilot paling lihai mengendarai pesawat."
"Tak segampang itu, Bu."
"Belum dicoba, lho. Masa iya sudah loyo?"
"Ibu jangan goda aku!"
"Makanya coba dulu naik pesawat capung supaya kau bisa kritik segala-galanya yang kau lihat, dengar, dan rasakan selama penerbangan. Setelah itu ibu yakin kau akan punya banyak pandangan soal masa depan."
"Masa depanku sebagai pilot?"
"Orang-orang yang fokus pada masa depan adalah orang-orang yang usai berdamai dengan masa lalu. Kau dan ketakutanmu pada langit menjadikan nyalimu selalu saja ciut setiap ibu mengajakmu naik pesawat."
"Aku cuma takut tak bisa pulang lagi melihat ibu di dapur. Nanti tak ada lagi yang mengingatkan ibu untuk tak usah sibuk-sibuk masak ini-itu saat aku ulang tahunku."
"Ketakutanmu terlalu besar, Nak. Jangan beri terlalu banyak ruang untuk takutmu."
"Aku tak mau jadi seperti bapak."
"Memang bapak kenapa?"
"Bapak terbang sampai lupa pulang."
"Bapakmu naik pesawat kawat."
"Pesawat kawat itu memang pesawat seperti apa, Bu?"
"Pesawat rusak. Pesawat yang berbunyi ngik ngik."
"Kalau aku jadi pilot, aku tak akan mengendari pesawat kawat agar penumpangku semuanya selamat."
"Itulah mengapa ibu mau kau berusaha melawan segala takutmu. Jadilah pilot yang hebat."
"Kalau nanti aku jadi pilot, apa kita bisa bertemu bapak?"
"Jangan ganggu bapak lagi, Nak. Bapak sudah menjelajahi angkasa dengan pesawat kawatnya. Perjalanan kita biarlah menjadi kau dan ibu yang merasakan. Suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi dengan bapak di langit yang berbeda."
"Aku dengan pesawat capungku, sedang bapak mengendarai pesawat kawatnya. Lalu ibu di mana?"
"Ibu bisa saja membeli tiket untuk naik pesawat capungmu, atau menumpang di pesawat kawat bapak."
"Masih lama kan, Bu?"
"Apanya, nak?"
"Berpisahnya."
"Selama-lamanya yang diizinkan semesta. Kita hanya bisa selamanya berusaha."
"Aku akan jadi pilot kebanggaan ibu. Aku akan menjaga keselamatan ibu setiap kali ibu mau naik pesawat."
"Itu baru anak ibu. Jadi, besok kita berangkat?"
"Iya, semoga pesawat yang kita tumpangi bukan pesawat kawat ya, Bu."
"Amin."
Salam hangat,Senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡