Jumat, Februari 25, 2022

531 ㅡ Bermainlah sepuas-puasnya di bumi.

Sebuah pencapaian menandakan keberhasilan;
yang bermuara pada kebahagiaan.

Sebuah perjuangan menandakan kekuatan;
yang berkuasa atas kesedihan.

Sebuah perjalanan menandakan kesendirian;
yang berlabuh di kesepian.

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka mencintai masa kecil mereka sampai mereka dewasa?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa keluarga itu sangat berharga sebelum mereka kehilangan salah satu sanak saudara?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka sungguh bahagia dan diberkati sampai mereka mampu mencintai diri mereka sendiri?

Tahukah kamu bagaimana orang mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa jarum jam bergerak sangat cepat sampai mereka sadar setiap kehidupan punya waktunya masing-masing?

Tidak tahu.

Awalnya aku tak tahu-menahu soal apa pun terkait semua itu. Namun, seiring dedaunan berguguran di tepi jalanan yang biasa aku lewati, pun setiap senja angin bertiup dari ufuk utara menuju selatan, tanpa ba-bi-bu aku tersadar bahwa hidup ini hanya bisa aku jalani satu kali saja.

Meski begitu, lagi-lagi aku berpikir. Jika memang demikian, mengapa pula beban terberat justru diberikan pada bahu seseorang yang terlahir teramat ringkih? Mengapa harus aku yang memikul dosa orang-orang tidak tahu diri hingga aku juga yang harus meminta ampun atas semua perbuatan keji mereka?

Aku terlahir di titik terjauh dari sebuah kesempurnaan. Aku bersyukur tiada keanehan di badan ini. Aku lengkap selengkap-lengkapnya. Namun, keluargaku tidak, kehidupanku tidak. 

Banyak batu menerobos masuk ke dalam lapisan bening yang aku bangun untuk berlindung. Benteng pertahananku bukanlah rumah, melainkan jati diriku sebagai manusia. Walau aku dikelilingi ratusan atau miliaran orang yang berusaha mengajak aku gugur bersama mereka, aku tidak akan bersedia mengamini hal yang sama.

Kali ini aku sampaikan bulat-bulat keputusan itu usai aku pikirkan matang-matang. Oleh sebab dahulu selalu dijadikan kambing hitam dan diperlakukan bagai setiap hari adalah malam kelam, maka embusan napas terakhir membuat aku terbang ke singgasana tertinggi.

Terlahir tanpa ibunda di sisi tidak membuat aku pandai membenci, meski ayahanda sering menghujani aku dengan caki maki sepanjang hari. Terberkati dengan seorang kakak laki-laki yang paling berani tidak membuat aku percaya pada kesungguhan hati, meski selama ini aku diselimuti cinta kasih.

Mereka berdusta, dan aku terluka. Apalah arti sebuah keluarga ketika yang mampu mereka kerjakan dengan benar hanyalah mengelabui aku dan menjual aku ke komplotan insan biadab? Tidak. Tak akan lagi aku percaya pada kehadiran cinta dan keluarga.

Kemudian, kehidupan sebagai seorang manusia yang ahli melukai diri sendiri dan orang lain pun dimulai. Lembaran baru kertas putih kembali ternodai tinta berwarna merah serupa buah apel yang matang dan siap dimakan. 

Saban hari aku hanya tahu cara menghancurkan rumah-rumah tiap-tiap kepala yang aku temui. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya, berseru sekencang-kencangnya, dan berjanji sesungguh-sungguhnya. Aku tidak akan bersedia kembali ke jalan yang salah untuk kesekian kalinya.

Walakin, semesta berkata lain. Aku dipertemukan dengan keluarga baru yang menjadikan aku tangan kanan untuk merusuh. Aku tidak punya pelindung selain diriku sendiri, tetapi aku malah ditugaskan untuk terus-menerus menjadi tameng untuk jiwa orang lain. 

Dari situ aku sadar betul-betul bahwa aku tidak menjalani kehidupanku dengan baik, atau sebenarnya sedari awal pun kehidupan ini memang tidak pernah baik. Maka dari itu, aku selalu menanggung beban dan tak pernah berada di tempat paling aman.

Tenang, aku tetap berusaha bertahan. Setidaknya bertahan hidup sebelum ajal menjemput. Dengan hati gembira, aku akan ikut ke mana pun malaikat menyambut ketika hari kepergianku ke akhirat tiba di depan mata.

Benar, tidak lama setelah aku membasahi kedua tanganku dengan air sewarna buah apel yang sering aku makan tanpa ragu, kecelakaan membuat aku harus kehilangan nyawaku. Tanpa aba-aba, tanpa pertanda, tanpa kecewa, aku terluka hingga tak mampu lagi membuka mata.

Terbanglah aku ke atas sana. Aku melewati sungai abadi dengan penuh perjuangan. Aku menjelajahi hutan gelap dengan rumah seadanya yang aku ciptakan tanpa atap. Alih-alih berakhir di neraka, aku diajak bermain ke surga. 

Pemandangan nirwana sungguh sangat teramat luar biasa. Suara alam begitu nyaring terdengar bagai menyelimuti diriku yang barangkali akan masuk angin jika tidak segera menyentuh setitik kehangatan. Para malaikat berlalu-lalang dengan senyuman cerah menghiasi paras mereka bagai tiada kesusahan pernah dilalui setiap dari mereka.

Aneh. Aku tidak merasa mereka aneh. Justru aku merasa diriku yang berada di surga adalah sebuah keanehan. Aku tidak sepatutnya singgah ataupun tinggal di surga. Aku penuh dosa dan tidak pantas dianggap sempurna.

"Tiada satu orang pun yang tidak pantas diampuni," dan sopran lembut sekonyong-konyong membelai ruang dengarku. "Asalkan orang itu bersedia meminta pengampunan dengan penuh ketulusan hati."

Sepasang manik kepunyaanku berpendar dalam usaha mencari pemilik suara tersebut. Sepersekian detik kemudian, seorang malaikat bersayap menampilkan wujud di hadapanku. Seorang perempuan cantik dengan rambut berwarna hitam yang mana membuat aku terpesona bukan main.

"Kamu sudah menjalani kehidupan yang berat. Kamu sudah melakukan perbuatan dosa yang teramat banyak. Kamu sudah memperlakukan orang-orang di sekitarmu dengan tidak baik," kata malaikat itu lugas. "Kamu sudah seharusnya tinggal di neraka selamanya. Namun, ingatkah kamu di detik-detik terakhirmu kamu memuliakan nama Tuhan? Kamu menyembah dan memohon ampun dengan setulus hati. Maka dari itu, kamu akan diampuni."

Aku bungkam seribu bahasa. Bukan karena aku mendadak lupa bagaimana cara bicara, melainkan karena aku khawatir ini hanyalah mimpi semata yang bertugas untuk memberiku pelajaran. Astaga, apa-apaan? Bisa-bisanya aku memikirkan hal-hal semacam itu di saat aku sudah menyadari sepenuhnya bahwa aku sudah berpindah alam.

"Kendati demikian, dosa tetaplah dosa, dan kamu harus membayar dendam kesumat yang pernah bersarang di dalam hatimu," lalu malaikat itu menutup kedua mataku dengan salah satu telapak tangannya. Seketika saja aku menjadi buta dan tidak dapat melihat dunia.

Terperanjat. Aku benar-benar kehabisan akal mengenai keputusan yang dibuat oleh malaikat anonim di hadapanku. Lidahku terlalu kelu untuk berkomentar. Sepasang tungkai pun ikut lemas secara tiba-tiba. Entah apa yang terjadi pada badan yang sempat aku bilang lengkap ini.

"Purnama," sebut malaikat itu. Kali ini dengan tenang sang malaikat yang tidak mampu lagi aku tatap wajahnya menepuk bahuku pelan-pelan. "Atas nama Purnama, kamu sudah terlahir kembali. Kami hadiahkan kamu nama yang paling berharga. Selamat atas kelahiranmu, Purnama."

Kedua bilah bibirku menjauhi satu sama lain seakan bermusuhan. Mulutku terbuka, tetapi aku tetap tidak bisa berkata-kata. Abjad yang biasa terukir apik di sudut kepalaku tiba-tiba hilang tanpa bekas. Ingatanku kosong melompong bagai cangkang tak bertuan.

"Bermainlah sepuas-puasnya di bumi, Purnama. Kamu akan diberkati dengan sepasang sayap yang bisa mendukung eksistensimu sebagai manusia penolong. Bayarlah semua dosamu dengan mengumpulkan karma baik. Hiduplah bebas sekali lagi, ciptakanlah lebih banyak memori, dan janganlah kembali bersusah hati."

Kalimat demi kalimat yang mendarat di telinga berubah menjadi serupa dongeng bagiku. Aku seperti sedang diceritakan kisah hidup yang baru. Perlahan-lahan aku mulai melupakan kehidupanku yang lalu, siapa namaku dahulu, dan bagaimana parasku semasa aku hidup di masa lampau. Aku melupa, dan pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasa sangat bahagia bisa bebas dari segala derita yang merajalela.

"Purnama, PurnamaPurnama," dan tanpa diduga-duga lantunan nada merdu menyanyikan namaku. Aku rasa para malaikat sedang merayakan kelahiranku. "Bersoraklah, bersenandunglah, dan berbahagialah, sebab kamu sudah diampuni dosanya. Purnama, nikmatilah cahaya cinta meski kamu tidak bisa lagi melihat dunia."

BRUK!!!

Gelap gulita. Aku kehilangan kesadaran. Namun, genaplah sudah semua yang disampaikan. Kini aku terlahir dengan nama Purnama. Aku adalah seorang malaikat buta yang punya pekerjaan untuk menolong manusia. Aku harus membayar semua dosaku dengan mengumpulkan karma baik. Aku akan menjadi malaikat terdekat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.

Memanggilku tak pernah sulit. Kamu hanya perlu niat yang baik. Jika kamu sudah berdoa dan berharap dengan sungguh-sungguh, maka aku pasti akan datang untuk membantumu mewujudkan harapan itu. Tenang, selalu ada aku di sampingmu.

Salam hangat,
Senjakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡