Jumat, April 09, 2021

209 ㅡ Aku akan lari sejauh-jauhnya.

Teruntuk Senjakala (2030),

Selang tiga bulan setelah aku dan dia lepas kontak. Pesan baru hadir tanpa permisi. Sayangnya pesan itu tak datang dari orang baru. Dia lagi. Masih dia. Aku pandai membangun benteng pertahanan, sehingga saat dia datang lagi, bentengku sudah kokoh berdiri.

Bersikap biasa, aku tak terlalu memedulikannya. Aku tidak membuka diri. Aku tidak berani melanjutkan obrolan. Hanya seadanya aku balas pesan darinya. Walau begitu, beberapa hari bertukar pesan dengannya sudah membuat aku lagi-lagi lemah. Bodohnya aku.

Sampai suatu hari aku berjumpa dengan dua sahabatku sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah. Dua sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Kami sedekat itu. Aku tak menduga pertemuan kami membawa berita tentang dia. Dia yang ternyata sebrengsek itu.

Salah satu dari mereka membawa kabar tentang si dia yang sebenarnya tak ingin aku bahas dalam pertemuan ini. 

"Dia ingin memperbaiki hubungan dengan banyak orang. Jadi, dia mulai mengirimkan pesan kepada orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya."

"Dekat dalam arti apa?" tanya sahabatku yang lain.

"Dekat dalam arti pernah berteman. Setahuku tidak lebih dari itu, sebab sekarang dia sedang dekat dengan seseorang."

Aku hanya diam. Membisu saja, tak ingin timpali apa pun.

Sempat aku mengira seseorang itu adalah aku. Ternyata, bukan aku, melainkan teman satu sekolahku dulu. Teman yang pernah menjadi bagian dari kehidupan putih abu-abu milikku. Kedua sudut bibir tentu aku tarik hingga membentuk seulas senyuman tipis.

"Meskipun aku berteman dekat dengannya, dia tak pernah sekali pun cerita soal perempuan, sampai entah ada angin apa, kemarin saat aku pergi dengannya, dia ceritakan semuanya padaku."

"Mereka sudah sejauh apa?"

"Sudah cukup jauh, menurutku."

Aku masih memancarkan senyuman palsu; berharap tak ada yang sadari itu. Aku tak berani bicara; takut kembali membuka luka. 

"Mereka bertukar hadiah, pergi olahraga bersama, makan malam ulang tahun bersama, dan setiap hari mereka saling bertanya kabar."

Oh, begitu. Batinku menjawab pelan. Aku mulai meyakinkan diriku, bahwa aku sungguh mencintai orang yang salah. Aku sempat mencintainya, tetapi kini tekad sudah bulat, bahwa aku akan berhenti mencintai dia setulus hati.

"Sudah sejak kapan mereka bersama?"

"Sejak beberapa bulan ini. Mungkin sudah dua atau tiga bulan, tetapi mereka bertemu seminggu dua kali. Jadi, proses pendekatan mereka pasti cepat."

Ternyata angan yang aku lambungkan berujung sia-sia. Dia tak berubah. Hanya baik, tak berniat jadi milik.

Selama dia mendekati tambatan hatinya, dia juga mengirimkan pesan untukku. Sebenarnya aku tak paham. Apa gunanya dia melakukan itu? Apakah sengaja mempermainkan aku lagi dan lagi?

Nyaris menangis, maka aku menggigit bibir bawahku. Masih dengan senyuman.

Aku pulang dari pertemuan itu dengan senyuman pilu, sebab hari itu aku memutuskan untuk berhenti dipermainkan oleh dia yang hanya ingin singgah dan tak berniat untuk tinggal. Sungguh di luar dugaan, bahwa aku bisa mendapatkan pencerahan untuk berhenti.

Berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Berhenti mencintai dia yang hanya buat aku rugi. Berhenti menjadi bodoh karena aku pantas bahagia. Dia tidak sejahat itu. Hanya saja aku yang terlalu jahat mengartikan kebaikan hatinya padaku.

Aku yang jahat, sebab sejak awal hatinya memang tak ingin berlabuh. Aku yang jahat, sebab sejak awal aku yang mengartikan kebaikan hatinya sebagai cinta. Aku yang jahat, sebab kini usai semua, aku yang terluka dan menyalahkan dirinya. Aku sejahat itu.

Walaupun begitu, aku rasa tidak apa-apa untuk menjadi sedikit jahat, sebab hidup itu harus seimbang, 'kan? Setengah kebaikan, dan setengahnya lagi biar saja menjadi dosa. Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin sampaikan, bahwa aku sudah selesai berjuang.

Aku berhenti mencari. Aku berhenti menghampiri. Aku berhenti mencinta. Aku berhenti memperjuangkan segalanya. Sekali-sekali, aku juga ingin jadi dia yang kamu cinta dan kamu kejar. Jadi, kali ini aku akan lari sejauh-jauhnya agar tak ada yang menemukanku.

Dari Senjakala (2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡