Teruntuk Senjakala (2031),
Beberapa hari belakangan ini, rasanya aku kembali mengingat memori yang sudah lama terlupakan. Aku sengaja melupa, agar tidak jatuh lagi ke luka yang sama. Bahkan, aku sempat membangun benteng pertahanan selama enam bulan terakhir, agar tidak ada lagi air mata yang mengalir basahi wajah.
Namun, semua itu sia-sia ketika semesta mempertemukan aku kembali dengan dia yang pernah mampir, membuahkan kata hampir yang pada akhirnya hanya buat hancur. Aku tidak pernah membayangkan, kami bisa dipertemukan lagi semudah ini. Aku tidak pernah menduga, kami bisa mendengar suara masing-masing semudah ini. Aku tidak pernah merasakan seingin hancurnya seperti sekarang ini sebelumnya.
Bohong, memang ... kalau aku bilang sudah lupa. Tetapi jujur saja, aku masih mengingat semua kenangan manis yang membekas di hati, pula memori pedih yang selalu buat hati menangis. Ada sedikit perasaan senang, ketika aku bisa mendengar suaranya lagi. Ada sedikit perasaan lega, karena sudah bisa bersikap biasa-biasa saja.
Tapi, salahkah jika aku masih merindu?
Aku masih rindu dengan ucapan selamat tidur yang setiap malam dia sampaikan padaku. Aku masih rindu dengan panggilan Sayang yang dia bubuhkan di akhir kalimat. Aku masih rindu dengan segala bentuk gerakan kecil yang dia lakukan untuk menarik perhatianku.
Aku rindu harum tubuhnya. Aku rindu pelukan hangatnya. Aku rindu kecupan di kening yang dia lakukan setiap merindukanku.
Bagaimana aku bisa lupa, jika semua itu masih berputar di kepalaku sampai sekarang?
Bagaimana aku tidak membangun benteng pertahanan, jika dia begitu menyayangi aku kala kita masih bersama?
Namun, kali ini harus aku sampaikan; semesta pertemukan aku untuk membuat aku kembali menguatkan benteng pertahananku, sebab selama kami dipertemukan kembali, aku mulai lengah. Aku mulai dengan tidak bijak mempersilakan dia untuk lagi-lagi memorak-porandakan hatiku.
Semua hal manis yang dia lakukan, kini sudah menjadi kenangan. Bahkan, tangannya yang dulu menggenggam erat milikku, sudah berpindah menggenggam tangan perempuan lain. Aku yakin, pasti lebih erat dari ketika dia bersamaku.
Hanya saja, aku merasa bodoh. Beberapa hari ini, aku sempat gundah, memikirkan berbagai hal yang tidak berarti. Kini, aku disadarkan semesta dengan kenyataan, bahwa dia sudah bahagia.
Sungguh, aku kecewa. Dia tidak pernah tahu seberapa dalam aku terjatuh, seberapa sakit aku terluka, dan seberapa jauh aku melangkah untuk tidak lagi mengenal cinta sejak kepergiannya.
Bagaimanapun, aku hanya bagian dari masa lalu yang harus dilupakan secepat mungkin. Iya, bukan?
Bagaimanapun, aku hanya seorang perempuan yang pandai terluka, susah melupa, dan tidak bijaksana dalam cinta.
Hari ini aku banyak menangis. Air mata mengalir tanpa permisi, karena badai hati mulai berkumandang; mengatakan tidak ingin lagi berjuang.
Jika diperbolehkan sampaikan beberapa kata perpisahan, izinkan aku menangis untuk terakhir kalinya sebelum aku kembali bangkit dengan lebih tegar.
Dari Senjakala (2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡