Teruntuk Senjakala (2030),
Aku sempat berpikir dia berbeda. Walau pernah terluka karena dirinya, aku percaya manusia bisa berubah. Aku beri kesempatan, tetapi aku yang dipermainkan. Sudahi saja, sebab aku sudah lelah. Usaha sia-sia, tak ada guna.
Berulang kali aku terluka karena cinta. Tak juga jera, aku masih tak menyerah untuk mencoba. Aku tak ingin berhenti mencinta, sebab apalah aku tanpa hal itu. Mungkin aku sebodoh itu, sebab percaya dia juga mencintai aku. Percaya dia punya rasa yang sama.
Terlebih, aku percaya dia sudah berubah. Dia, bukan dia yang dulu pernah memberi luka di hatiku. Dia, bukan lagi pemain hati. Aku berusaha keras untuk memercayai keadaan tanpa perlu mengulas lebih jauh tentang dirinya, tetapi karena itu, aku dipermainkan.
Melalui tulisan ini, aku ingin sahabat-sahabat semesta belajar dari kebodohanku. Belajarlah dari sini, dan jangan sampai sebodoh aku.
Cinta tidak pernah buta, tetapi keinginan untuk memiliki yang begitu besar menjadikan manusia buta akan segalanya.
Hati pernah remuk seremuk-remuknya saat masih duduk di bangku sekolah. Cinta tak berbalas menjadi alasan hatiku patah. Bukan salah dia. Aku yang tidak bisa melihat bendera berwarna merah yang dia kibarkan untuk sengaja aku lihat.
Sebenarnya aku melihat, tetapi aku putuskan untuk terus menghujani dia dengan cinta, sebab aku percaya cinta yang aku miliki begitu tulus, sehingga apabila tak berbalas pun tak masalah bagiku. Lambat laun, aku lelah, sebab selama ini hanya cinta sendiri.
Ketulusan membutakan cintaku.
Seharusnya tidak perlu begitu. Cinta tak bersyarat memang ada, dan sungguh harus ditanamkan, tetapi tak ada cinta yang hanya dilakukan oleh satu orang. Cinta itu dua, bukan satu saja. Jadi, aku menyerah.
Usai memutuskan untuk pertama kalinya menyerah pada keadaan, aku tak berani bertanya kabar. Tak sanggup bertemu, sebab tak ingin kembali berharap. Keadaan memisahkan aku dan dia. Semesta sampaikan secara tersirat, bahwa kami tak seharusnya bersama.
Patah hati pertamaku sungguh menyakitkan. Setiap malam hujan turun membasahi wajahku, dan hatiku hanya bisa menjerit. Sesakit itu. Butuh sedikitnya empat tahun bagiku untuk menyimpan memori bersamanya di lubuk hatiku yang terdalam; menyudahi semua cerita.
Tak pernah sekalipun aku menyalahkan dia. Aku paham betul, selama ini dia hanya berusaha untuk tidak mematahkan hatiku. Dia tak ingin aku patah, sehingga dia terus bermain bersamaku. Bermain dengan segala hal tentang cinta yang sebenarnya tak ada di sana.
Aku berterima kasih, sebab alasan itu seolah mengatakan dia memang pernah peduli padaku.
Mungkin selama ini aku yang terlalu mudah jatuh, terlalu cepat beri hati, terlalu rapuh untuk sadari rambu, dan terlalu tulus mengatasnamakan cinta kepada siapa saja.
Tembok pertahanan yang aku bangun selama empat tahun runtuh begitu saja saat dia datang sewaktu aku sangat membutuhkan dukungan.
Dia sampaikan dua kata yang lebih indah dari kalimat romantis sepanjang masa. “Selamat lulus,” katanya.
Aku merutuk dalam hati. Sumpah serapah yang selalu aku hindari, tiba-tiba lancar aku ucapkan dalam batin. Tak menyangka dia akan datang membawakan bunga. Aku lagi-lagi terlena karena kebaikannya yang entah nyata atau hanya tipu semata. Aku, kembali bodoh.
Aku ingat betul, waktu itu napasku tidak beraturan. Ekspresi cemas, senang, sedih, ragu, dan candu menjadi beberapa pilihan untuk aku tampilkan saat bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Seketika luka yang menyayat, tak lagi membuatku tersengat.
Aku memang sudah melupakan segala cerita manis dan pahit bersamanya yang pernah menjadi kisah cintaku, tetapi saat melihatnya hadir di hadapanku, aku percaya ada cerita baru yang menunggu. Tak ingin menduga, aku beranikan diri untuk melupakan lara.
Tersenyum saat mata kami bertemu. Tertawa saat cerita indah kembali dibuka. Tersentuh saat bunga beserta ucapan diberikan dia yang pernah sepenuh hati memiliki hatiku. Aku terlena. Lagi-lagi aku kembali memberikan hatiku untuk digenggam olehnya.
Seolah empat tahun yang aku lalui dengan penuh air mata tak berarti apa-apa, satu gerakan kecil seperti ini sudah membuatku jatuh lagi. Semudah itu. Jujur, aku sungguh lemah, jika sudah dihadapkan pada peluang untuk bersamanya. Selemah itu.
Bertukar pesan memang sudah biasa. Usai pertemuan pertama kami setelah sekian lama, setiap hari selalu ada pesan darinya. Walau awalnya aku sempat takut pertukaran pesan ini hanya berakhir satu hari saja, tetapi nyatanya berlanjut hingga satu minggu.
Hanya satu minggu yang dibutuhkan olehnya untuk merasa bosan dan melupakan aku. Tak ada pesan lagi setelah itu. Aku kecewa lagi. Aku runtuh lagi. Saat itu, aku sungguh merasa tidak pantas dicintai. Aku merasa tidak berani mencintai siapa pun.
Aku tak berani percaya pada arti dari ucapan manis. Aku berhenti mengharapkan makna cinta hadir ke dalam hidupku. Aku berdusta saat aku bilang aku baik-baik saja. Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku hancur. Aku sakit hati. Hatiku patah lagi.
Bodohnya, hatiku patah untuk kedua kalinya karena orang yang sama. Aku pikir dia berbeda. Aku pikir dia datang karena sudah berubah. Entah itu hatinya, entah itu caranya sampaikan kebaikan. Nyatanya, semua sama. Dia masih anggap aku bukan siapa-siapa.
Aku memang bukan siapa-siapa. Tak ada yang istimewa dari seorang Senjakala Merindu. Tak ada hal luar biasa yang pernah aku lakukan. Tak ada penghargaan yang pernah aku terima. Hanya ketulusan hati yang aku miliki, dan itu tidak cukup.
Tidak cukup untuk membuat hatinya berlabuh. Tidak berarti untuk membuatnya menoleh dan memandang masa depan bersamaku. Kekecewaan membuat aku berhenti percaya pada kaum adam. Aku tidak membenci, hanya saja memang ingin berhenti. Tak berani mulai lagi.
Aku menyerah. Tak ingin sakit lagi karena cinta. Tak ingin berdusta saat mereka bertanya ada apa. Sebab aku tak pernah ceritakan pada siapa-siapa, rasanya sesak di dada bisa buat aku mati kapan saja. Tak berani aku ceritakan. Tak berani aku terima makian.
Oleh karena itu, semua aku pendam sendirian. Semua cerita lalu yang kini kembali membuatku malu, aku kunci rapat-rapat dalam kotak kenangan yang aku tinggalkan di dasar laut dalam. Aku tidak akan beri dia kesempatan lagi untuk mempermainkan ketulusanku.
Namun, ucapan memang mudah saja dikatakan. Aku yang bodoh ini harus mematahkan hatiku yang sudah remuk dan tak berbentuk untuk ketiga kalinya. Sempat aku bertanya-tanya; apa salah dan dosaku di kehidupan lalu hingga berulang kali aku disakiti seperti ini.
Tak ada jawaban aku terima, sebab semua rencana Yang Maha Kuasa. Aku hanya bisa meyakinkan diriku bahwa aku lebih dari segalanya. Aku pantas dicintai. Aku pantas dihujani kasih sayang. Aku pantas diperjuangkan. Aku pantas dipedulikan. Aku pantas bahagia.
Dari Senjakala (2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡