Selasa, April 27, 2021

227 ㅡ Aku harap kamu tidak pernah merasakan kecewa dan patah yang sesungguhnya.

Teruntuk Senjakala (2031),

Teruntuk kamu,
Selamat berbahagia walau tidak denganku.

Hai, apa kabar?

Sudah lama tidak bersua, ya. Kamu masih sama? Tidak berubah?

Ah, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Kamu tidak lagi sama seperti dulu. Kamu ... sudah berubah.

Tanganmu sudah tidak lagi menggenggam milikku. Aku juga sudah tidak lagi berada di hatimu, walau di sudut sekali pun. Jadi, tidak seharusnya aku mempertanyakan perubahan dalam hidupmu.

Sejak terakhir kali kita berjumpa, aku membangun benteng pertahanan. Semua itu aku lakukan agar aku tidak perlu lagi berurusan dengan yang namanya cinta. Aku menutup pintu, tidak mempersilakan satu orang pun untuk masuk. Aku mengunci diri, memberanikan diri untuk berdiri sendiri. 

Namun, setelah aku kira, aku sudah biasa-biasa saja jika dipertemukan kembali denganmu, semesta buat itu jadi nyata.

Lucu, ya ... kita dipertemukan begitu saja, tanpa ada aba-aba. Oleh karena itu, hatiku yang sempat aku kira sudah siap, ternyata masih butuh waktu untuk merelakan dan melupakan.

Terlebih, kita dipertemukan di saat kamu sudah bahagia.

Jika kamu bertanya tentang hatiku, aku hanya bisa menjawab: Aku juga sempat bertanya kepada Tuhan, kenapa semua orang yang pernah menyayangi aku, begitu mudah melupa dan menemukan yang baru?

Kali ini, izinkan aku yang bertanya, boleh?

Mengapa kamu cepat sekali melupa? Mengapa kamu buat aku merasa seakan aku sangat mudah dilupakan? Mengapa semudah itu kamu menemukan seseorang yang lebih baik dariku? Mengapa bisa-bisanya kamu bahagia duluan daripada aku?

Biarkan aku egois, biarkan aku menangis. Aku ini terpenjara sejak kita berpisah, tetapi kamu dengan enaknya berusaha mencari seseorang baru untuk menggantikan aku.

Kalau boleh jujur, aku tidak terima. Aku sangat kecewa, semudah itu kamu genggam tangan yang baru. Semudah itu, kamu peluk dia yang baru. Semudah itu, kamu berusaha menulis kisah yang baru.

Sedangkan aku? Aku masih bergulat dengan pikiranku sendiri untuk mencari cara melupa yang sebenar-benarnya. Aku masih berusaha menemukan seberkas cahaya yang setidaknya bisa menarik diriku keluar dari benteng pertahanan.

Namun, aku tidak terburu-buru. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, aku jalani agar aku bisa berdiri sendiri dengan lebih berani. Tapi, berbanding terbalik dariku, kamu dengan cepatnya sudah memulai lembaran baru dengan kesayangan yang baru.

Menurutmu, bagaimana perasaanku? Ya, aku memang bukan siapa-siapa lagi. Tapi aku pernah jadi bagian dari masa lalumu. Seseorang yang terluka demi mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya kepadamu yang saat itu masih sangat keras kepala.

Semoga kisahmu kali ini tidak perlu berdarah untuk bisa bersama. Semoga jalanmu kali ini tidak perlu ada aku yang lainnya untuk menyadarkanmu bahwa kesabaran ada batasnya.

Semoga tidak ada lagi air mata yang menjadi teman kala sunyi menyapa. Semoga kata Sayang yang kamu ucapkan padanya, lebih besar maknanya dari ketika bersamaku. Semoga tidak ada lagi perpisahan yang buat kamu kehilangan.

Ungkapan hati ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak memintamu untuk mengasihani aku, atau meminta kamu kembali padaku. Aku hanya ingin menyampaikan kekecewaanku atas apa yang terjadi.

Setidaknya, aku tahu, kamu tidak benar-benar serius. Aku tahu, kamu semudah itu melupa. Ah, atau aku yang semudah itu terganti?

Sama saja.

Mungkin aku yang banyak kurangnya. Mungkin aku yang banyak lelahnya. Mungkin aku memang seharusnya dilupakan. Mungkin aku memang seharusnya tidak pernah mencintai siapa pun. Aku yang salah, karena sudah pernah menaruh harapan di pundakmu yang sebenarnya tidak pernah paham apa arti berjuang bersama. Aku yang salah, karena sudah pernah berusaha mempertahankan kamu yang ternyata terlalu mudah mencinta dan melupa.

Biarkan ini menjadi pelajaran untukku, agar tidak lagi keliru ketika dihadapkan pada orang-orang yang serupa dan kata cinta yang diungkapkan dengan mudah. Semoga aku, kamu, dia—setiap dari kita berbahagia.

Lagi-lagi aku pergi dengan kecewa yang bertubi, di saat aku hampir hidup lagi. Mungkin, aku memang butuh luka yang lebih banyak untuk bisa bahagia. Atau, mungkin aku butuh berhenti sejenak dari bisingnya kata cinta yang selalu buat aku kecewa.

Sudah saatnya aku berhenti menjaga perasaanmu, karena kamu tidak melakukan hal yang sama. Sudah saatnya aku berhenti menyenangkan diri dengan mengatakan; kamu paling bahagia ketika bersamaku. Sudah saatnya aku berhenti melukai diri dengan menunggu kehadiranmu untuk mengatakan; kamu merindukan aku.

Kini aku sudah merelakanmu pergi, karena aku juga akan berjalan jauh dari kehidupanmu. Aku tidak akan lagi bertegur sapa, menanyakan kabar, dan terlebih, aku tidak akan lagi memikirkanmu barang sejenak.

Biar aku menenangkan hati untuk masa depan yang lebih baik. Biar aku menyimpan segala kenangan yang tidak lagi berarti untuk kita. Biar aku meninggalkan semua luka yang sering buat tangis jatuh tanpa sengaja.

Tenang, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku ucapkan; selamat berbahagia. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap kamu tidak pernah merasakan kecewa dan patah yang sesungguhnya.

Dari Senjakala (2021).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡