Rabu, Januari 20, 2021

130 ㅡ Jika kamu terbangun di pukul tiga pagi.

Jika kamu terbangun di pukul tiga pagi,
kira-kira kamu sedang memikirkan apa?

Masih mencoba cari tahu isi kepala para penghuni semesta,
padahal tak satu pun dari mereka kenal kamu yang sesungguhnya.

Kamu tidak perlu paham segalanya.

Terkadang kita terlalu mudah sampaikan banyak hal tanpa peduli isi hati seseorang yang jiwanya belum kita kenal. Terkadang kita terlalu santai katakan ini dan itu yang kita rasa pantas, padahal bisa lukai hati siapa saja yang mendengar. Terkadang kita terlalu merasa dunia tidak sepenuhnya kejam, padahal pasti ada seseorang yang masih duduk di pojokan sambil merengkuh diri sendiri. Terkadang semua terasa indah bagi kita yang sedang bahagia, tetapi di sisi lain, ada setidaknya satu dari banyaknya penghuni semesta yang tersakiti karena mudahnya bersuara.

Kita tidak pernah sadar, bahwa ucapan adalah serangan termudah yang bisa kita lakukan kepada orang lain. Kita tidak pernah sadar, bahwa menyakiti hati bukan hanya soal seberapa biru bekas tinju. Kita tidak pernah sadar, bahwa merendahkan bukan hanya soal melihat ke bawah dengan seringaian bangga. Kita tidak pernah sadar, bahwa menjatuhkan bukan hanya soal mendorong seseorang lalu berlari pulang. Kita tidak pernah sadar, bahwa menghancurkan bukan hanya soal melihat air mata seseorang mengucur deras.

Sakit itu rasa. Cukup dirasa. Tidak perlu dibagikan untuk dapat sorotan. Namun, pernah tidak terpikirkan, apa yang dirasakan seorang perasa yang dunianya dulu beri panggung, kini tiba-tiba beri punggung? Semua terasa salah. Tidak ada yang benar. Ada, tetapi bukan dia. Tentu, bukan aku yang mengaku adalah personifikasi bulan dan segala rahasianya. 

Sempat aku berpikir, ada baiknya bila semua orang tidak bisa bersuara. Agar tidak ada yang bersua dengan tujuan menjatuhkan orang lain dengan rentetan kata. Ada baiknya bila semua orang hanya diam. Iya, agar tak ada yang berusaha menikam dan dunia jadi tentram. Aku ingin semua itu bisa terjadi, tetapi aku tidak mau menjadi naif. Semesta tidak akan berikan apa yang aku inginkan. Aku pun tak ingin terus tenggelam dalam asa yang hanya buat aku semakin tidak dewasa. 

Hanya saja, jika yang merasa bisa menjaga hati agar tidak terluka, seharusnya yang bicara bisa sedikit lebih peka agar tidak tinggalkan luka. Seandainya seluruh isi semesta bisa lebih mudah merasa, mungkin tidak akan ada yang menunggu hujan untuk basahi pipi. Seandainya seluruh isi semesta bisa lebih mudah menjaga hati, mungkin tidak akan ada hati yang tersakiti. Semua hanya butuh asa dan rasa. Cukup tanamkan ingin. Cukup resapi isi hati.

Sahabat-sahabat semesta, izinkan aku untuk sampaikan isi kepalaku di pukul tiga pagi ini. Hidup itu seperti bercermin. Jika saat ini kamu membenarkan orang lain dengan menghancurkan dunianya, suatu hari nanti akan ada kehancuran yang sama menantimu. Jika saat ini kamu berusaha mengumpulkan kawan dengan benci sebagai tujuan, maka suatu hari nanti akan ada kebencian yang sama menantimu. Jika saat ini kamu merasa dirimu adalah poros semesta dan menertawakan kesalahan orang lain, maka suatu hari nanti akan ada tawa yang dilontarkan mereka dengan dirimu sebagai lelucon semesta. Mungkin saat ini bukan pahit yang kamu rasa, tetapi jangan bahagia dulu. Jangan kamu tertawa saat bisa injak kepala, jika belum siap menangis saat nanti hati sakit bagai teriris.

Aku tidak sedang mencari pembelaan, pun pembenaran. Hanya ingin setidaknya sampaikan sebagian kecil isi kepalaku saat terbangun di pukul tiga pagi. Seandainya saja hanya ada bahasa cinta di dunia. Seandainya saja semua insan bersedia mendengar dari dua sisi. Seandainya saja seluruh penghuni semesta bersedia coba rasa dulu sebelum lukai hati. Aku, kamu, dia, mereka, tidak ada yang sama. Rasaku bukan rasamu. Cinta dan benci, tidak sama. Jadi, terkadang aku merasa kita semua perlu untuk bisa belajar memahami. Belajar untuk menahan diri untuk tidak melukai. Belajar untuk cicipi sakit hati dulu sebelum berakhir pandai melukai.

Sekali lagi, luka yang biru tidak didapat hanya dari hasil tinju. Mari, bersama-sama, janganlah kita menjadi dewasa hanya untuk bisa membenarkan semua yang masih salah. Jangan juga jadi tambahan isi dunia yang tertawa saat derita hampiri yang baru belajar dewasa. Daripada menjadi pandai melukai, lebih baik jadi yang bisa menyentuh hati.

Salam hangat,
Senjakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca tulisanku ♡